Galau?

huuhuuhuuuu...

Semangaaaaatttt..!

Love your job and be proud.

Iyes!

Bekerja sambil belajar.

Masih galau lagi?

No! No! No! Be happy laahhh...!

Ayo ngeblog!

Masa kalah sama Babu Ngeblog?

Calon Istri Kedua

Sudah tak siang lagi, tidakpun sore. Matahari yang telah pergi dua jam yang lalu meninggalkan sepi. Sepi yang membuat gemuruh di dada ini semakin memuncak. Sepi yang membuat keakraban seorang ibu dan anak menjadi gumpalan-gumpalan awan yang diam karena angin tak jua datang untuk mengusirnya pergi dari birunya kalbu. Dan itu menyiksakan.

Tak lepas-lepasnya mata tua yang telah lelah itu menatap jalan-jalan kosong. Matanya lurus memandang sedang ku tahu hatinya disini, disampingku. Mencoba memahamiku dan gagal. Mencoba membujukku dan sia-sia. Mata itu seolah takut memandangku, memandangku yang berarti menengok bayangan di masa mudanya.
Dia mendesah panjang, menutup tirai jendela yang kemudian menjadi penghalang mataku untuk melihat keluar secara jelas. Melangkah gontai menghampiriku seolah seribu beban di kakinya . Yang kulihat bukan beban di kakinya tapi di hatinya. “Ibu, maafkan Nimas,”kataku. Bibirku menganga tapi tak ada sepatah katapun yang terlepas. Kututup kembali bibirku dan aku siap menunggu.

“Haruskah ini turun-temurun ?” tanyanya pilu. Guratan-guratan kecil di dahinya mendadak menebal. Matanya menyipit menahan airmata yang sejak tadi memenuhinya. Dan lagi, dia meninggalkanku. Seolah membiarkan jarak tak menguak kegelisahan hatinya. Berjalan membelakangiku menyembunyikan wajahnya dari hadapanku.Selangkah sebelum dia sampai di depan tirai itu, setetes dua tetes airmata jatuh, aku tahu aku tahu…

“Ibu maafkan Nimas,” kataku dengan segenap keberanian yang terkumpul. “Nimas sudah memikirkannya bu. Nimas sadar akan segala resikonya. Toh mbak Ayu juga mengijinkannya. Bu, kalau ini ibu anggap dosa, biarlah Nimas menanggungnya. Kalau ini ibu anggap aib, maafkan Nimas. Tapi tolonglah jangan sekali-kali ibu anggap semua ini adalah turun-temurun. Ini cinta bu, hati yang bicara. Nimas mencintainya dan Nimas yakin dialah jodoh Nimas bu.”

Masih dengan pandangan yang sama, ibu menatapku. Sekali lagi mencoba memahamiku dan gagal. Berdiri lemas seolah tanpa daya menghadapi kemelut di dalam dirinya. Jarak yang ada di antara Ibu dan aku bukan sekedar sepuluh langkah saja, tapi sepuluh kali kerinduan akan kelembutan , pengertian dan kasih sayangnya. Tersadar bahwa aku butuh kedekatan itu, beranjak ku menujunya. Kuraih tangan tuanya dan dalam hitungan detik tangan tua itu telah basah. Tangisku pecah.

Dia yang mengajariku untuk tabah dan sabar, dia yang selalu sukses menyembunyikan duka, jugapun menangis. Saat itulah aku merasakan kedekatan yang sempat hilang. Saat itulah aku merasakan betapa jarak yang tadi ada seolah sirna di telan ombak airmata kami. Indah, nyaman.

“Lihatlah kamu,”katanya masih dengan airmata yang berlinang.

“Lihatlah ibu,”katanya lagi.

“Tidak cukupkah kamu melihat antara penderitaan dan cinta yang ibu alami sebagai contohmu?” Kurasakan getar suaranya sewaktu dia bertanya, seolah dia sendiri tak mempercayai apa yang telah di ucapkannya.

“Ibu, apakah ibu mencintai ayah ?” tanyaku takut.

“Ya pasti.”

“Apakah ayah mencintai ibu?”

“Tidak di ragukan lagi kaupun tau itu.”

“Dan Nimas pun sama bu. Nimas mencintai mas Panji, mas Panji mencintai Nimas,” kataku mantap tanpa keraguan sedikitpun.

“Tapi Nimas,…”

“Ibu, Nimas mohon izinkan Nimas restui Nimas bu, mengertilah ini bu.”

“Nimas, akankah kau kuat menerima gunjingan itu nak, akankah kau sanggup menghadapi cercaan sebegitu banyak orang ?”

“Nimas yakin pasti bisa bu.”

