Galau?

huuhuuhuuuu...

Semangaaaaatttt..!

Love your job and be proud.

Iyes!

Bekerja sambil belajar.

Masih galau lagi?

No! No! No! Be happy laahhh...!

Ayo ngeblog!

Masa kalah sama Babu Ngeblog?

Obrolan Lanjutan, Calo & Juanda

Masih banyak yang belum saya tuliskan seputar obrolan dengan Hariyadi Budihardjo, ketua Unit Pelaksana Teknis Pelayanan Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia (UPT P3TKI) wilayah Surabaya dan Nurul Indah Susanti, psikolog dan direktur (PJTKI) PT. Media Hati di Surabaya.

Dalam waktu hampir satu jam, percakapan kami mbulet tapi juga melebar. Dari pertanyaan ringan seperti apa arti KTKLN hingga beberapa kasus yang saya pertanyakan beliau berdua.

"Apa sih pentingnya KTKLN bu?" tanya kawanku Yany kepada Nurul yang pertama kali mendekati kami setelah kami duduk beberapa menit.

"O penting sekali. Karena di situ memuat info kalian, memuat passpor, asuransi, alamat rumah, alamat PT, alamat majikan," jawab Nurul.

"Tadi ibu bilang memuat info ya?" tanyaku.
"Iya," jawab Nurul.

"Begini bu, saya mempunyai kasus, saya bikin KTKLN setelah jadi ternyata nomor passpor yang ada di KTKLN tidak sesuai dengan nomor passpor di passpor saya. Trus info apa yang ada di KTKLN saya?" tanya saya.

"Ya enggak bisa begitu. kenapa enggak lapor?" jawab Nurul.

"Lha bagaimana mau lapor? Kitanya tahu ada masalah khan waktu mau keberangkatan?"

"Ya memang seperti itu. Mengisi nomor passpor saya saja salah, info saya pasti salah. Terlebih info saya memang salah karena pihak PJTKI memalsukannya. Jadi tentang info ini kenapa tidak diusut dari akarnya? Dari PJTKI yang memberangkatkannya?" tanyaku.

"PJTKI harus nulis info yang asli," kata Nurul lagi.

"Pemalsuan info itu biasa di PJTKI," kataku.

"Ya jangan digebyah uyah, jangan disamakan. Di PT saya semua asli, enggak ada pemalsuan itu," kata Nurul membela diri.

"Lha kok malah promosi PJTKI mu sih bu," batinku.

"Maksud saya  kenapa enggak dari PJTKI-nya ditekankan keaslian info calon TKI-nya. Ada asuransi kalo infonya salah juga gak bisa diurus khan?" tanyaku.

"Sudah itu, tugas PJTKI untuk mengisi info sebenar-benarnya," kata Nurul.

"Nyatanya?" sergahku.

"Lha kalau begitu itu oknum, PJTKI semua tidak begitu. Jadi pikiran kalian jangan negatif thinking. Kalau negatif thinking itu apapun hasilnya kalian sudah menduganya negatif lebih dahulu,"  kata Nurul.

"Ada oknum berarti tak terkontrol atau tidak ada kontrol?" tanyaku.

Nurul tak menjawab.

Temanku Yany kemudian ganti bertanya-tanya (seperti ditulis di sini), aku jengah.

Beberapa saat setelah aku ngobrol dengan Hariyadi Budihardjo (simak di sini), kami sempat juga menyinggung tentang banyaknya calo di Juanda (maaf tak sempat tertulis di postingan sebelumnya, ini juga untuk memilah pokok pembicaraan).

"Bagaimana cara menghadapi oknum tak bertanggung jawab itu pak? tanya Yany.

"Kamu laporkan saja, pasti nanti kami tindak lanjuti," jawab Hariyadi.

"Bagaimana kami bisa melapor pak, sedang masalah KTKLN biasanya muncul menjelang keberangkatan. Khan waktunya sudah mepet, yang ujung-ujungnya adalah uang damai. Bapak tahu itu?" tanya Yany.

"Contohnya saja saya. Sewaktu petugas imigrasi tahu bahwa nomer passpor saya tidak sama trus dia ujungnya juga minta uang," kataku.

"Ya, saya tahu itu. kami sedang menertibkan oknum semacam itu," kata hariyadi. Kemudian beliau menceritakan tentang seorang petugas yang disangka menerima uang, padahal sewaktu dikonfirmasi dengan petugas tersebut, katanya uang tersebut adalah sebagai uang kenang-kenangan. beliau menceritakan pula ada yang bilang katanya petugas meminta uang 1 juta untuk biaya pembuatan KTKLN, tapi setelah dikofirmasi ternyata uang itu dipakai untuk biaya transportasi dari daerah menuju tempat pembuatan KTKLN.

"Banyaknya calo, banyaknya oknum yang perlu kami tertibkan. Karena banyak calo itulah maka pembuatan KTKLN di bandara Juanda kami tiadakan," kata Hariyadi menginformasikan kepada kami.


"Jadi enggak bisa bikin KTKLN di Juanda pak? Hanya di Soe-Ta dan BNP3TKI?" tanyaku.

"Ya," tegas Hariyadi.

