Galau?

huuhuuhuuuu...

Semangaaaaatttt..!

Love your job and be proud.

Iyes!

Bekerja sambil belajar.

Masih galau lagi?

No! No! No! Be happy laahhh...!

Ayo ngeblog!

Masa kalah sama Babu Ngeblog?

Srinthil 8: Face Buruk di Facebook

Ini adalah alasan kenapa Serial Srinthil berhenti total selama satu tahun lebih terhitung dari kisah Srinthil yang terakhir. Untuk itu saya menghimbau kepada pembaca(kalo ada yang baca, hiks..), dengan ini maka saya menghimbau kepada pembaca semuanya untuk membaca dengan mata dan hati. Tidak dengan telinga ato hidung. Selaen itu juga harap dapat menyaring yang kotor dan memasak yang mentah (emang aer??).

Banyak kejadian di luar kebiasaan babu, tapi itu adalah kisah perjalanan kami. Dan karena kami adalah babu-babu yang luar biasa tersebut maka, semua kisah jadi satu adonan gado-gado hidup. Ada suka, duka, ketawa, kejahilan, ndableg, cabe, bawang, kecap, lontong, krupuk, dan dikasih sedikit garam…(lhoo…!!!) tindih menindih, tumpang-menumpang, tumpuk-menumpuk, sambung-menyambung menjadi satu... itulah Indonesia(Ya Olloh Ririiii...kok gaya bahasa cerita Srinthil jadi semrawut?)

"Jiannnngggggkrriiiiiiiikk!!" geramku dalam hati. Sudah tiga kali aku menelpon Srinthil tapi tidak dijawab, sedang sms yang kukirim sejam yang lalupun sepi jawaban. Sudah dua jam aku menunggu, perutku semakin merdu menyanyikan lagu kelaparan, sedang Srinthil yang dua jam yang lalu pamit dan berjanji padaku akan membelikan rujak petis favoritku yang berada di Warung Candra deketnya KJRI itu belum muncul juga.

"Jan-jane munyuk siji iki kemana tho..!" gremengku sendiri.

Teman-teman genk yang lainpun belum muncul karena masih mempunyai urusan masing-masing. Rasanya sepi, walau di sekelilingku banyak teman-teman sesama TKW yang lalu lalang menikmati hari liburnya.

Sudah beberapa lagu juga yang kuputar di notebookku, sembari membantu (koreksi=membantu dengan upah, satu lagu 50 sen)teman-teman yang lain untuk mengisi lagu di MP3, namun tak ada bau ketiak Hindun yang menyengat atau suara compreng Srinthil yang khas yang terdengar dari jarak 500 meter sekalipun.

Iseng, kukunjungi beberapa situs termasuk Facebookku yang sudah seminggu lebih tak tersentuh. Iseng juga kukirim pesan lewat fesbukku ke inbox fesbuk Srinthil, klik..pesan terkirim.

Sepuluh detik berikutnya kuterima pesan dari Srinthil, "Mbak Ri muisi a, aq kelupaan ini lagi berangkat beli rujak petis," tulis Srinthil dalam pesannya.

"Jiaangkriiikkkk....!!" umpatku lagi. "Dasar munyuk ra duwe buntut! Tega-teganya mempertaruhkan hidup matiku dengan fesbuk. Serta-merta kudial nomer Srinthil.

"Anu mbak Rie sepurane, hehehe...ini dalam perjalanan ke warung Candra, muisi a..maap mbak Ri," kata Srinthil.

"Sri, dirimu jadi orang amanah banget ya," kataku sinis. Hati dan perutku teriris luka dan lapar.

"Lha aku itu, anu... aku itu tadi fesbukan, eh ndelalah kok pas online chat ndek fesbuk ketemu sama mas Yudha, trus..."

"Ora ngurus! Ga peduli Mas Arip atau mas Duryudhana balane Sengkuni kuwi, pokoke NO REKEN! Wetengku ki luwe Sriiii!!" teriakku dengan sisa tenagaku. "Tega temen dirimu ki kok malah fesbukan," tambahku.

