Galau?

huuhuuhuuuu...

Semangaaaaatttt..!

Love your job and be proud.

Iyes!

Bekerja sambil belajar.

Masih galau lagi?

No! No! No! Be happy laahhh...!

Ayo ngeblog!

Masa kalah sama Babu Ngeblog?

sebuah cerpen jelek yang sayang kubuang

DEMO DUA KALI


Cece, kamu ngapain pakai baju seperti itu? We are going to have a demonstration!” teriak dhai-dhaiku yang cina kelahiran Kanada itu.

Yess mam, go demonstration!” jawabku tegas.

“Mana ada orang demonstrasi pakai baju seperti itu?” tanyanya dengan nada meninggi yang lebih mirip sebuah keterkejutan dengan penampilanku.

Kuperhatikan apa yang menempel pada tubuhku. Rasanya tidak ada yang aneh, pikirku. Aku memakai kaos hitam bergambar metal, celana jeans yang terlihat robek disana-sini, juga blangkon warna coklat yang bertengger manis di atas kepalaku.

“Hari ini adalah tanggal 1 Mei, lalu apa yang salah akan penampilan saya hari ini? Bukankah kalo orang mau demonstrasi itu berpakaian seperti ini?” kataku berargumen.

We are going demonstration, right?” tanyaku memastikan.

“Aku ajak kamu untuk demo masak, bukan demo di jalanan itu,” kata dhai-dhaiku.

“Bukan yau hang?” tanyaku kaget. Hampir saja blangkonku terloncat dari kepalaku.

“Bukan, bukaan! Demo masak,” jawab dhai-dhai singkat dan jelas.

Shi fan? Jadi bukan yau hang?” tanyaku lagi.

“Iya shi fan bukan yau hang,” jawab dhai-dhai lagi.

Kawan, jawaban itu tentunya bukanlah jawaban yang aku harapkan. Kerongkonganku mendadak kering, aku tak lagi merasakan setetes air ludahpun yang berada disana untuk melumaskan jalur makananku itu. Kegembiraan yang tadi meluap-luap kini hangus, sudah terbakar dan menjadi debu jugapun hampir beterbangan.

“Iya shi fan, demo masak gitu. Kami mau kamu nunjukin pada mereka bahwa kamu pinter masak nasi goreng ala Indonesia itu. Demonstrasi masak gitu,” tambah Sang sing sang.

“Nasi goreng di tanggal 1 Mei?” tanyaku dengan dahi berkerut dan suara pilu.

“Iya. Lha kamu pikir kenapa kemarin kami suruh kamu belanja banyak banget gitu?” dhai-dhai menegaskan.

“But, tapi ini khan tanggal 1 Mei, Dhai-dhai. Makanan bobo juga sudah saya siapkan. Ini Mayday, Dhai-dhai,” kataku setengah berteriak.

“Lho lha kemarin khan aku bilang sama kamu kalau hari ini kita ada acara, dan kamu kemarin bilang oke, khan?” kata dhai-dhai membela diri.

“Iya. Lha kemarin Dhai-dhai bilang kalau kita akan demonstrasi. On first of May, we go demonstration. Like that, right?”

“Iya. Tapi yang aku maksudkan bukan demonstrasi jalanan itu. Demo masak, shi fan, gitu lho!”

“Saya pikir yang Dhai-dhai maksud adalah demonstrasi yang di jalanan itu, yau hang itu,” jawabku lemas.

Mataku berkedut-kedut. Mendadak cairan panas memenuhinya. Airmataku tentu saja mengalir dengan segera, ndlewer di kedua belah pipiku. Aku tak lagi memperdulikan reaksi singsang dhai-dhaiku yang seketika terkejut melihat jatuhnya airmataku. Kubiarkan airmata itu berjuntaian, sedangkan kedua bosku itu menatapku takjub sekaligus takut.