“Lihatlah ibu. Di mata orang istri kedua itu hina, istri kedua itu pengganggu dan pengacau kebahagiaan istri pertama. Tidak cukupkah ibu sebagai contohmu ? Lupakah kau sewaktu kau pulang sekolah dulu, menangis dan meraung hanya karena mendengar omongan orang tentang ibu ?”

“Nimas sadar, Nimas ingat bu.”

“Nimas, haruskah ini tur…….”

“Ibuu.. !!,” kataku dengan nada yang agak keras menampik kata-kata yang bakal keluar dari mulutnya, membuat ibu seketika menghentikan kata-katanya, terdiam. Saat itu juga aku menyesal telah memanggilnya dengan nada yang keras. Tapi aku tak mau kata-kata itu keluar lagi dari mulutnya, aku tak mau dia menyakiti hatiku dan hatinya dengan kata-kata itu. Aku menatapnya dengan tajam tapi mesra dan terakhir menjawabnya dengan sepenuh keyakinan dan kepercayaan diriku.

“Ibu, Nimas yakin kalau mas Panji itu jodoh Nimas. Nimas percaya kalau mas Panji mencintai Nimas sebesar Nimas mencintainya.”

Kulihat mata yang penuh kekhawatiran itu, mata yang selama ini mampu membuatku merasa teduh dan nyaman, tak berkedip memandangku. Menelanjangi di setiap kata-kataku, sebelum akhirnya menguliti keraguan yang dimilikinya. Berhasilkah dia? Entahlah.

Yang jelas, doa restupun terlempar padaku. Kemenangankukah ini? Mungkin. Semoga ibu mengucapkannya dengan kesadaran bukan keterpaksaan. Dan sudahlah, aku tak hendak berpikir lagi.

The Killer

Aku melihat dia, masih dengan langkah yang sama. Dia tegap dan berwibawa. Dia gagah dan berkharisma. Tapi dia bukan idola. Malahan banyak anak-anak yang menjuluki dia sebagai “The Killer”. Akupun ga habis pikir, padahal ga sekalipun dia membunuh seseorang. Mau tau kenapa? Sepele saja. Hanya karena kegalakan dan kedisiplinan yang ditunjukkan ke anak-anak yang kemudian membuatnya memperoleh gelar itu. Dasar anak-anak!

Misgiyanto namanya, guru paruh baya yang mengajar matematika di sekolahan kami. Dia dingin dan terlihat angkuh. Di wajahnya tak pernah kutemukan senyum. Guratan-guratan selalu terpasang di keningnya, membuatnya terlihat lebih tua dari usia sebenarnya. Kutafsir umurnya 45 tahun. Ga terlalu tua khan?

Melihat dia hatiku bergetar, ketakutan membuatku mempercepat langkahku. Tadinya hanya berjalan cepat, kini akupun sudah berlari. Mengejarnya ? Bukan !! Aku mengejar ketertinggalanku. Ini sudah jam tujuh lebih satu menit, yang berarti semenit yang lalu bel sekolah sudah berteriak. Koridor_koridor hampir sepi. Semua calon pemikir dan pembangun bangsa tergesa masuk kelasnya masing-masing.

“Alamak mati aku !”teriakku dalam hati. The killer berada satu langkah di depanku. Kegugupanku makin kentara. Dan… mak guabruukkk!! Aku terjatuh persis di bawah kakinya. “ Sialan!” gerutuku masih dalam hati juga.

“Maaf pak, saya terlambat,”kataku masih dengan posisi tengkurap dan kepala sedikit mendongak. Dia hanya menoleh dan kemudian berlalu tanpa memperdulikan aku sedikitpun.

Ya Tuhan, aku sakit hati diperlakukan seperti itu olehnya. Tidakkah terpikir olehnya untuk sekedar menungguku berdiri barang semenit dan mengucap sepatah kata menanyakan keadaan ku? Sudah matikah perasaannya terhadap penderitaan orang lain ? Hmm keterlaluan!

Kumelihat banyak anak-anak tersenyum lewat jendela kaca kelas mereka dan bahkan ada yang tertawa melihat penderitaanku ini. Ah sama saja, mereka tak lebih baik dari pada the killer.

Kukumpulkan tenagaku, dan bergegas berlalu dari tempat sialan itu. Sekali lagi aku harus berlari, the killer sudah masuk ke kelasku. Akankah dia mengijinkanku mengikuti pelajarannya? Ataukah akan mengusirku serta-merta? Lalu bagaimana dengan rencana ulangan hari ini?
Ya Tuhan, lunakkanlah hatinya, doaku sendiri.