"Apanya yang ditiadakan pak? KTKLN-nya? Bagus dong Pak," timpal Yany.

"Bukan. Yang ditiadakan itu formulir dan mesin pembuatnya. Karena menurut pantauan kami, banyak formulir (yang diambil dari Juanda dan dari BNP3TKI) untuk diperjualbelikan oleh oknum atau calo yang tidak bertanggung jawab," jelas Hariyadi.

"Nanti takutnya di KJRI juga gitu, formulir diambil orang trus difotokopi trus diperjualbelikan begitu saja. Maka pembuatan KTKLN di KJRI pun kami tiadakan. Jadi membuat KTKLN ya harus datang ke kantor," jelasnya lagi.

??? Ha??? Kami melongo, entah keberapa kalinya setiap mendengar keluarbiasaan pernyataan dari dua orang tersebut. Yany seperti sudah tidak begitu menyimak lagi, tapi aku masih memburu dengan pertanyaan baru.

"Syarat-syarat itu pak," kataku sambil menunjuk syarat-syarat pembuatan KTKLN seperti yang terpampang di back drop tenda di belakang pak Hariyadi.

"Syarat-syarat itu yang terupdate? Kok enggak sama dengan yang dari Jawa Tengah atau Jakarta?" tanyaku.

"Kalau buat KTKLN di Jawa Timur pakek surat keterangan keluarga yg ditandatangani kelurahan. Soalnya pemda mempunyai kebijaksanaan sendiri di sini. Jadi biar keluarga itu tahu kalau cuti," kata Hariyadi Budihardjo, ketua UPT P3TKI wilayah Surabaya.

"Lho dari awalnya khan mestinya tahu," kataku heran.

Beliau tak menjawab.

Tentang KTKLN Bersama Ketua UPT P3TKI

Minggu, 8 Juli 2012, Victoria Park, Hong Kong.

Perayaan Agustusan atau lebih sering disebut juga sebagai tujuhbelasan di bulan Juli yang digawangi oleh KJRI-Hong Kong hari itu gebyar dan megahnya seperti perayaan tujuhbelasan pada tahun-tahun yang lalu.

Dengan merangkul beberapa instansi Usaha Kecil Menengah (UKM), instansi perbankan, Kamar Dagang dan Industri (Kadin) dan Unit Pelaksana Teknis Pelayanan Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia (UPT P3TKI) Surabaya , perayaan tujuhbelasan yang rencananya diharapkan bisa berguna dan dimanfaatkan oleh TKW-HK itu kemudian melenceng menjadi hari belanja baju batik dan berteriak bersama. Victoria Park dipenuhi dengan stan tenda-tenda UKM yang menjajakan barang-barang buatannya. Baju batik digantung di beberapa tenda dengan price tag (yang malah jauh lebih mahal dari rata-rata harga baju di Hong Kong). Ada pula instansi bank yang menawarkan bisnis kredit minimarket. Dan di tenda paling besar para penyanyi pada teriak-teriak nyanyi enggak jelas.

Sepuluh menit saya berada di depan stan UP3TKI, celingukan, keheranan melihat stan yang kosong penghuni itu. Padahal seharusnya stan tersebut adalah stan yang paling dibutuhkan oleh TKW-HK sehubungan dengan KTKLN.

Dengan wajah TKW ndableg yang penuh rasa ingin tahu, saya mengambil kursi kemudian duduk. Oh ya, saat itu saya bersama kawan saya, Yany. Sekian menit setelah kami duduk, seorang ibu yang adalah seorang psikolog dan direktur (PJTKI) PT. Media Hati di Surabaya,  Nurul Indah Susanti, yang berada di stan sebelah menghampiri kami.

Wanita paruh baya yang cantik ini menjelaskan kepada kami tentang pentingnya KTKLN, cara untuk membuat KTKLN dan segala hal yang sehubungan dengan KTKLN. Sambil bertanya-tanya dari A hingga Z hingga kembali ke Z lagi, saya mencoba mengolor-olor waktu agar berlama-lama di sana.

Kemudian muncullah orang yang saya harapkan datang, Hariyadi Budihardjo, ketua Unit Pelaksana Teknis Pelayanan Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia (UPT P3TKI) wilayah Surabaya. Pria tambun ini dengan senyum renyahnya membuka percakapan.

"Wah panas sekali," katanya sambil menyeka keringat.

"Hari ini saya diberondong pertanyaan bahkan direkam pula, untung tadi saya bertemu pak Abdul Razak (wartawan koran Suara, koran berbahasa Indonesia yang terbit di kalangan TKW-HK). Jadi beliau bilang nanti dia akan membantu menyampaikan (tentang KTKLN) di sini (di HK lewat koran)."

"Saya tadi juga sempat berdialog dengan KJRI-HK, sempat berdebat malah. Mereka bilang mau meniadakan asuransi karena di HK sudah ada asuransi. Saya bilang tidak boleh. Kalau mau ya harus bikin surat pernyataan trus ditandatangani," katanya.

Sampai di sini saya belum paham benar tentang apa yang dimaksudkan oleh ketua UPT P3TKI tersebut. Kemudian pembicaraan kami berlanjut.