Aku membayangkan sekarang teman-temanku pasti sedang berkumpul di Victoria Park. Dengan seragam hijau dan hitam dan panji-panji yang diangkat tinggi-tinggi. Meneriakkan tuntutan bersama ratusan atau bahkan ribuan buruh lainnya. Betapa aku ingin menjadi bagian dari mereka. Dan sekarang aku harus terkurung disini dengan wajan dan panci yang siap menanti? Oalah…

Cece, are you Ok?’ tanya dhai-dhaiku cemas.

What? OK? Dasar Ciken alias cina kentir! Lha wong hari buruh sedunia kok tega-teganya aku disuruh mbabu,” gerutuku dalam hati.

No!” jawabku pendek menyentak, hampir-hampir aku sendiri terpental kaget oleh satu kataku itu.

Aku lihat dhai-dhai berwajah takut, kemudian sing sang mengamit lengannya dan mengajak berbincang agak menjauh dariku.

Air mataku masih mengalir. Kudengar sayup-sayup Atun, babu sebelah, mengucap kata “bye-bye” kepada anak asuhnya. Oh dia kini bebas, batinku. Dan semakin deras saja airmataku menganak sungai. Oalah nasib, nasib… Haruskah aku mbabu di hari buruh sedunia ini?

Cece, sorry a. Kami tahu kalau ini adalah hari buruh sedunia. Tapi kami pikir kita sudah membuatnya jelas tentang ini. Kami pikir kamu setuju untuk demo masak siang ini,” kata sing sang.

Cece, emkoi lei a. Kami sudah undang beberapa saudara untuk datang dan menikmati nasi goreng buatanmu,” tambah dhai-dhai. Suaranya terdengar memohon sekali.

Mayday Dhai-dhai,” kataku masih terisak.

Kuusap ingusku yang juga turut berpartisipasi dalam kesedihanku. Kerah kaos hitamku menjadi basah dan agak berlendir oleh ingusku.

Kutatap wajah kedua bosku. Di matanya terlihat kata maaf yang amat mendalam juga kecewa yang teramat sangat. Pemandangan itu seketika menghentikan aktifitas sedihku. Menjadikannya gumpalan-gumpalan simpati sesaat.

“Ah rupanya salah pengertian. Seandainya dari semula sudah jelas demonstrasi macam apa yang akan dilakukan, tentu tidak begini jadinya. Kamu bisa menolak untuk demo masak dan kami bisa mengundurnya di lain hari,” kata sing sang bersintesa.

Dalam hati aku mengiyakan, memang benar kata sing sang. Sendainya dijelaskan sejelas-jelasnya dari awal tentu tidak begini jadinya.

Tim a?” tanya dhai-dhai menggantung. Matanya ada diantara aku dan sing sang.

Oh, rupanya bosku masih punya hati, pikirku.

“OO!!” teriak sing sang seketika. Kata “O” nya menyentak telinga mengagetkan aku dan dhai-dhai.

“Apa?” tanya dhai-dhai.

“Bagaimana kalau kamu libur setengah hari saja, sekarang kamu podhong, nyiapin masakan trus jam 11:30 nanti masak trus setelah masak selesai kamu cepat-cepat libur, gimana? Nanti kami yang beres-beres dapur dan cuci piringnya. Gimana?”

“Saran yang bagus! Tim a, Cece?” tanya dhai-dhai .

Boleh juga saran itu, masih mending libur setengah hari dari pada nggak libur sama sekali, pikirku.

Howak,” jawabku menyetujui.

Pemandangan bertemu dengan teman-temanku dan melakukan tuntutan tergambar lagi. Kali ini bukan dengan kesedihan tapi dengan kebahagiaan hatiku, aku akan berada di antara mereka.

Dan benar saja kawan, jam 1 setelah demo masakku selesai, aku segera meluncur ke Victoria Park. Di sana kutemukan teman-temanku masih melakukan tuntutannya.