“Maaf pak, boleh saya masuk?” tanyaku dengan segenap keberanian yang berhasil kukumpulkan. Dia memandangku, sesaat saja. Sekilas aku lihat ada sebenang senyum, sesaat saja, hanya seper sekian detik sebelum kemudian dia berpaling ke anak-anak. Tak salahkah penglihatanku tadi? Sebenang senyumnya telah membuatku melupakan perlakuan buruknya tadi. Keberanianku bangkit, harapanku untuk mengikuti pelajaran dan ulanganpun demikian menggebu.

“Maaf pak, boleh saya masuk?” tanyaku lagi lebih mantap dan penuh dengan kepercayaan diri. Tapi dia diam, tidakpun menoleh kepadaku.

“Kumpulkan buku catatan dan buku pelajaran kalian, dan keluarkan selembar kertas untuk ulangan. Sekarang!” perintahnya yang segera diikuti oleh kesibukan seisi kelas. Hah?? Lalu bagaimana dengan nasibku? Mana sebenang senyumnya tadi?
“Maaf pak boleh saya masuk dan mengikuti ulangan?” tanyaku lagi. Kali ini keberanianku mulai mengendur, keringat dinginpun mulai berjatuhan dari ujung-ujung jariku. Mataku menatap sesosok angkuh dihadapanku, mencoba mencari keikhlasannya.

“Kamu duduk,”katanya dengan tanpa menoleh kearahku.

“Terima kasih pak,”jawabku.

Sekali lagi kumelihat sebenang senyum itu, sesaat saja, hanya seper-sekian detik saja. Itupun sudah cukup untuk menyemangatiku. Ya Tuhan terima kasih. Sebenang senyumnya telah memudahkanku dalam meggarap semua soal-soal ulangan yang diberikannya. Rumus-rumus yang semalam aku hafal dalam keremangan lampu minyak tanah seakan terlihat dengan jelas di depan mataku. Selanjutnya sebenang senyumnya membuatku mencintai matematika, mencintai kedisiplinannya, mencintai keangkuhannya…. Mencoba memahami segala alasan yang mungkin ada di balik sikap-sikap angkuhnya. Sebenang senyumnya adalah sebuah bukti bahwa dia masih peduli. Dan mungkin juga dia mencintai… Aku harap, banyak yang melihat sebenang senyumnya tadi.


Cerpen adalah nyata kubuat untuk Bapak Misgiyanto yang berada di SMAN 1 Blora. Mungkin beliau telah lupa akan kejadian ini, namun aku akan selalu mengenangnya.

dear honey,

I guess
this is going to be my habit
unchangeable habit

no word can describe
or tell
how much you mean to me
and
how much I love you

I will show you
this is no lie

from luckiest man alive,

me

Babu Ngeblog

Ngeblog memang bisa menghilangkan stress, tempat mencurahkan segala uneg-uneg yang ada di kepala. Bagiku juga tempat untuk mengumpat karena jujur saja aku ini termasuk seorang yang kasar dalam bicara. Ngeblog juga untuk mengisi waktu luang, yang bagiku lagi amatlah terbatas, karena kerja seharian yang menyita waktu hampir 15 jam. Maklum, aku khan seorang buruh, mbahku bilang buruh itu jarwodosok(singkatan jawa) dari kata dilebur ora weruh (tanpa sadar di perintah melulu kerja). Banyak tanggapan yang aku peroleh tentang Babu Ngeblog ini. Ada yang mendukung, ada yang mencemooh. Ada yang ngasih saran yang bagus, ada yang ngritik kekuranganku. Kesemua itu kucoba rangkum dalam postingan ini dan kucoba pula tuk peroleh hikmahnya.

Dari kawan-kawan Blog:
komentar nta
tulisan Srinthil nya cukup menghibur,...(setidaknya membuatku tersenyum dikala hatiku hancur)

Kata Chigi28
tulisannya keren-keren terutama puisinya cool!!

Puan Indah Hairani berucap:
saya cuba untuk memahami bahasa Anda tapi ternyata sukar sekali
(Indah adalah sastrawati malaysia, aq ga tau gmn dia bisa nemuin blogku)

Dan berikut adalah dari kawan-kawanku di Hong Kong
Hindun Triyana

S L I(panggilan akrabku), aku baca blogmu itu, sepertinya ga ada yang istimewa. Semua biasa-biasa aja. Ceritanya kurang ngegreng gitu loh, simpel banget. Mbok yao buat cerita yang agak panjang trus dibikin yang ada emosi suka duka cinta gitu biar yang baca tuh ketawa disaat lucu dan nangis di saat sedih. Tapi buat Srinthil aku salut deh, soal ngocol kamu biangnya!!

Ellya Novikawati
Mbak, blog e sampeyan ki wis apik, aku aja mau buat blog tapi ga tau mau nulis apa nantinya, wurung deh,.