"Sosialisasinya sampai ke Hong Kong ya pak," tanyaku.

"Sosialisasi apa? KTKLN? Kalau kami sosialisasinya ya cuma di Indonesia," jawabnya.

"Jadi masuk di tiap PJTKI gitu ya  pak, walah berapa puluh atau ratus PJTKI itu pak," kataku.

"Ya bukan. Kalau kami ya sosialisasinya di daerah sama ketua PT, masak suruh masuk PT. Wong kami aja dapet jatah cuma di 5 daerah di tiap tahunnya kok," jawabnya.

O gitu," jawabku.

"Pak mau tanya," kataku.

"Ya, silakan."

"Saya khan kemarin buat KTKLN pak, tapi ternyata setelah jadi, nomer passpor yang ada di KTKLN itu tidak sama dengan nomor passpor saya. Itu gimana pak?" tanyaku.

"Wah ya enggak bisa begitu," kata pak Hariyadi.

"Lha emang begitu  pak."

"Lhah tapi khan asuransinya ada, datamu  sudah masuk," katanya.

"Lhah data yang bagaimana kalau nomer passpornya saja salah?" tanyaku.

"Kamu asalnya darimana?"

"Blora."

"PT-mu?"

"Sudah tutup pak"

"Namamu?"

"Sri Lestari"

"Lha itu ada informasi kok," katanya sambil terkekeh.

Ini orang terpelajar tapi kok bego sekali ya, pikirku.

"Pak, yang namanya Sri Lestari itu ratusan, yang orang dari luar Blora dialamatkan Blora juga kemungkinan ada karena pemalsuan identitas itu hal biasa. Bagaimana bapak bisa pastikan kalau ada informasi saya yang adalah saya di KTKLN saya?" sergahku.

"Kalau sampek nomer passpornya beda, itu yang salah penerima. Kenapa mau menerima KTKLN yang nomor passpornya beda? Mestinya kamu nunggu di situ sampai nomernya sama."

???
Aku melongo. 

"Pak, saya membuat KTKLN menjelang lebaran, dan esok harinya kantor BP3TKI tutup. Hari itu sudah pukul 8 malam," kataku.

"Ya enggak bisa begitu dong ya yang menerima yang salah, ya harus sesuai nomernya. Ya harus minta yang sesuai. Soalnya KTKLN itu penting untuk pendataan, informasi tentang TKI itu berada di situ," katanya.

Rasanya aku pengin melempar batu tepat di mukanya. Betapa orang di depanku ini tidak memahami posisiku, tidak memahami posisi TKW yang sedang diburu waktu menjelang lebaran dan saat cuti.

"Jadi bapak menyalahkan saya?" tanyaku.

"Iya. Mestinya kamu menuntut mereka untuk membuat KTKLN sampai benar," jawabnya.

"Lhah kalau petugas BP3TKI saja sudah memastikan tidak apa-apa?"

"Kamu bikinnya di mana?"

"Di BP3TKI Semarang," jawabku.

"Lhah...di sana," katanya sambil terkekeh.

Ini orang sudah terpojokkan dan tidak bisa menghindar, bisanya cuma menyalahkan dan terkekeh saja, pikirku. Mungkin juga dalam pikiran dia, karena dia ketua UPT P3TKI di Surabaya bukan Semarang, setengahnya lelaki bertopi batik ini menertawakan BP3TKI Semarang.

OK, lain hal," kataku.

"Jadi gimana dong Pak? Di Hong Kong khan sudah ada asuransi, masak harus beli asuransi di Indonesia lagi?" tanyaku.

"Bisa pakek asuransi yang di Hong Kong. Yang asli lho ya, itu dibawa ke Indonesia, ditunjukkan, dilampirkan jadi bisa bebas asuransi di Indonesia," jawabnya.

"Jadi bapak menjamin kalau kami bisa bebas asuransi?" tanyaku.

"Ya asal ditunjukin yang asli. Yang asli lho ya, soalnya kalau fotokopian itu susah," katanya menegaskan.

"Padahal banyak yang menggunakan asuransi asli dari HK dibawa ke Indonesia tapi ditolak," kataku.

"Siapa yang menolak?"

"Pihak asuransi Indonesia," jawabku.

"Lha itu khan pihak asuransi bukan petugas (petugas pembuat KTKLN)," jawabnya.

"Pak, pihak asuransi selalu didampingi oleh petugas," kataku. "Trus gimana penjelasan bapak? Gimana itu pak?" tanyaku.

"Begini jadi kalian harus membuat surat pernyataan bahwa kalian menggunakan asuransi dari HK," katanya.

"Jadi pasti bisa ya pak? Bapak menjamin itu ya?" kataku minta ketegasan.

"Lho saya tidak bicara begitu lho, saya hanya bilang kalau pakai asuransi di HK itu bisa trus pakek surat pernyataan.

Suasana memanas.

"Sebentar pak, saya hanya memegang kata-kata bapak. Pertama, bapak bilang bisa memakai asuransi yang dari HK,"

"Iya tapi harus ada pernyataan, kalau tidak..." sela pak Hariyadi.