"Mbak Ri, mbak Ri bilang walao kita babu, jangan sampai ketinggalan informasi dan ilmu. Seperti mbak Ri juga bisa ngeblog tho? Berarti aku bisa fesbukan juga khan? Hari gini mosok ga punya fesbuk? Lha mosok cuma anak sekolahan dan kuliahan, PNS, juragan, ndoro, anggota DPR, atau karyawan perusahaan saja yang boleh punya blog atau fesbuk? Mosok cuma mereka yang boleh narsis dan nulis ini ono suka-suka mereka? Mosok para babu ga boleh bikin blog atao fesbuk? Mosok babu ga boleh menuliskan uneg-uneg kepala, nulis status nyentrik dan misuh-misuh karena bosnya yang kurang sajen?" kata Srinthil membela diri.

"Karepmu Sri, ga ada yang nglarang. Tapi mbok pas kamu fesbukan tadi sikilmu ya mlaku ke warung gitu, ora terus ndeprok pinggir dalan wiridan fesbuk thok! Kalo kayak gitu caramu ntar dapat masalah baru dari fesbuk kamu," kataku.

"Iya..iya...maap, ga gitu lagi deh mbak," jawab Srinthil. Kudengar Srinthil memesan rujak petis, namun perutku tak lagi bisa menunggu. Serta merta kupanggil mbak yang nawarin nasi bungkus yang lewat di depanku.

"Mbak, nasi campurnya satu mbak!" teriakku.

"Lho mbak Ri, aku wes pesen rujak petis iki, wes tak bayar pisan," kata Srinthil yang denger teriakanku.

"Ora urus, pangana dewe karo fesbukan," jawabku sambil mematikan HP.

Oh hari ini pertama kalinya aku mbolos bertemu dengan teman-teman se-gengku. Kusengajakan diriku untuk pulang kerumah (rumah bos) jauh lebih awal dari biasanya, dan kuabaikan beberapa misscall dari temen-temen geng yang menanyakanku. Aku lelah. Sebenarnya bukannya karena hatiku terlalu dongkol dengan Srinthil, karena toh setelah perutku terisi nasi campur tadi marahkupun sudah lenyap. Tapi, ah..entahlah..aku merasa seperti ada himpitan tertentu yang memaksaku kembali bertanya pada diriku sendiri, "Sampai kapan aku akan dicukupkan untuk merantau?"

Emak kemaren menangis karena lebaran kemaren aku membatalkan kepulanganku ke rumah. Berarti sudah terhitung sepuluh kali lebaran aku tidak berada dirumah. Emak kangen, kangen sekali. Ah, seandainya emak tau, kalau aku juga teramat-sangat-kangen-sekali-banget padanya...

Kepalaku berputar-putar, ucapan terakhir emak mendengung-dengung dikepalaku..."Nduk, awakmu kuwi wes dimanjakan dengan kemewahan Hong Kong, makanya takut pulang..." ah apa iya??? Tidak ada yang berubah dengan penampilanku, dari dulu hingga sekarang aku tetap penggemar jeans dan kaos, warna pilihanku juga cuma putih, abu-abu dan biru atau warna polos lainnya tanpa motif sama sekali, rambutku juga masih item, wajahku juga tetap polos tanpa polesan make up, tindikan di kupingku juga cuma satu di masing-maisng kuping...ah...tapi...notebookku...laptopku...koneksi internet yang unlimited dan gratis ini...nikon D90ku...itukah yang dimaksud emak dengan kemewahan itu? Barang-barang yang kudapati dengan perjuangan luar biasa di luar tugasku sebagai babu itu? ah tahukah mereka...?? ah...

.......

Hari demi hari Srinthil semakin jarang sms padaku, padahal Senin pagi waktu dia menelponku dia tahu kalau aku tak sedang marah padanya. Malam hari yang biasanya kami asyik bercengkrama bersama lewat sms gratisan dari smartone, Srinthil juga tak berpartisipasi.

Yang jelas tiap malam saat aku membuka laptop dan mengecek status fesbuk Srinthil, ternyata statusnya berubah-ubah di setiap jamnya, luarrr biasa! "Ah inikah lifestyle babu jaman sekarang?" tanyaku pada diri sendiri.

dreeettt...drreeeettt....dreeetttt....," getar Hpku yang kebetulan aq vibrate saja.

Tertera sebuah nama yang baru saja kita rasani bersama, Srinthil.