“Lha kok kamu telat? Di telpon berkali-kali juga ga diangkat?” tanya Samiatun.

“Maaf, tadi aku lagi demo masak,” jawabku. Kujelaskan secara ringkas tentang demo lain yang kujalankan siang tadi, dan mereka manggut-manggut tanda mengerti.

“Jadi aku demo dua kali hari ini,” kataku pula.

“Oalah…buruan kesini, gantiin aku bawa tulisan ini, tanganku sudah pegel neh!” kata Paijah.

Howak, howak,” jawabku semangat.

Ka yankung, ka yankung, ka yankung!” teriak teman-temanku.

Ka yankung, ka lokong, ka kangkung!!” teriakku.

“Semprul tenan kowe iki!” teriak teman-temanku padaku.

“Nek niat demo kuwi sing nggenah yel-yelannya!” bentak Ipung ketua organisasiku.

Ka yankung, ka lokong, ka kangkung!” teriakku lagi.

“Ineeeeeeeeeeeeeeemmmmmmmmmmmmmm………………………….!!!!!!!






Keterangan:



Singsang/dhai-dhai: Tuan/Nyonya

Cece: kakak(sebutan umum)

Yau hang: demonstrasi

Shi fan: demo masak

Bobo: nenek

Emkoi lei: tolonglah

Tim a: bagaimana

Podhong: masak sup selama 2-3 jam

Howak: baiklah

Ka yankung, ka lokong, kangkung: naikkan/tambah gaji, tambah suami, tambah kangkung.

Kebangkitan Kedua

Luar biasa! Ternyata waktu berjalan begitu cepat. Seratus tahun bukan sedikit masa untuk bangkit. Tetapi kebangkitan yang diharapkan harus berjongkok kemudian duduk, bangkit lagi lalu jongkok kemudian duduk lagi, berulang-ulang. Bukan karena terlalu lelah bangkit, tetapi karena kesadaran untuk bangkit sepertinya belum ada sepenuhnya.

Dulu, seratus tahun yang lalu, kesadaran itu pernah ada. Yaitu kesadaran dalam bidang politik. Kesadaran tentang kesatuan kebangsaan untuk menentang kekuasaan penjajahan Belanda yang telah berabad-abad lamanya berlangsung di tanah air Indonesia. Kesadaran yang kemudian menjadi tonggak kebangkitan nasional.

Kebangkitan nasional yang lahir pada 20 Mei 1908 ini kemudian menjadi tonggak perjuangan yang terus berlanjut. Organisasi-organisasi perjuangan lain kemudian muncul di masing-masing daerah. Seperti Jong Java untuk daerah jawa, Jong Ambon di Ambon, Jong Selebes di Sulawesi, Jong Sumatra di Sumatra, Jong Minahasa di Minahasa, juga organisasi Islam Nahdatul Ulama dan Muhammadiyah juga Partai Nasional Indonesia.

Sumpah Pemuda pada tahun 1928 kemudian menjadi lanjutan dari kebangkitan nasional itu. Dan proklamasi kemerdekaan pada tahun 1945 oleh Soekarno-Hatta menjadi puncak perjuangan tersebut.

Terhitung sejak tahun 1908 sampai sekarang, yang berarti dalam kurun waktu 100 tahun, Indonesia telah melalui beberapa gejolak dan rintangan. Sebut saja masa kepemerintahan orde lama, orde baru menyusul juga orde reformasi.

Ironisnya segala gejolak dan rintangan itu belum mampu mendewasakan Indonesia. Negara kita yang berusia lebih tua daripada negara-negara tetangga itu justru berada di lapisan dasar keterpurukannya. Bisa dilihat dari banyaknya jumlah orang yang berada di bawah garis kemiskinan, kurangnya pendidikan, banyaknya pengangguran, minimnya sarana-sarana penunjang kemajuan untuk umum dan sebagainya. Bahkan pemandangan jorok dan kumuh di daerah ibukota adalah suatu hal yang diwajarkan.