"Sebentar pak, saya belum selesai. Pertama, bapak bilang bisa memakai asuransi dari HK. Kedua, bapak bilang membuat surat pernyataan. Apakah dua hal ini bisa dipastikan kalau sewaktu kami membuat KTKLN di Indonesia, dengan menunjukkan dua hal ini langsung bisa diproses? Ini sudah ketentuan atau jalan keluar dari sedikit permasalahan menyangkut pembuatan KTKLN?" tanyaku memburu.

"Lho saya tidak mengatakan demikian. Ini bukan ketentuan, saya hanya mengatakan bisa memakai asuransi dari HK dengan membuat pernyataan. Karena asuransi dari HK khan meng-cover selama kerja di HK, sedang asuransi dari Indonesia khan meng-cover selama Anda cuti atau berada di Indonesia, perjalanan ke HK dan selama bekerja di HK." jawabnya.

"Kami tidak peduli selama kami berada di Indonesia atau perjalanan kami ke HK, kami aman-aman saja. Yang jadi masalah adalah asuransi selama kami bekerja di HK dan bos kami telah membelikan," kataku. 

"Begini mbak, jadi pak Hariyadi tadi hanya ngomong sendiri atau saran kepada mbak lah, kalau bisa memakai asuransi HK tapi dengan surat pernyataan," kata pak Joko, staf KJRI yang kebetulan berada ditengah-tengah kami.

"Saya tadi hanya memegang kata-kata bapak. Kalau semisal bukan ketentuan, jadi ini adalah saran dari bapak, sekedar saran, yang bukan berarti apa-apa karena tidak ada landasan yang menguatinya. Toh nyatanya prakteknya tetap harus membeli asuransi. Ya khan pak?" kataku.

"Saya tadi waktu dialog dengan KJRI juga begitu. Dengan pak siapa itu yang botak memakai kacamata? Anak buahnya bu Sendra?"

"Pak Hari?" tebakku.

Dia tidak mengiyakan. Kemudian melanjutkan obrolan.

"Dia tadi juga begitu bilang: "Asuransi di HK sudah ada jadi enggak usah beli asuransi di Indonesia,"  katanya menirukan omongan petugas KJRI.

"Ya mana bisa begitu? Tentang asuransi ini wewenang kepmen (keputusan menteri), jadi kalau mau meniadakan asuransi harus berhubungan  dengan mentri," katanya. "Meniadakan asuransi itu tidak bisa, karena itu ketentuan dari mentri," tambahnya pula.

"Bahkan pembuatan KTKLN di KJRI-Hong Kong ditiadakan (karena terlalu ruwet dengan asuransi)," sambung Hariyadi Budihardjo.

Kami (saya & Yany) melongo. Lha kok tidak KTKLN-nya saja sekalian yang ditiadakan? Semprul tenan!

Ya percuma saja obrolan kami yang tidak bakal ada ujungnya itu tadi karena kami mempunyai cara pandang yang berbeda-beda. Sewaktu pemilik restoran So So Bali lewat di depan stan, mereka mempersilakan pemilik restoran itu untuk mampir.

"Ayo lunga Yan, mbulet ngene," kataku pada Yany.

Seperti pucuk dicinta, Nurul pun langsung menyalami kami, seakan mengusir kami pergi serta-merta. Kami pun pamit.





Nekawe Sampai Tua? Oh Tidaaakk..!!

Tulisan ini aku endapkan di draft sejak 20 Februari lalu. Aku buat sesaat setelah aku bercakap-cakap dengan seorang domestic worker asal Filipina. Maaf, bila percakapannya menggunakan bahasa Inggris, karena memang demikianlah percakapan kami waktu itu, sedang aku kesusahan mencari padanan kalimat dalam bahasa Indonesia.

Angin berhembus semakin kencang, membuat dingin ini semakin dingin. Aku bergidik lalu bersin atas perubahan suhu yang mendadak itu.

Di musim dingin ini hari-hari semakin aneh saja. Kadang hangat seperti musim panas, kadang dingin. Di satu hari saja mungkin saja terjadi tujuh kali perubahan suhu. Ini mungkin karena adanya sesuatu yang dinamakan global warming, atau entahlah apa namanya. Dan aku tak siap atas perubahan suhu itu, mungkin juga tak akan pernah siap.

Aku lebih suka matahari daripada dingin yang lembab. Matahari membuatku bersemangat tapi kalau dingin selalu membuatku sakit. Mataku merah dan berair, hidungku semakin mblesek pesek saja terlalu sering kukucek-kucek akibat ingus yang never ending keluar. Hingga pipiku pun berubah warna, warna yang paling aku benci, pink!

Ini sangat kontras bila dibandingkan dengan seorang wanita yang berada di dekatku. Dia mencintai musim dingin seolah-olah dia adalah pemiliknya. Dia hanya memakai T-shirt dan vest sedang aku memakai tiga lapis baju plus jaket wool. Wolaaa..!!

"It's not that cold today, you know. It's only 13," katanya membuka percakapan kami.

"I know, but it does me bad enough," jawabku.

"You should be stronger than me," katanya lagi.

“True," jawabku dalam hati. Aku hanya bisa menyajikan senyum getir menyayangkan betapa rentannya aku terhadap sakit di musim dingin ini, alergi hawa dingin yang aku alami hampir selalu membuatku susah bernafas saat tidur.