Mbak Mega
Kenapa ga masuk ke FLP(Forum Lingkar Pena Hongkong) saja ntar kamu belajar mendalami kata. Tulisanmu tuh terlalu polos, jujur banget. Sudah baik tapi perlu pengembangan dan tuntunan.

Fauzana
Kenapa judulnya Babu Ngeblog seh?? Aku ga setuju, mbok nyari judul yang lebih bagus khan bisa.

Al
Rie, tulisanmu tuh kampungan banget. Seperti lirik lagune Kangen Band saja.

Suwanti
Mana sisi puitismu?? Yang ada kok cuma gremengan tok!

Maryati
Emang yang Proposal cinta itu karyamu sendiri? Atau kamu jiplak dari mana tuh?

Dan lain lainnya...


Maka inilah kesimpulan yang kudapat
Menulis itu ternyata tidak mudah, ngosek WC mungkin jauh lebih mudah. Diperlukan kejelian dan kepekaan oleh seorang penulis agak di setiap paragraf tersusun secara beruntun, bukan kacau balau seperti yang aku buat ini.
Ah apalah aku ini, mungkin dari seratus penulis di Hongkong ini aku masuk dalam urutan ke 99. Pembendaharaan kataku sangat terbatas, pengetahuanku jauh dari cukup, kemampuanku? aku belum bisa mengukur seberapa kemampuanku. Yang aku tahu, aku mempunyai niat dan kemauan,selanjutnya kemampuan mungkin bisa muncul dengan sendirinya. Mungkin akan bisa karena biasa.

Judulnya kayaknya ga usah dipermasalahkan deh, sebenernya aku cuma mau bilang kalo babu juga bisa nulis. Jadi bukan hanya para sastrawan dengan jidat berkerut-kerut saja yang bisa.
Soal bahasa, aku memang membuatnya dengan pencampuradukan antara bahasa Indonesia dengan bahasa jawa. Nah mungkin disini karena ternyata kejawenanku terlalu kental.
Bahasaku kampungan? Memang, itulah yang akan aku jadikan ciri dari tulisanku. Aku ga akan menutupi kekuranganku, kutuliskan saja secara apa adanya. Jadi maaf, kalau kata-kata puitis memang langka adanya di blog ini.

Menanggapi soal tulisanku dalam bentuk bahasa asing/Inggris, dengan bangga ku katakan itu hasil karyaku sendiri. Bukan copy paste, karena aku bukan seorang plagiator. Aku menghargai tulisan dalam bentuk apapun, dan seandainya aku mengcopy tulisan orang pastilah ku cantumkan dari mana asal tulisan itu. Meragukan? Mungkin dalam pikiran Anda babu tuh ga tau menahu tentang bahasa asing selain bahasa daerahnya dan bahasa majikannya, tapi itu salah. Babu juga belajar. Sayang sekali kalau tanggapan seperti itu justru datang dari sekawanan babu sendiri.

Saran dari mbak Mega ada benarnya, pasti minggu nanti kuluangkan waktu untuk kesana.

Btw, makaseh banget atas komentarnya, semua itu semoga bisa membangun aku untuk menulis yang lebih baik. Karena di dunia kata tiada batasan yang kentara, walau babu pun berhak bicara.

Belanja , belanjaa...


Kemaren :
uih ada kaset te Kangen Band yang baru, beli ah. Aq khan ngefans ama band baru satu ini.

Minggu, 18 nop '07 :

Wah celanane bagus-bagus ya, beli ah beli. Lagian hari ini aq khan ultah. Itung2 buat hadiah ultah buat diriku sendiri.

Sabtu, tgl 17 Nop,07 (waktu di pasar) :
Busseeeett, celana dalemme cute bangeett. Rugi deh kalo ga ngambil, lagian murah ini kok.

Aku 2 minggu yang lalu :
(Sambil narik trolly blanjaan dengan tangan nempel di kuping megangin HP)
"Mid, aq dah beli tas adidas yang baru warna putih dengan garis merah dan satunya lagi warna putih dengan garis biru, yg garis biru buatmu ya. Cuma 40 dolar aja kok murah."

Aku 2 setengah minggu yang lalu :
Alamaaakkk... Ini dia yang kucari2. Seneng banget udah ketemu jodo ma tas model gini.
"Kei jin a, cece?" (berapa harganya ini?) tanyaku pada bakul tas itu.

Aku 3 minggu yang lalu :
Jaketnya kancinge gede tapi modelnya polos,klasik kesukaanku, ga terlalu tebel n ga terlalu tipis, cocok ga buatku? Pantes ya??" tanyaku pada Suzy temenku.


