Galau?

huuhuuhuuuu...

Semangaaaaatttt..!

Love your job and be proud.

Iyes!

Bekerja sambil belajar.

Masih galau lagi?

No! No! No! Be happy laahhh...!

Ayo ngeblog!

Masa kalah sama Babu Ngeblog?

Jas Merah, Jangan Lupakan Sejarah

JAS MERAH (JAngan Sekali-kali MElupakan sejaRAH) yang dulu diajarkan oleh presiden pertama kita, Ir. Soekarno, kini telah ditanggalkan. Ianya tergantung di balik pintu belakang dekat dapur dan perkakas “kanca wingking” lainnya. Pemilik jas hanya mengingatnya selama 10 menit di tanggal 10 november di setiap tahunnya, ironis! Padahal kerap kali guru PPKn menggembar-gemborkan kepada siswa-siswinya tentang satu kalimat yang dari tahun-ketahun telah digemborkan kepada siswa-siswinya tedahulu. “Anak-anak, bangsa yang besar adalah bangsa yang menghargai jasa para pahlawan,” petuah Sang Guru.

Bisa jadi sistem pengajaran yang hanya mengedepankan ranah kognitif ini menjadi salah satu penyebab lunturnya penghargaan terhadap pahlawan. Siswa-siswi dijejali dengan tanggal-tanggal dan nama-nama tokoh tanpa dijelaskan hakikat dari mempelajari sejarah itu sendiri. Tapi tunggu! Jangan hanya menghakimi pak guru! Media dan kepedulian masyarakat sebenarnya ikut andil besar dalam hal ini.

Berapa banyak media yang menyoroti kepahlawanan seseorang? Sering kali pemberitaan tentang hari pahlawan hanya setakat laporan tentang rutinitas upacara dan acara mengheningkan cipta (dengan penuh kasak-kusuk) yang di lakukan oleh beberapa instansi penting atau orang-orang penting saja, ianya menjadi headline dengan foto-foto orang-orang penting yang sedang mengadakan seremonial peringatan tahunan tersebut dan ya, tentu saja, tak ketinggalan adanya foto-foto beliau-beliau saat acara tabur bunga di makam pahlawan nasional.

Liputan tentang kepahlawanan seseorang demi bertahan untuk hidup dan mengajak orang lain untuk hidup dengan semangat, hanya dimasukkan dalam selingan tak lebih dari lima belas menit, itupun pada waktu yang salah, saat semua orang tengah sibuk bekerja atau tengah sibuk ngiler dalam mimpi tujuh cerita. Selebihnya band-band pesolek dan plagiator versi boy band dan girl band gencar sekali ditayangkan. Hal-hal "ngrasani" yang tak penting seperti halnya ngrasani para selebritis dan politikus mandul yang haus publikasi, justru ditempatkan pada jam-jam istirahat. Weh lha dalah...

Satu lagi, dunia perfilman dan persenitronan yang cenderung bangga dengan menambahkan demit-demit dan setan-setan kurang mutu, plus paha mulus dan maaf, susu montok, dipaksakan untuk menggiring kesalahkaprahan persepsi masyarakat terhadap tontonan wagu untuk menjadi tuntunan. Bah!

Pun rasa kepedulian yang sangat kecil dari kelompok masyarakat, seolah menjadi jawaban bahwa tidak ada keuntungan baik moril maupun materil jika mengenal para pahlawan. Pahlawan hanya dijadikan alat untuk mendapatkan nilai dan menjadi dongeng pengantar tidur. Sikap tidak merasa memiliki ini adalah kesalahan bersama. Pengajaran, media, kepedulian masyarakat juga dari kesalahan system (kepemerintahan yang tidak menunjang) yang pada akhirnya membuat masyarakat kehilangan kebanggaannya terhadap para pahlawan.

Kalau sudah begini, akan semakin banyak anak bangsa ini yang kehilangan identitas nasionalismenya. Semakin banyak anak bangsa kehilangan kebanggaannya sebagai orang Indonesia. Kebanggaan akan kehebatan masa lalu hanyalan imajinasi yang sulit digapai oleh ketiadaan sumber dan media yang membuktikannya. Pendekatan ilmiah seolah mengaburkan sisi-sisi pendekatan sederhana yang harus disampaikan dan dikembangkan sejak dini.

Seyogyanya beberapa pembenahan segera di lakukan. Pembenahan dalam sistem pengajaran dengan, memperkenalkan pahlawan bisa dilakukan dengan berbagai cara secara terintegrasi akan menghasilkan persepsi positif bagi siswa.

Media yang ikut andil dalam menyorot kepahlawanan seseorang yang berbentuk apapun yang bisa menginspirasi dan menumbuhkan rasa cinta pada setiap pembacanya jugapun sebuah tindakan tentang bagaimana melakukan kreatifitas dan kebijakan lokal untuk memperkenalkan para pahlawannya.

Era otonomi daerah harusnya sudah dapat menjangkau sisi-sisi sejarahnya. Kebesaran suatu daerah jangan hanya diukur oleh jumlah bangunan megah, jumlah pusat belanja, dan aneka tempat wisata. Apresisasi terhadap para pahlawan adalah salah satu cara menunjukkan kebesaran suatu daerah, dan ya benar, bangsa yang besar adalah bangsa yang menghargai jasa para pahlawannya.

Gelar pahlawanpun tak hanya teruntuk pada mereka yang telah gugur di medan laga demi memerdekakan Indonesia tetapi juga kepada sesiapapun yang berhasil membuat perubahan (menuju ke arah yang lebih baik) dan menginspirasi orang lain untuk berbuat suatu kebajikan/kebaikan demi kemajuan bersama. Sudah waktunya setiap daerah memberikan penghargaan kepada orang-orang yang berjasa di daerahnya masing-masing. Penghargaan yang tak harus melulu di tunjukkan dengan uang dan upacara penyerahan piala atau piagam atau penyematan tanda jasa yang tak urung jatuhnya pada pengeluaran sekian dana demi kelangsungan upacara tersebut, penghormatan yang dengan lebih menekankan pada pengakuan akan prestasi dan karya dirinya bagi kemaslahatan umat manusia dalam skala sekecil apapun.

Hal seperti ini (penghormatan kepada pahlawan) masih langka adanya di Indonesia. Lebih banyak yang menginginkan kemerdekaan pribadi dan mendapat gelar, maaf, “pahlawan sesuatu yang beralamat palsu” yang hanya muncul ketika suatu musibah itu berakhir daripada menjadi inspirator atau pemikir atau pelaksana pendongkrak perubahan positif yang tentu saja dalam tanda petik “tanpa pamrih terselubung dan tanpa korupsi”.

Sudah saatnya untuk memakai kembali jas merah kita, di setiap hari setiap saat, setiap musim, setiap mimpi, dan setiap suasana.


----------------------------
Hong Kong, 12 agustus 2010


Foto diambil dari sini.