"Mbak Riiii...hik..huwaaa..huwaaa....

"Ada apa Sri?" tanyaku bingung.

"Mbak Ri...huwaaaa....aq mau lapor sama MUI mbak...huwaaaa...biar mereka memfatwa haram fesbuk, huwaa...waaa....aq di terminit mbak, huwaaa... Simbokku (bos perempuan) ngamuk a...huwaaa...metu Cinone..huwaaa....," wadul Srinthil disela isak tangisnya.

"Lha masalahe apa kok ada MUI dan facebook dan terminit campur jadi satu?" tanyaku heran campur kaget.

"Lha aq wingi kemaren ga sengaja invite dia di Fesbukku. Khan dari yahoo email itu aq invite semua gitu, lali lupa nek emaile simbok juga ada ndek situ...huwaaa...wa... Trus simbok ngamuk aku, dia bilang gini: "Is this you? Kamu kurang kerjaan ya? Kalo kurang kerjaan ntar tak tambahin kerjaan biar ga dolanan terus. Emange aq ngasih gaji kamu cuma buat nutul-nutul HP thok? Lagian Faceburuk gini kamu pamerin di Facebook?" gitu kata simbokku mbak, hik huwaaa...huwaaa...

"MBak...hik...emang Faceku buruk ya, hik...huwaa waa...,"

"Ya biasalah Sri, babu face," jawabku.

"Maksudnya baby face gitu ya mbak? ah mbak Ri salah ngucap," kata Srinthil.

"Bukan! Babu face kuwi artine rai babu," jwabku jujur.

"Mbak Riiii...huwaaa...elek ngunu ta? hik hiks...

"Trus kamu gimana ini sekarang? Dipecat tenan ta?" tanyaku tak menghiraukannya yang masih mempermasalahkan tentang babu face dan baby face.

"Iya mbak...hik...mau ke agen nyari bos lagi tapi ga mau pulang, aku di Cina aja mbak nunggu visa," katanya.

"Udah nelpon agen belum?" tanyaku

"Uwis,"

"Ya udah kamu di ejen aja dulu atau nyari tempat kos sambil nunggu nyari majikan dua minggu ini, ntar minggu kita ketemu, sekarang aku ga bisa bantu, aku sendiri lagi kerja. Tapi nek kamu butuh uang, ntar boleh pinjem aku," tegasku.

"Makasih mbak,"

Hening sejenak, di selilingi isak Srinthil yang tinggal satu dua...

"Mbak..,"

"Ya,"

"Trus blog e sampeyan piye?" tanyanya yang membuatku kaget.

"Apane sing kepiye?"

"Lha nanti trus Serial Srinthil rak mandeg?" tanyanya serius.

"Wakakaka...kok sempet-sempete dirimu mikir tho Sri.." jawabku.

"Ga usah ditulis aja ya mbak sampek aku dapet majikan sing genah," pesannya

"Ya wes lah gampang," jawabku.

.......

Nah itulah kawan alasan dari kealpaan serial Srinthilku....
jumpa lagi di Srinthil berikutnya karena Srinthil is BACK!!

Perusahaan Abang Ijo vs Abang Putih

Kawans, ini adalah cerita tentang perusahaan Abang Ijo dan perusahaan Abang Putih, cobalah simak hingga akhir cerita....

Bapak Lesmana adalah pemimpin dari perusahaan Abang Ijo. Dan seperti halnya Raden Lesmana dalam tokoh pewayangan, bapak Lesmana ini seorang pemimpin yang gagah, tampan tapi peragu dan sedikit tolol.

Suatu hari, perusahaan Abang Ijo mengikuti sebuah tender besar. Dalam tender itu dibutuhkan kecepatan dan ketepatan pimpinan perusahaan untuk membuat keputusan.

Bapak Lesmana dengan kepercayaan diri yang meluap-luap berkata, “Aku berjanji, perusahaan Abang Ijo pasti memenangkan tender ini!” Perkataan tersebut tentu saja membuat pegawai perusahaan berbangga hati mempunyai pimpinan yang optimis dan berjanji setinggi gunung.