Begitulah aku....
Ah ga cuma aku ding, kaeknya hampir semua cewek mempunyai kegatelan yang sama yaitu belanja. Terlepas apakah yang di beli itu benar2 apa yang kita butuhkan apa ga. Payahnya kalo mata neh dah dibiarkan survey kemana2 langsung deh hati bicara "MUST BUY".
Jahhh...
Paling aman tuh kalo pas libur cuma bawa uang terbatas aja. Misal aja bawa 200 dolar, cukup buat makan 2 kali plus beli cemilan gitu. Ato ndekem aja di Library ato kwai-kwai tei(rajin2) di depan kompi sambil ngutak-utik browsing ato chat gitu.

Btw, kalo boleh jujur emang cuma cewek aja yang doyan belanja meh ? Hayoo yang cowok ngakuuuuuu !!!!!!!!

itungan penting buat yang jenius

hasyah, emang bener kalo yang ga jenius mending pergi aja dah, ga usah baca postinganku yang ini. So inilah bunyi postinganku:

jreng jreeeeng!!

BAWA KALKULATOR ambil angka 23, x4, +13, x25, -200, +11, x2, -40, x50, +85, -10500, -50007.

ADA SESUATU?? di coba yak, SANGAT MENARIK !!

"keterangan":
+(tambah)
-(kurang)
x(kali)

Anak Wadon

Dek jaman berjuang
jur kelingan anak lanang
biyen tak openi ning saiki ana ngendi
jarene wis menang
keturutan sing digadang
biyen nate janji
ning saiki opo lali....

Ah tembang itu salah, yang benar adalah "jur kelingan anak wadon", seperti halnya diriku pada saat ini, bantahku dalam hati. Namun uyon-uyon caping nggunung itu terus berlanjut, tak mempedulikan diriku yang sedangberbantah kata mengenainya.

"Pak gek mangan disik to!" teriak istriku dari dalam pawon.
Kesibukan hatiku sejenak terhenti, mengingat hari sudah beranjak malam dan sedari pagi kopiku pun kubiarkan dingin begitu saja. Gelisah hatiku tak menentu, kebahagiaan dan kesedihan bercampur seperti halnya nasi rawon yang aku aduk-aduk tanpa perasaan.
"Pak, ada apa to?" tanya istiku lembut.
"Seperti baru sekali ini manggung aja to Pak, kok gelisah banget."
Ya memang bukan kali ini aku manggung bersama sebelas yoga lainnya, tapi baru kali ini aku merasa getaran yang lain. Selanjutnya acara makan itu hanya semacam keterpaksaan saja, demi istriku yang sudah penat lelah menyajikannya untukku.

Baru saja aku selesai makan, Sarmin datang.
"Bonang barus, bonang penerus, saron, slentem, siter, titil, kendang, gambang, gender, klonang, gong, kempul,kenong, ketug,semua sudah dipindahkan ke rumah pak Haji Sukro, Ki," lapor Sarmin padaku.
"Hem, turnuwun," jawabku sambil manggut-manggut.
Sekali lagi hatiku bergetar, perasaan tak menentu kembali menguasaiku. Satu dua kali aku menarik nafas panjang-panjang sekedar untuk menguatkan hatiku sendiri.

"Paak, jarite wis rampung ki," kata istriku sambil menyodorkan jarik baru kiriman dari anak wadonku.

Hemm...anak wadonku, apakah dia merasakan gejolak yang ada di diri bapaknya ini? Apakah dia merasakan kebahagiaan dan rindu ini? Sedang apa dia disana? Sehatkah? Lagi-lagi setiap aku mengenangnya selalu meninggalkanku dengan sekian pertanyaan. Pertanyaan yang wajar dimiliki oleh seorang bapak yang kangen akan anaknya.

"Pak, mboten dangu kok, kula namung pados modal kangge pawitan gesang kula mbenjang. Kula pengin gesang mandiri, mboten tansah gumantung dumateng tiyang asepuh. Mbok bilih to sampun cekap kula badhe wangsul lan ngabekti dumateng panjengan. Pareng nggih pak?" kenangku pada setiap ucapan terakhirnya sebelum keberangkatannya ke negeri beton itu.
Aku merasakan berat di kelopak mataku. Ada yang bergelanyutan disana yang memaksaku untuk jujur kalau aku menginginkan anak wadonku untuk berada disini, setidaknya untuk malam ini,biar kita bisa berkongsi kebahagiaan.