Aku merasa bahwa -bukan kalimat tanya- yang baru saja dilontarkannya itu tak membutuhkan jawaban ataupun sanggahan. Aku lebih menyibukkan diri menggosok-gosokkan telapak tanganku agar aku bisa menciptakan hangat.

Mataku menatap pada -jalan yang tidak pernah sepi- yang dijejali dengan kendaraan. Aku juga tak bisa melihat Benson Wine Cellar, tempat pembelian minuman beralkohol sekaligus tempat pembelian kartu telepon langgananku. 


Sepertinya aku harus bertahan dalam dingin itu sepuluh atau mungkin dua puluh menit lebih lama dari biasanya karena kemacetan itu. Bis sekolah yang kami tunggu tentunya tidak akan bisa datang tepat pada waktunya karena macet.

"Look at me! I am 52 and I can stand this weather. Darling, you are only little bit more than half of my age, you should be stronger," dia melanjutkan bicara. Nada sombong kudengar di sana.

Aku jengah, aku sudah seringkali mendengarkannya mengucapkan kalimat sombong itu. Kendati apa yang diucapkannya itu benar namun aku rasa dia tidak mempunyai hak untuk menghakimiku untuk -tidak memiliki hak untuk merasa dingin- di musim dingin. Umur itu hanya angka yang dijejer, tapi kedinginan itu bisa saja dirasakan tiap orang.

"I hate January, I hate winter," kataku.

"Guess you don't hate the red pocket, do you? Haha..," katanya diiringi tawa.

“I hate you when you laugh at me like that,” jawabku dalam hati.

"I prefer to have ordinary warmer month. These cold months make me sick. And I still have to work like a horse or a cow,” jawabku. “Even the money from the red pocket cannot cover my pains," tambahku.

"I know, you Indonesian love sun so much,” katanya membenarkan kata-kataku.

"Nah lo, lha itu kamu tahu khan?" kataku dalam hati.

“So how much you've got?" tanyanya dengan penuh selidik.

"What? Red pocket? The lay see?" aku balik bertanya.

"Yes," jawabnya dengan tatapan dan muka serius.

“Less than five hundred," jawabku.

"That's a lot, darling! Me only have 120. My sir and mum only gave me 40 each. Then mamah-yayah gave me 20 each. That's all. I guess you are right, we work like a horse and get scolded every day and in the end of story they only gave us small amount for a reward.”

“We are so lucky right?” kataku. Kemudian kami tertawa bersama atas satu alasan yang sama, mengkasihani nasip kami.

"Every month, I have only little money left, just little bit," katanya sambil menunjukkan enam jarinya.

"Enam ratus dolar saja?" tanyaku masgul.

Dia menganggukkan kepala, membenarkan pertanyaan yang adalah pernyataan baginya.

Wanita paruh baya ini kemudian meletakkan tangannya di pundakku. Kedua belah tangannya terasa berat karena tubuhnya agak dimiringkan, sepersekian dari berat badannya dititipkannya padaku. Matanya menatapku seperti tatapan seorang emak kepada anaknya, bersedia memberikan wejangan.

"You are young, you have to save more money for your future," petuahnya dengan bahasa Inggris berbau logat Filipina.

"Sure thing," jawabku," antara setengah paham dan setengah tidak mengerti ke mana pembicaraan kami ini berasal dan hendak bermuara.

Lyn, namanya. Wanita yang berasal dari Mindoro Island, Filipina, ini terlihat lelah dengan beban kerja dan beban hidupnya. Teman yang aku kenal saat sama-sama menunggu bus sekolah yang mengantar dan menjemput pulang momongan kami ini sedikit demi sedikit mencairkan kebekuan sikapnya setelah hampir setahun kami berinteraksi.

"Ini tahun ke dua puluh tujuh," katanya sambil menghela nafas kemudian menghembuskannya perlahan-lahan.

"Dan aku tidak tahu lagi berapa lama aku akan tinggal di sini."

"Tak mempunyai rencana? Maaf, mungkin waktunya bagimu untuk pensiun, tinggal di rumah, merawat rumah sambil melihat cucu-cucumu tumbuh?" kataku dengan tanda tanya mengikutinya.

"Hong Kong is so beautiful. It is almost perfect," katanya.

"Yes but it is not our destiny, neither our destination," kataku.

"I know. Aku tahu itu. I wish I were you, as free as you. You seems so lightly carry this whole world. Never see you sad or complaining of anything. Everything is in order in your life, right?"

Aku tak menjawabnya, hanya tersenyum.

"I send my two children to college. They are now work already. They also got married and each one has two children of their own," katanya bercerita.

"Then, you should be free," kataku.

"I still have to support them. Their salary is not enough to cover their everyday need," kanyanya.

"Until when? Seriously, you are not getting any younger. If you change your employer, it will be hard to get a new one because of your age. Then, if you are suddenly stop working, you are killing your whole family because you cannot support them anymore, right?" tanyaku.

"That's true. But in other hand, I feel happy to support them," katanya. "You know, it's like, it's my duty, my responsibility," jawabnya.