Hal semacam tadi kemudian mengundang protes dan tuntutan. Protes terhadap perbaikan para pemimpin dan kepemimpinannya. Pendapat awam, yang menyebabkan keterpurukan atau ketidakmajuan tersebut adalah pemimpinnya. Pemimpin dianggap sebagai sang pemimpi(lho kok kayak judul bukunya bang ikal? hehehehe…).

Vonis seperti itu kalau di telaah terlebih dahulu justru menimbulkan kesemrawutan. Dan bukankah yang memilih para pemimpin tersebut adalah kita(rakyat)? Dan bukankah asal mereka dari kita (rakyat)? Dan bukankah itu berarti segala kelakuan buruk oleh para pemimpi(n) tersebut adalah cermin dari kelakuan rakyat pada umumnya?

Fenomena semacam ini apakah karena salah milih, asal milih atau tidak ada pilihan?

Pertanyaan-pertanyaan besar tersebut sebenarnya tak akan terlontarkan seandainya mental dan budaya dari masyarakat Indonesia sendiri sudah mampu diperbaiki. Menata mental dan budaya bangsa untuk dijadikan pemimpin yang baru, pemimpin yang mampu membawa bangsa pada kemajuan. Satu hal yang sederhana untuk siapa saja, tapi pemahaman akan hal sederhana ini ternyata masih terlampau berat untuk dijalankan.

Seandainya saja perbaikan dari mental dan budaya bangsa itu dijadikan sebagai perjuangan selanjutnya, sebagai kebangkitan kedua, tentulah kemajuan bangsa segera menjadi nyata.

Jadi bukan hanya menuntut perbaikan sang pemimpi(n) saja tetapi seyogyanya dibarengi dengan perbaikan mental dan budaya bangsa. Karena menuntut perbaikan pemimpin saja tanpa perbaikan mental dan budaya dari setiap rakyat adalah sia-sia, karena rakyatlah yang kemudian menjadi pemimpin selanjutnya.

Bukankah suatu hal indah kalau terbentuk sebuah bangsa yang pemimpinnya(bukan pemimpinya) dan rakyatnya bermental dan berkebudayaan?

__________________________________________________________


Special thanks for kang Slamet atas kata "pemimpi(n)" nya yang kucomot untuk tulisanku ini, hehehehe...peace kang!!

Mbabu Sambil Belajar


Minggu,18 Mei 2008

Hongkong, sebuah lembaga pendidikan bidang komputer, LPPMI(Lembaga Pendidikan Profesional Mandala Indonesia) cabang Hongkong, mewisuda para mahasiswa program D1 tahun ajaran 2007-2008.

Acara yang dihadiri oleh 117(maaf kalau salah hitung) wisudawati dan undangan beserta jajaran LPPMI tersebut berlangsung mulai dari pukul 12:00 AM - 17:00 PM di Hotel Regal Hongkong.

Susunan acara dimulai dengan pelantunan lagu Indonesia Raya dan beberapa sambutan dari panitia, wakil wisudawati,direktur LPPMI, komisaris LPPMI, penyelenggara pendidikan, dilanjutkan dengan penyerahan sertifikat dan pelantikan oleh ibu Adriyanto selaku penyelenggara pendidikan beserta bapak Hasanuddin Abdullah selaku wakil direktur LPPMI, acara selanjutnya adalah hiburan dan terakhir adalah doa penutup.


Pada dasarnya acara berjalan dengan lancar, sebelumnya sedikit kendala lumrah yang sudah mendarah daging pada kebanyakan bangsa Indonesia, yaitu jam karet alias molor sempat menunda pelaksanaan acara yang dijadwalkan dimulai dari pukul 11:00 AM itu.