"Pak, kok malah deleg-deleg, gek ndang jaritan to Pak,"
Lagi-lagi istriku membawaku ke alam nyata, menyadarkan aku bahwa pekerjaan menunggu di depanku. Ah sudahlah, aku yakin dia disana pun bahagia,bujukku pada diri sendiri.
Kuraih jarik dan kuterapkannya menutup kakiku. Jarik batik tulis bermotif pakem yang banyak dipengaruhi oleh seni batik kraton Kasunanan Solo itu di buat dengan menggunakan sutra tenun. Warma coklat keemasannya nampak gebyar-gebyar di sorot lampu. Jarik bermotif sama pula dipakai oleh istriku cuma bedanya adalah wiron punyaku lebih besar daripada punya dia.

"Gendhuk pancen pinter milih ya Pak," gumam istriku bangga.
"Anak e sopo?" jawabku dengan nada bangga yang sama.
"Halah wong genah anak kita berdua kok."
Itulah canda pertama dan tawa pertama ku di hari ini.

Setapak demi setapak kami serombongan "Paguyuban Karawitan Lestari Manunggal" berarak menuju Rumah pak Haji Sukro. Anak-anak kecilpun bersorak dan mengelu-elukan kami sampai akhirnya mereka bergabung di belakang rombongan kami. Duh gendhuk, yen kowe ana kene..., desahku lagi.

Pak Haji Sukro punya hajat mantenan hari ini. Rumah Pak Haji yang selalu ramai, hari ini berlipat-lipat ramainya. Rumah joglo itu terbuka lebar di bagian depannya, kursi-kursi dan meja ditata rapi, segala jajanan di gelar diatas meja itu. Ada hiasan janur kuning disana-sini, ada juga dua batang pohon pisang dengan jantungnya yang masih utuh berada di pintu masuk ke rumah itu. Sementara di dalam sana Suryatiningsih duduk berdampingan dengan suaminya yang sudah disyahkan oleh pengadilan agama sejak siang tadi.

"Sugeng rawuh, sugeng rawuh," kata Pak Haji sambil menyalamiku.
"Matursuwun, " jawabku diikuti dengan basa-basi kejawen yang biasa diucapkan untuk memberi ucapan selamat padanya atas pernikahan anaknya itu.

Mataku tertumpu pada seperangkat gamelan, kesemuanya terlihat kilap karena baru. Itulah hasil keringat anakmu, kataku pada diri sendiri. Adalah keinginannya untuk membelikanku seperangkat gamelan itu, kecintaannya pada kesenian jawa sama halnya denganku.

"Pak, kula kirim arta kajeng kula supados bapak pundhuttaken gamelan. Ingkang wonten Bojonegoro meniko lho pak. Wekdal riyin bapak nate prasaja. Kula kepingin keturutan ingkang bapak gadang. Tumbaske nggih pak nggih,"

Ah, sekarang memang keturutan sing tak gadang. Tapi rasanya belum lengkap kalu anak wadon sing tak tresnani tidak berada di sini di waktu bahagia ini.

Aku merasakan sesuatu bergetar, bukan hanya dari hatiku tapi juga dari benda kecil yang berada dipangkonku. Handphone kiriman anakku itu bergetar berkali-kali. Ada tulisan "nomer tidak dikenal" disana. Ah siapa lagi kalau bukan anak wadonku, pikirku. Dengan satu tangan kuraih HP itu, kusentuh tombol hijau tanda aku bersedia untuk menerima panggilan itu. Wajahku mendadak sumringah, senyum segera terbentuk, semangat segera meluap. Anak wadonku telpon, sorakku dalam hati.

Tapi...ha?? Ini sudah malam, sudah jam 11 lewat, yang berarti disana adalah jam 12 lewat. Karena antara Jawa dan negeri beton itu beda satu jam.
"Nduk, bengi-bengi kok telpon, nanti kalau konangan majikanmu gimana?" tanyaku rada miris. Takut kalau-kalau anak kebanggaanku mendadak kepergok oleh majikannya.
"Ah mboten kok Pak, semua sudah tidur," jawabnya.
"Pripun pak? Lancar sedaya to?"
"Iyo nduk, kabeh lancar. Ini baru mau mulai."
"Waranggana ne sinten pak?"
"Nyi Suparti, saka desa Klopo Duwur."
"Kok tebih sanget...
"Lha kan masih teman dekat te Bapak to nduk,"
"Pak...
"Hemm...
"Kula bingah sanget, HP ne saya hidupkan sampai pagi ya pak, biar saya bisa dengar suara gamelanne."
"Mbok jangan boros-boros to nduk,"
"Ah namung sepisan meniko,"
"Yo uwis sak karepmu. Bapak wis arep mulai manjak lho nduk, ga bisa ngobrol-ngobrol sama kamu."
"Mboten nopo nopo kok pak, kula ngertos."
Dan percakapan berhenti disitu. Ah akhirnya anak wadonku disini walau cuma suaranya saja. Hatiku bungah ora karuan
. Tembang demi tembang mengalir dari suara merdu Nyi Suparti. Masih dalam pikiranku membayangkan seolah suara merdu itu berasal dari anak wadonku sendiri. Gendhuk juga pinter nembang mungkin kelak dikemudian hari dia bakal menjadi pesinden yang sejati.