"You have ruined your children," jawabku. Kamu membuat mereka tergantung padamu, membuat mereka tidak bisa mandiri," kataku.

"May be you should gradually decrease amount of the money that you send to your children. Then you should save some money for your own saving," kataku lagi.

"What should I say to them?" tanyanya.

"Tell them that you want to retire. Katakan kalau kamu ingin pensiun kerja trus pulang, jadi kamu butuh uang untuk mempersiapkan itu," jawabku.

Dia terdiam.

Bis sekolah akhirnya datang dan obrolan kami terpenggal begitu saja. Kami kemudian beredar kembali ke rumah bos masing-masing setelah membantu momongan kami naik bis sekolah. Wanita ini sepertti kebanyakan wanita-wanita lain para pekerja domestik, bahwa tugas menghidupi keluarga menjadi tanggung jawab mereka. Payahnya ini menjadikan keluarga di rumah bergantung kepada para TKW. Haruskah nekawe sampai tua demi keluarga?

Obrolan itu menjadikan tambahan wawasan bagiku dan aku juga bersiap, berplanning untuk masa depanku nanti, tak ingin aku nekawe sampai tua!

Mengkarbit Tujuhbelasan

Ketika puasa jatuh pada bulan Agustus, maka dosa terhadap bangsa yang kita lakukan secara berjamaah dan dengan kesadaran penuh adalah mengkarbit tujuhbelasan.

Kemarin, Minggu 8 Juli, Konsulat Jenderal Republik Indonesia-Hong Kong (KJRI-HK)  merayakan kemerdekaan Republik Indonesia yang ke-67 dengan membuat panggung gembira.

Tenda megah kira-kira seluas 15 x 10 meter persegi ditancapkan di pojok lapangan Victoria Park. Tak beda jauh dengan KJRI, tenda megah dengan panggung besarnya itu tampak angkuh terhadap TKW-Hong Kong karena adanya pagar besi yang diletakkan mengelilingi tenda. Seperti batas antara orang-orang pilihan, undangan dan para well-bred-nya KJRI-HK dengan kungyan atau babu kebanyakan.

The Changcutters, (yang menurutku) kelompok band yang enggak jelas jenis kelamin bandnya, dengan suara yang bisa mensegerakan orang sekarat untuk segera mati itu juga dihadirkan. Kalau semua mau jujur, band bentukan TKW-Hong Kong atau Macau jauh lebih bagus kualitasnya. Namun entahlah, mungkin KJRI menilai pengimporan penyanyi atau grup lawak itu adalah cara terpandai untuk menghabiskan anggaran. Atau mungkin juga KJRI sedang terserang virus galau sehingga buntu ide.

Datangnya artis kenamaan Indonesia ke Hong Kong sebenarnya adalah hal yang biasa. Beberapa organisasi TKW yang ada di Hong Kong juga kerap mengundang artis-artis papan atas. Lalu apa hebatnya kalau KJRI-HK mengundang artis-artis tersebut?

Tak jauh dari tenda megah dengan artis-artis bersuara amburadul tadi, tiga buah lomba pun digelar. Ada balap karung lengkap dengan karung goni yang diimpor secara khusus dan super spesial dari negara yang sedang sakit yang bernama Indonesia, ada lomba makan kerupuk, ada juga lomba makan jeruk dengan mata tertutup.
 
 -panggung gembira dan lomba-lomba- dua hal ini menurut KJRI-HK diadakan untuk memberi semangat dan hiburan. Namun menyemangati apa dan mengibur yang bagaimana saya pribadi (yang tidak sedang terserang virus galau ini) masih belum bisa memahaminya.

Bila lomba dan panggung gembira dengan artis-artis ibukota tersebut dikatakan sebagai hiburan, tentu itu tergolong sebagai hiburan yang mahal. Sering saya merenung, coba kalau biaya hiburan sesaat tersebut dialokasikan untuk hiburan jangka panjang bagi TKW. Seperti realisasi perpustakaan yang tak kunjung jadi itu.

Pada tenda-tenda kecil (stan) yang mengelilingi tenda besar tersebut juga diadakan pameran Usaha Kecil Menengah (UKM) dari Jawa Timur dan Jawa Barat, perwakilan Kamar Dagang dan Industri dari Bandung, beberapa instansi keuangan (perbankan)dan sedikit stan  pameran produk kreatif TKW.  

Kalau stan TKW-HK sendiri bisa menunjukkan kreatifitas dari TKW-HK (bros, anting, gelang, kalung, tas anyaman, kembang dari sabun dan manik-manik, fruit carving, baju) sekaligus mempraktekkannya di sana sehingga membuat pengunjung stan tertarik, lain halnya dengan stan UKM.  Jauh-jauh dari Indonesia mereka hanya mengadakan pameran dagang saja. Tas-tas dijejer di atas meja, baju-baju batik digantung di langit-langit tenda dan tentu saja dengan price tag-nya masing masing yang pating klewer.

Jadi manfaat apa yang didapat dari perayaan agustusan di bulan juli itu?