Kemudian masalah timbul ketika sampai pada pembuatan keputusan. Bapak Lesmana terlalu bijaksana. Beliau menimbang-nimbang beberapa hal dan menerapkan ilmu matematika dalam menghitung untung rugi. Itu dilakukannya berulang-ulang. Kebijaksanaan yang berlebihan yang diterapkan oleh bapak Lesmana ini menjadikannya seorang pemimpin yang peragu, ragu dalam membuat keputusan. Karena ragu membuat keputusan, tender besarpun gagal di dapat dan pegawai perusahaan kecewa terhadap pimpinannya.

Payahnya kejadian seperti ini tidak menjadikan bapak Lesmana menyadari kesalahan dan berbenah diri. Perusahaan Abang Ijo pun gagal mendapatkan tender-tender selanjutnya karena pak Lesmana hanya mampu berjanji tapi tak mampu membuat keputusan. Tidak ada tanda bahwa pak Lesmana mempunyai itikad baik untuk memenuhi janjinya dan memberikan bukti bahwa beliau adalah pemimpin yang mumpuni.

Pegawai-pegawainyanya geram dan mengadakan mogok kerja. Perusahaan menjadi makin terpuruk dan hampir dinyatakan bangkrut. Nah saat itu barulah bapak Lesmana sadar akan kesalahannya dan segera merubah diri dan strategi

Sekarang, ketika perusahaaan Lesmana mengikuti tender atau tawaran kerjasama, bapak Lesmana berpikir cepat, bertindak cepat dan membuat keputusan secara cepat dan tepat pula. Akhirnya perusahaan Lesmana mendapatkan prestise sekaligus prestasi yang luar biasa. Dan bapak Lesmana kini menjadi seorang pemimpin yang disegani sekaligus disayangi oleh pegawai-pegawainya.

……….

Ada banyak cerita serupa yang berisikan tentang nilai hidup seseorang yang berada dalam timbangan baik atau buruk, pahlawan atau pengecut, lakon atau bandit. Kesemuanya mengerucut ke satu sistem tatanan nilai yang hampir sama, bahwa kesetimbangan atas nilai baik dan buruk itu dipertanggungjawabkan pada hasil akhir sebuah proses.

Beruntung bagi bapak Lesmana yang mendapat teguran dari pegawainya lewat pemogokan yang kemudian menjadikannya mengakui kesalahannya dan berbenah diri, Pegawainya pun mengampuni kesalahannya, bahwa salah itu tak mengapa yang terpenting mengakui kesalahan dan jangan melakukan kesalahan yang serupa lagi.

Lepas dari kultur ketimuran atau pola pikir ketimuran, masyarakat manapun, termasuk Indonesia dan Buruh Migran Indonesia-Hong Kong (BMI-HK) pada khususnya, tentu mempunyai pemikiran yang sama. Bahwa kita menghargai sebuah proses sekaligus hasil akhir.

Seperti halnya BMI-HK menunggu sebuah proses dan progress dari pemerintah Indonesia untuk membuat kebijaksanaan dan perlindungan bagi buruh migran pada umumnya dan BMI-HK pada khususnya, namun hingga kini kebijaksanaan dan perlindungan itu masih sebatas janji. Padahal, perlindungan dan kebijaksanaan pemerintah terhadap BMI adalah happy ending dan romantisme dari kisah cinta warga negara (BMI = warga negara) dan pemerintahnya.

Banyak hal yang bisa dilihat dari ketidakromantisan pemerintah. Seperti terminal IV khusus Tenaga Kerja Indonesia (TKI) yang di maksudkan untuk melindungi dan memberikan kenyamanan pada TKI yang baru pulang, ternyata tak lebih dari sebuah gedung megah tempat mangkal para kriminal yang berseragam. Terminal IV itu “rencananya” akan ditutup, namun catat kawan, itu baru “rencana”, entah akan diwujudkan atau tidak tergantung dari pemerintah yang katanya masih berpikir tentang opsi lain yang lebih baik.

Pelanggaran hak asasi manusia pada buruh migran seperti gaji di bawah standar, pelecehan seksual, kekerasan, potongan agen yang mencekik, penahanan paspor adalah momok bagi BMI, yang puluhan tahun sudah berjalan tanpa perbaikan yang berarti.