Setidaknya sudah ada dua Universitas(LPPMI & ITS) yang berada di Hongkong yang memberi kesempatan kepada para BMI(Buruh Migran Indonesia) untuk mengenyam pendidikan. Para BMI(=TKW) yang dalam kesehariannya memegang sapu dan dan kain pel ini, berhasil menginvestasikan uangnya dalam bentuk ilmu.

Kesibukan kerja sehari-hari yang hampir memakan waktu 16 jam perhari rupanya bukanlah suatu kendala oleh para BMI tersebut untuk belajar. Tak jarang di tengah malam buta tatkala semua pekerjaan sudah selesai dan sang "ndoro" telah tertidur lelap, wanita-wanita perkasa ini menyempatkan waktunya untuk belajar. Rupanya semangat belajar tidak padam sekalipun mereka berada di negeri Cina sebagai pembantu.

Dan benar saja kata pepatah: "Belajarlah walau sampai ke negeri Cina." Negeri Cina yang dalam hal ini adalah Hong Kong, adalah tempat untuk mencari uang sekaligus ilmu.

"Komputer sekarang dibutuhkan dimana-mana, sepertinya rugi banget deh kalau di jaman sekarang ini orang ga kenal komputer. Aku berharap ga cuma sekedar kenal saja tapi sekaligus mempelajari, mengetahui dan semoga saja juga bisa menguasai. Yang penting terus belajar gitu, untuk meningkatkan kualitas diri jadi ntar kalau punya anak khan aku bisa ngajarin anakku, hehehehe," kata Hindun, salah satu wisudawati.

"Ya kalau dulu waktu di Indonesia khan ga sempet belajar, karena ga ada dananya. Lha sekarang ada dananya dan ada kesempatan kenapa tidak? Aku khan juga ga mau di anggap bodoh terus," tambahnya pula.

Memang benar, ramai orang berpendapat kalau orang yang di kirim ke luar negeri yang dalam hal ini khususnya adalah TKW, adalah orang-orang bodoh atau kurang berotak. Alasannya adalah karena mereka menganggap kalau mereka tidak bodoh dan berotak tentulah tidak akan bekerja di luar negeri dan mendapatkan pekerjaan yang layak(bukan babu) di negeri sendiri.

Pandangan sempit ini didukung oleh fakta bahwa umumnya untuk menjadi TKW hanya dibutuhkan ijasah SMP saja. Bahkan tak jarang di beberapa PJTKI praktek pendlesepan TKW yang berpendidikan kurang dari SMP(cuma berpendidikan SD saja) sering terjadi.

Pendidikan pula telah membuat sebuah celah nyata atau bahkan pelecehan atas status kecerdasan atau kemampuan seseorang. Kebanyakan masyarakat lebih percaya atas paper proof(ijasah) daripada skill proof(kemampuan/keahlian). Dan merekalah yang biasanya menilai TKW sebagai seseorang kelas rendah, kasta sudra yang bodoh, tak berpendidikan. Padahal kalau dilihat begitu banyak kasta ksatria(orang-orang berpendidikan tinggi)yang hanya menjadi gelandangan tak kentara, karena tidak mendapatkan pekerjaan.

Bangga atas kelulusannya Liya mengatakan, "Wah seneng banget rasanya bisa lulus D1, ntar juga aku mau nerusin sampai D3. Seneng banget rasanya apalagi belajar ini khan pakek uang sendiri, bayar sendiri gitu."

Di lain pihak, ditanya tentang alasannya mengapa memilih kuliah di Hongkong daripada di Indonesia, Sumi menjawab, "Ya kalau masih di Hongkong khan sambil kerja gitu, uangnya masih ngalir. Lha kalau sudah di Indonesia khan pemasukannya sudah berhenti total. Kalau dinilai dari segi materi(pelajaran) mungkin kita(TKW) kalah ama mahasiswa yang ada di Indonesia karena mereka kuliahnya tiap hari sedang kita(TKW) disini cuma pas hari minggu aja. Tapi kalau dilihat dari segi praktek kayaknya kita(TKW) jauh lebih bagus kok. Ada laptop sendiri, juga ada internet. Yang penting telaten belajarnya, pasti bisa deh."