Uniknya pula, 2 stan Unit Pelayanan Penempatan dan Perlindungan TKI (UP3TKI) Surabaya yang menjadi incaran dari TKW-HK sehubungan kebingungan mereka tentang info tentang KTKLN tampak sepi. Tidak ada penunggu satu pun yang berada di stan itu. Maaf, saya berdiri di depan stan selama 10 menit, kemudian duduk di kursi yang berada di stan tersebut selama lima menit, baru kemudian seorang penjaga stan yang ternyata dolan di stan sebelahnya kembali ke stan UP3TKI. Ini adalah 15 menit terlucu sekaligus menjengkelkan yang pernah saya alami.

Minggu itu, KJRI-HK tak hanya sukses mengkarbit tujuhbelasan namun juga sukses bersalah kaprah memaknai kemerdekaan sekaligus sukses menghambur-hamburkan anggaran.

Apakah memperingati kemerdekaan RI itu selalu harus dengan panggung gembira dan lomba-lomba itu? Apakah memperingati kemerdekaan di bulan puasa (karena puasa jatuh di bulan Agustus) itu sudah tidak sah lagi?  Atau inikah peraturan baru yang dicap sah untuk mengkarbit tujuhbelasan karena puasa di bulan Agustus?

Wahai...anak bangsa macam apa kita ini???!!!





Pecirit, Mambu Tenan!

Teman-teman menamaiku babu organik, ini lantaran aku memakan makanan yang serba organik. Lhah bukan mauku lho, tapi bosku adalah orang yang concern banget terhadap kesehatan. Jadi dari sayur, daging, ikan semuanya organik. Hingga lombok jempling kesukaanku pun diwajibkan organik.

Sehat memang, buktinya aku jarang sekali terkena penyakit. Namun pada hari liburku semuanya berbalik 180 derajat eh malah 360 kale'. Pasalnya, pada hari Minggu atau hari libur pekerja/pembantu di Hong Kong aku akan makan apa saja yang bisa aku lihat. Kadang bakso atau mie ayam atau soto atau rawon yang dijual lesehan di pinggir Victoria Park itu, atau rujak petis, lontong, nasi campur yang dijual di atas pasar Bowrington Wanchai, atau pula tempe penyet bikinan bundaku (bunda adalah seorang BMI sepertiku yang aku anggap sebagai ibuku karena kedewasaan pikiran dan kepeduliannya terhadap perutku) kadang pula nyolong bontot temen yang kebetulan bawa.

Itu sih enggak akan mengganggu hariku, kalau setelah aku makan aku bisa berak atau memberakkan diri (ngeden ngising). Tapi kalau enggak, itu petaka. Seperti hari itu, Minggu 1 Juli 2012.

Hari itu aku bersama rombongan grup seni Sekar Bumi mengantar temanku yang hendak manggung, nari Gathotkaca Gandrung, di Yuen Long. Masing-masing dari kami memasak makanan dari rumah pada hari Sabtunya.

Apa yang aku makan ya...? Oh iya, tiwul plus sayur lodeh, nasi goreng, nasi plus kari daging sapi, es cendol, seperempat buah semangka, satu buah jeruk, sebungkus crakers, es soda, teh susu dan entah apa lagi, lupa. Dan terlebih lupanya adalah aku lupa berak alias ngising.

Bertolak dari Yuen Long jam 6.30 petang. Dan setelah mampir di KFC untuk makan malam, maka sampailah acara perpisahan kami, kami pulang ke rumah bos masing-masing. Aku sempet ngobrol dengan Camat, salah satu kawan karibku, hingga pukul 11.30 malam dan baru jam 11.50 malam aku tiba di MTR Causeway Bay.

Dari terminal kereta bawah tanah/MTR aku merasakan sesuatu yang tidak beres. Seperti keringat dingin yang tiba-tiba mengucur, menetes dari sekujur pori-pori tubuhku. Sebagian terserap kaos dan celana pendek yang aku kenakan sebagian lagi pating dlewer, ada pula yang menetes seperti rintik hujan dari ujung jari-jariku. Sungguh!

Menaiki tangga menuju pintu keluar MTR sesuatu yang hangat terasa nylempit di cawetku. Mak crit! Kemudian disusul dengan "mak crit" lagi dan crit-crit-crit yang lain. Kontan langkahku kupercepat dengan memegang kolor celana pendekku erat-erat. "Dhuh Gusti, plis dong ah, jangan biarkan babu super nyentrik dan super ngeyelan ini malu karena kedapatan pecirit sepanjang jalan," doaku dengan sungguh-sungguh.

Begitu sampai di bibir pintu keluar MTR, mataku nanar menyapu sekitar dan kudapati  Yany, seorang kawanku (yang kebetulan menjumpaiku di sekitar  terminal MTR). "Yan aku krasa ngising," kataku jujur dengan wajah ngempet yang teramat sangat.

"Mengko dhisik lah, ntar dulu, kita ngobrol dulu," jawabnya tanpa dosa.

"Lei ko dao a, ndasmu kuwi! Em tak a, gak bisa! Wis kebelet iki," kataku sambil membentak jengkel padanya yang enggak bisa memahami situasiku.