Konvensi PBB tahun 1990 tentang perlindungan buruh migran yang ditandatangani oleh pemerintah Indonesia pada tahun 2004, sampai saat inipun belum diratifikasi padahal jelas ratifikasi konvensi buruh migran ini sangat diperlukan sebagai dasar dari pembentukan kebijakan bagi buruh migran. Pemerintah malah menyerukan dakwahnya dengan mengajak para BMI untuk bersabar. “Tunggu sampai pemerintah siap, sabar ya,” kata Muhaimin Iskandar, Menteri Tenaga Kerja Sosial dan Transmigrasi (menakestran) pada dialog yang diadakan di aula gedung Konsulat Jenderal Republik Indonesia-Hong Kong (KJRI-HK) lantai 20, Minggu (27 des ’09).

Meskipun desakan-desakan kepada KJRI untuk meningkatkan pelayanan secara maksimal dan memberikan perlindungan terhadap BMI juga desakan-desakan kepada pemerintah Indonesia untuk meratifikasi konvensi PBB tahun 1990 sekaligus membuat kebijakan baru dan perlindungan utuh sebagai kewajiban dari pemerintah kepada warganya telah dilakukan berulang kali, namun baik KJRI-HK maupun pemerintah masih adem ayem menyaksikan telenovela dari serial drama duka BMI. Pun beberapa dialog yang sempat digelar bersama KJRI dan menakestran, tak lebih hanya sebuah ajang silaturahim yang dipaksakan.

Kesemua itu menunjukkan timbangan kebaikan pemerintah Indonesia yang jauh dari harapan. Ibaratnya janji sudah setinggi gunung, namun bukti baru sebatas mata kaki (antagonisme antara janji dan bukti). Wah rupanya dari tahun ajaran lama (pemerintahan lama) hinggga beberapa kali ganti tahun ajaran (ganti kepemerintahan/pemimpn), tetap saja menggunakan kurikulum (janji) yang sama ya?

Ah, seandainya pemerintah bisa searif bapak Lesmana yang menyadari kesalahannya kemudian memperbaiki diri dengan membuat keputusan secara cepat dan tepat, tentu antagonisme antara janji dan bukti ini tak akan pernah terjadi. Hubungan BMI dan pemerintah/KJRI pun akan mesra lagi, romantis lagi dan sejalan hati.

Apakah mustahil adanya happy ending dari kisah cinta antara BMI dan pemerintah?

Dancuk! Bojoku Rabi Maneh!

"Dancuk! Bojoku rabi maneh!" jerite Suwanti kanthi luh dleweran lan ulat getem-getem. Tangan kekarone nggedhor meja sakrosane. Dene HP-ne mencelat sanalika, nyampluk sikile kenya ayu kang pinuju liwat ing sacedhake.

Aku minggir, rumangsa wedi nyawang kahanan atine Suwanti kang lagi kebranang. Age-age wae aku mrangguli lan nyuwun pangapura marang kenya ayu kang meh wae nesu nyawang patrape Suwanti. "Sepurane, Jeng. Iki mbakyuku lagi susah atine merga ditinggal rabi maneh karo bojone," kandhaku alon marang kenya kuwi mau. Kenya kuwi ngadoh kanthi lambe mecucu.

Aku judeg, ora ngerti apa kang isa kaucap kanggo ngarih-arih dheweke. Apa ya ilok menawa aku menehi wejangan marang dheweke amarga aku dhewe uga nate ngalami kedadeyan kang pada plek setahun kepungkur? Kaya dene Suwanti, setahun kepungkur bojoku rabi maneh tanpa palilahku. Lelakon kaya ngene iki ora mung siji loro kedadeyan marang wanita kaya aku lan Suwanti, atusan, malah menawa uga ewon cacahe.

Ora salahku menawa dadi wong ora duwe, kere. Uga dudu salahe Suwanti utawa wanita-wanita liyane. Kuwi mana wis ginaris dening Gusti Kang Murbeng Dumadi lan kita mung saderma nglakoni, rak ya ngono tho? Dene ora sak jamake menungsa pasrah marang nasib, mesthi ana pambudidaya amrih becike urip.

Cekak aose aku lan Suwanti mana mbabu ning Hong Kong, ninggalake bojo lan nyengkut makarya. Nyikut sekabehing rasa sedih uga sepi, pamrihe muga-muga bisa dadia dalan tumuju becike dina ngarep lan bebrayan. Kabeh mau wes ana palilah lan niat bismillah.