Dek jaman berjuang
jur kelingan anak wadon
biyen tak openi ning saiki ana ngendi
jarene wis menang
keturutan sing digadang
biyen nate janji
ning saiki opo lali....

Ah liriknya sudah ganti,...

.....00......

Jam 9 pagi saat aku terbangun dari tidurku, kulihat ada sebuah sms dari anak wadonku.

Pak, kula tilem angkler sngt
Rasane kados pun keloni klih
bpk simbok. DEne kula ngimpi
dados waranggana nembang uyon2
caping gunung. Pak, benjg
desmbr kula wangsul, kangge
selamine. Kula pengin sesarengn
kalih bapak nguri2 kabudayan
jawi.Pulsa telas sanes wekdal
kula tlp, trisno Gendhuk.


"Suu, Suu!!" teriakku pada istriku.
"Anak wadon arep bali Su, ra sida tambah kontrak. Suu, Suu....
anak wadon arep bali Suu.............

Antara Hujan dan Batu

hujan takut datang
walau awan sudah penat penuh membawa titiktitik airmata
kau tahu kenapa?
kupaksakan dia kembali keasalnya
aku ini wanita tegar
teriakku

dan kembalilah dia ke muara
dimana dukaderitasakitnestapa


dia berubah bentuk menjadi batu
batu yang sedemikian tajam dan keras

lalu kusentuh batu itu
kugenggam dan aku terluka

sampai angin datang dan menegurku
"air mata bisa mengurangi luka,
sehingga sakitnya tak seberapa
kenapa engkau tak melepaskannya?"

tapi aku lebih suka menggenggam batu
menjadikan tanganku hancur dan berubah merah
dan tak hendak aku membiarkan hujan
tak hendak aku membiarkannya berjuntaian
tak hendak aku melepaskannya

Srinthil 3 : Kurban Chattingan


Halah tanggal tua, kelabakan deh. Terlajur uang terkirim semua ke kampung halaman demi bapak yang merengek2 minta di belikan bebek. Setelah 2 bulan yang lalu minta di belikan kebo. waduh! Masalahnya ini bebek berhubungan dengan kebo kata bapak. Bebek ini akan mbantu bapakku untuk meringankan gaweannya.

Walah pak, lha udah ada kebo buat ngrakal sawah dan juga narik gerobak kok minta bebek to, protesku pada bapak.
"Pokok e kudu beli bebek, aku ga kuat jalan jauh atau naik ontel," katanya dengan aji2 pengeyelannya.

Dan yang ga kira2 itu adalah harga bebek yang hampir sama dengan 2 bulan gajiku, buseeeettt. Ini bebek yang di maksud sama bapak adalah si sepeda motor yang rencananya mau di bawa buat ngarit, karena daerahku rumputnya dah pada langka jadi harus pergi ke daerah laen buat ngarit, yang konon kata bapak letaknya lumayan jauh.

Berhubung aku neh termasuk anak sing bekti lan ngurmati sama orang tua, yo uwis tak belikan. Kurang piye jajal?

Nah sekarang kembali ke... tanggal tua, bukan laptop, emang aku Tukul Arwana?! Itung punya itung kaeknya si Srinthil seminggu yang lalu dah gajian tuh, ehm. Kalo bulan lalu dia ngotot kalo uangnya bakal di kirimin ke emaknya yang lagi sakit wudunen, nah mungkin sekarang dia lagi ga ada rencana buat ngirim duit neh,pikirku.

Tit tut tit tut tut tit tit tut, dengan lincahnya jariku yang ngapalen mencet2 HP nelpon si Srinthil.
The number you are calling is currently unavailable please call again later, tuut.
Asem tenan! kemana neh anak?

Gubrraaakkkk!! Suara seseorang jatuh di belakangku, waktu kutoleh ya ampuuun si Srinthil to.

"Walah kamu neh jalan ga ngeliat jalan apa, lagian kalo mau jatuh di lihat dulu nek kamu tadi jatuhin aku trus piye jal? Udah tau khan kalo aku tuh kutilang dara (kurus tinggi langsing dada rata) gini, lha opo ga gepeng aku?" kataku sambil membatunya berdiri.

"Uhuk uhuk...
"Uhuk uhuk...

"Lho lho lho, kaya gitu aja nangis to, ya maap lah kalo omonganku rada kasar. Wis to ah ojo ngisin2 ni gitu, cup cup meneng," bujukku.