Ya, benar. Pasti bisa. Mempunyai tugas pribadi sebagai pejuang yang tangguh takkan bisa tanpa keyakinan diri.

Selamat kepada para wisudawati! Kalau Indonesia mengekspor kita sebagai TKW maka pulanglah ke tanah air sebagai sarjana(skill proof and paper proof), berangkat modal sapu pulang bawa modal dan ilmu.Bukankah kita pejuang yang tangguh, wanita-wanita perkasa??

Oh nooo!! Aku dilecehkan!

Sesuatu bergerilya menelusuri bukit terbesar di bagian tubuh belakang tengahku, pantatku. Aku merasakan desiran lembut di seluruh kulitku. Meremang, mendadak perasaan geli dan takut menyirami diriku.

Saat itu bus no 11 yang aku tumpangi melaju dengan kecepatan sedang. Bus yang penuh sesak oleh penumpang itu menjadikan aku susah untuk bernapas. Aneka macam bau minyak wangi yang sudah terkontaminasi oleh acid atau zat asam yang merupakan limbah dari ketiak-ketiak yang terbuka lebar karena memegangi gantungan yang ada diatas untuk berpegangan, menyesakkan dadaku. Belum lagi beberapa orang yang berbau rokok dibelakangku.

Aku masih berkhusnudzon, tidak berburuk sangka terhadap apa yang mengusap-usap lembut pantatku. Aku berpikir usapan seperti itu pasti karena banyaknya penumpang yang berdesak-desakan. Dan itulah kesalahan terfatalku. Selanjutnya bukan hanya pantatku yang terkena serangan gerilya itu, seterusnya merembet ke pahaku. Refleks aku melihat, dan segera terkejut begitu melihat sebuah tangan kekar lengkap dengan bulu-bulunya dan jam tangan warna biru tua berada disana. Secepat itu pula tangan itu segera menghilang dari pandangan mata sebelum sempat aku mengumpatkan sesuatu kepada pemilik tangan yang kemudian berpuara-pura seperti tak ada suatu hal pun yang terjadi.

Geram hatiku, sungguh. Pelecehan semacam ini harus di balaskan. Dan seketika aku teringat akan sepatu high heel yang aku gunakan hari ini. Rasakan pembalasanku, dalam hatiku berteriak.

"Duugg!" suara high heel beradu kaki yang bersandal japit saja.
"Auwww!" teriak pemilik jari kaki yang terinjak dengan kerasnya.

"Duugg!" kali ini high heel tersebut beradu tulang kering di kakinya.
"Auuwww!" teriaknya lagi.

"Yess!" teriakku lagi dalam hati, kali ini disertai sebuah senyum yang mengembang. Dan kulengkapi pula drama itu, ku kemas senyumku kemudian menengok ke arah orang yang mengaduh tersebut dengan muka yang penuh dengan tanda tanya.

Si orang yang memiliki jari kaki dan kaki lebam dan tangan kekar berbulu itu meringis kesakitan dan mendelik ke arahku, tapi aku yakin banyak orang tak akan menduga kalau akulah yang telah menyakitinya.

Kawan, aku bukannya mau memamerkan jurus-jurus untuk melawan orang yang telah melakukan pelecehan sexual terhadapku melainkan menunjukkan bagaimana perihal pelecehan sexual sering terjadi bahkan di dalam bus sekalipun. Dan wanita..yah lagi-lagi adalah korbannya.

Pasal dari tindakan balasanku tersebut adalah sekalipun aku berteriak dan melotot sampai mata separuh keluar si pelaku ga bakalan dianggep ama orang lain karena ga ada bukti. Jadi be brave aja.

So girls, if jika sesuatu seperti itu terjadi padamu apa yang akan kamu lakukan???