Tak kandhani ya, aku lan Suwanti ora nate milih dadi babu, ora! Iki mana kebutuhan. Dudu pilihan. Diarani pilihan mana menawa ana pilihan apik lan elek, dadi isa di gawe bahan pertimbangan ngana kae. Tuladhane milih mangan karo sambel trasi apa opor. Karuan nek opor luwih enak tinimbang sambel trasi, amarga sambel trasi kuwi rak gawe sereden tho? Beda karo opor, opor isa gawe kewaregen, ngentek-entekke sega sewakul!

Lha iki apa tumon ana pilihan kang kaya mengkene, milih dadi forever kere apa babu? Rak ya kojur tho? Ora adil, wong menehi pilihan kok padha-padha rekasane! Mangkane dadi babu kuwi dudu pilihan nanging kebutuhan.

Ndilalah sing jenenge pacoban urip kuwi maneka warna. Owah-owahan kuwi gawa bubrahing suasana. Sapa sing salah? Apa aku utawa Suwanti lan wanita-wanita sing oncat ninggalake negara lan bojo? Geneya akeh uwong kang alok menawa bubrahing keluarga merga wanitane lunga yen menawa lungane mau wes entuk palilah lan dadi niate wong loro? Geneya kita wanita sing wes rekasa keraya-raya kerja ninggal keluarga sing dituding dadi punjering masalah? Kuwi ora adil! Geneya ora nyalahke negara wae sing ora kasil gawe makmure rakyate?

Ora krasa luhku dleweran rerasan lara lapa sing di alami dening wanita-wanita kaya aku. O ndonya...

"Brakkkk!!" suara meja di gedhor maneh. Sedela wae akeh mata kang nyawang Suwanti. aku rumangsa sumpek ing tengahing taman kang padatan di enggo ngaso para babu ing Hong Kong nalika wayah libur kerja kuwi.

"Wes tho Wan, sabar...sabar," kandhaku marang Suwanti padha plek karo apa kang kinucap dening Suwanti marang aku setahun kepungkur. Nyoba ngarih-arih lan ngelus-elus pundake nanging tanganku dikibatake kanthi kasar. Ah, biyen aku uga kaya mengkono, pikirku.

"Aku salah apa Sar? Aku kurang apik piye? Huu...uuu..," pitakone Suwanti marang aku karo mingseg-mingseg, pitakon kang padha kaya sing nate dak takonake marang dheweke.

"Kowe ora salah Wan," jawabku.

"Aku kurang apa Sar? Aku kudune kepriye? Huu..uuu..," pitakone maneh.

Meh wae dak wangsuli, "Kurang cedhak Wan" nanging dak wurungake. Ndah ne laraning atine Suwanti yen aku nyalahke dheweke wektu kuwi. Apa ya kudu nyalahke kahanan? Ah embuh...

Yen amarga kurang komunikasi lha wong Suwanti ya kerep caturan karo bojone lewat telpon. Kebutuhan ben dina sasat dicukupi karo Suwanti, malah kala-kala Suwanti ngemenke ngirim klambi utawa panganan karemaning bojone saka Hong Kong. Malah uga saking gemine Suwanti kanyata wes kasil gawe omah kramikan barang.

"Aku kudu priye iki Sar? Rong minggu engkas aku bali kok malah ana kabar kaya mengkene, huuu...uu...,"

"Sabar Wan, dileremake atine. Yen bali aja nganti kowe katon kalah ning ngarepe bojomu, aja kaya aku. Tatagna atimu, aja pamer luh, Wan," kandhaku, nanging luhku dhewe dleweran nalika aku ngrangkul raket Suwanti.

Ah rasa iki, rasa kang padha karo sing nate dakrasa, ya rasa iki uga kang gawe raketing kekancan kaya paseduluran.

Aku ndhangak, apa alam iki ora krasa menawa ana ati kang lagi kelara-lara? Geneya abang kuning, ijo, biru, ungu kluwung gumantung ing angkasa mbarengi gonjang-ganjinging ati kang diblenjani tresna?


ANA CANDHAKE...