"Uwa uwaaa...
Halah kok malah tambah kenceng nangisnya. Kebingungan aku di buatnya, perasaan bersalahku menyebabkan aku menggandeng dia masuk ke Victoria Park dan duduk di lapangan itu yang sudah kugelari plastik terlebih dahulu.

"Uwis to Srinthil, aku khan dah minta maap. Wong cuma kaek gitu aja kok kamu nanges to," bujukku lagi.

"Mbak...
"Piye?" jawabku agak lega karena dia akhirnya mau ngomong juga.
"Aku nanges bukan karena kamu marahin aku," katanya sambil maseh sesenggukan.
"Lha trus karena apa?"
"Oalah mbak, begini to rasane putus cinta itu."
"Lha emange dirimu lagi putus cinta po? Gek pacarmu sapa kok ga tau cerita ma aku," kataku kecewa.

Biasanya sekecil apapun si Srinthil selalu menceritakan padaku. Mulai dari celana dalamnya yang terbang di tiup angin sampai bosnya yang suka ngupil. Lha ini, wong dia punya pacar kok ga crita ma aku ya? Apa takut nek tak odain pacare po? Ga percaya amat seh dia sama aku,pikirku.

"Mbak...
"Arip kuwi wedus tenan kok,"
"Arip sopo? Gek kenal dimana?"
"Arip kuwi loh sing kemaren dulu kenal di chatting. Habis itu khan aku setiap hari minggu chat ama dia terus, orangnya tuh dulu pengertian, humoris tambah wajahnya cakep kaek Rangga di film Ada Apa Dengan Cinta itu loh. Trus lagi dia bilang dia cinta ama aku, aku juga gitu mbak, ga tau kenapa kok aku juga suka ama dia. Trus dia minta tolong ama aku katane bisnis ayam petelurnya kurang lancar jadi dia tuh butuh uang. Trus aku kirimin mbak, malah jatah yang buat ngobatin wudun ne mbokku juga ke ambil buat dia. Trus lagi bulan ini sabtu kemaren tuh, dia minta uang lagi katanya kandang ayamnya rada rusak trus butuh dana buat.....

"Sik sik sik...nek ngomong tuh mbok sing alon2 gitu. Intine gini to, kamu kaseh gajimu bulan yang lalu ama bulan ini ke si wedus Arip gitu ya?" tegasku.
"Iyo," jawabnya malu.

Waduh, lemes aku,trus aku utang ama sapa ya, dalam hatiku bertanya.

"Lha nek emang kalo kamu ama dia sama2 cintanya, trus ntar kalian tuh ada jodoh. Jadi pas nanti kalo kamu udah finish kontrak trus pulang mbojo gitu, nek gitu yo ga popo to," sambungku ragu.

"Uwa uwa...
"Halah ngopo maneh?"
Gregeten aku sama si Srinthil pembawaannya yang cengeng itu ga nguatin banget. Coba kalo aku ni ga setia kawan udah tak tinggalain dari tadi dia.

"Arip kuwi mau chat ama aku, tapi lamaaa banget dia ga jawab pm ku, padahal aku loh cuma chat ama dia. Trus aku di ajarin ama mbak sebelahku suruh "BUZZ", trus tak buzz trus eh lha kok dia tuh ngomong mesra banget ama cewek laennya. Lara atiku," isak si Srinthil.

"Oalah nduk,"
"Trus dia tak telpon mbak, supaya cintaku ga tergantung. Lha kok dengan tenangnya dia bilang aku ini bukan siapa2 baginya. Orang chat tu ya kayak gitu, katanya. Kalopun aku mau kirim uang ke dia itu murni kebodohanku, dan untung di dia. Sakit atiku mbak,"

"Yo uwis to Sri, mau gimana lagi wong udah terlanjur. Ya buat pelajaran aja bagimu, nek jangan terlalu percaya ama wedus. Orang bisa ngomong ndakik-ndakik, ngomong manis2 tapi padahal dia tuh wedus gibas sing paling mambu.
"Wis to ah, ayo ndekem ning library wae lah buat ngedem-edem atimu."

Dan berangkatlah kami menuju ke Library yang berada tak jauh dari tempat lesehan kita tadi. Matahari makin turun, dan aku ga mau Srinthil larut dalam kesedihannya dan terbawa sampai rumah bosnya. Kesedihan ini harus berakhir, pikirku.


Fenomena semacam ini sering terjadi di kalangan kawan BMI, so GIRLS OPEN YOUR EYES BEWARE OF SNAKES!! Jangan cuma nurutin kata hati, pakai logika dan otak sebelum bertindak.