Segala barang bawaanku kupindahkan padanya, membiarkannya kewalahan plus keheranan dengan tingkahku yang mbebeki. "Ayo!" perintahku, membuyarkan keheranannya. Maka kami berdua gedandapan mencari tempat keramat di ujung malam itu, toilet umum!

Dari mall Forever 21, mall pakaian ABG itu, kami mencari toilet dengan tanpa pengetahuan arah. Jalan ke kanan, balik ke kiri, balik ke kanan lagi trus ke kiri, tanda toilet umum itu tak kunjung pula kami jumpai. Kulihat Yany tampak kewalahan membawa barang bawaanku plus mengikutiku, kubiarkan saja.

Di saat genting seperti itu mataku sempat tersangkut pada sederetan baju renang yang cute banget, kemudian sepintas teringat janjiku dengan kawan-kawan yang lain untuk renang di hari Senin (2 Juli).

"Eh, baju renange lucu ya?" kataku pada Yany. Yany hanya melongo. Namun ujug-ujug tiba-tiba saja mak crit yang lain keluar lagi, cawetku terasa semakin hangat dan dlewer. Seketika aku panik. Blaik tenan!

"Em tak a, gak bisa! Harus nyari toilet sekarang juga!" kataku kemudian lari ke sana ke mari enggak tentu arah dan Yany masih kinthil dari belakang.

Akhirnya kami keluar dari mall forever 21, berbalik arah menuju Mc Donald (karena kupikir pasti di sana ada toilet umum walau bagaimana kotornya sekalipun), tapi kemudian Yany berteriak dan menggelandangku untuk naik lift di sebuah game center yang mbuh aku sudah lupa.

Saat menunggu toilet itu kurasakan lagi mak crit yang entah keberapa. "Piye iki, mosok aku harus pecirit," kataku putus asa. Nafasku kutahan, celana pendekkuku kupegang semakin erat dan kakiku kusilangkan, njagani kalau-kalau peciritku sampai ndlewer ke kaki.

"Diempet dhisik dhiluk wae lah Rie, tahan bentarlah," jawab Yany. Wajahnya seperti orang ngempet, tapi bukan ngempet sepertiku melainkan ngempet ketawa melihat kesengsaraan di wajahku.

Begitu lift terbuka dan aku berlari masuk, aku masih tak sabaran lagi. Kurasakan detik demi detik menuju ke lantai 7 itu seperti detik demi detik neraka pertama yang baru kurasakan, tersiksa sekali.

"Iki liftnya bisa dicepetin enggak sih," kataku memelas sekali.

"Lha wong lift mlaku dhewe kok dicepetin gimana sih Rie?" kata Yany sambil tertawa tertahan. Suwer, rasanya pengin banget nonjok muka Yany yang teramat nyebelin karena sedari tadi ngetawain aku mulu. Padahal aku berada dalam posisi enggak enak sama sekali.

"To mei cek? Sudah sampai belum sih?" tanyaku. Berbarengan itu lift terbuka dan segera saja aku menghambur ke luar.

Di sana, dua buah WC menganga dengan bau khasnya, pesing-pesing gimanaaa...gitu. Tapi wis sudah tidak aku reken sama sekali. Karena toh di dalam cawetku ada banyak cairan pekat berwarna kuning yang ngaudubillah ambune. Dan aku tidak bisa lagi memilah mana tai organik dan mana tai non organikku.

Kulepas cawetku dengan amat hati-hati sekali lalu kulemparkan cawet itu ke dalam tempat sampah di depanku, kemudian kuikat plastik sampah itu erat-erat. Dan "mak brooooooooottt" meluncurlah semua barang busuk dari anusku. Ketika kutengok ternyata aku sudah mbathi banyak sekali hari itu.

Kupastikan tetes terakhir taiku berkumpul bersama kawan-kawannya. Plus aku berdiam selama tiga menit njagani kalau-kalau masih ada mak brot atau crit-crit-crit selanjutnya.

Dan setelah semua kurasa selesai dengan sempurna maka aku merogoh kotak tissue di depanku. Dan ndelalah tidak ada tissue di dalamnya, tak selembar pun!

Tapi Gusti Allah itu selalu baik hati padaku. Dia selalu memberikan jalan keluar terbaik untukku. Ketika kubongkar isi tasku aku menemukan empat lembar tissue yang aku ambil dari KFC plus enam buah tissue basah gratisan hasil koleksiku dari restoran tempat bosku makan malam pada hari Jumat lalu.

Dan proses mengelap pun berlangsung. Namun ada surprise setelah acara mengelap selesai, kurasakan isis disusul dengan panas perih di bokongku, ternyata tissue basah yang kugunakan tadi mengandung alkohol. Yongalah Gusti....

Dengan tanpa cawet, aku merasa seperti setengah memakai bikini di malam itu, semriwing gimana gitu. Dan dengan berjalan berjingkat-jingkat karena masih merasakan panas perih alkohol di bokongku aku mendekati tapi agak menjauh sedikit dari Yany sambil bertanya,  ‎"Yan, kowe dek mau ora mambu ta?"
"Ya mambu Rie, tapi ngrasakne kowe ki aku teleng-teleng tenan. Salah aku dhewe lagi PMS, weteng lara ndadak kok tambahi perkara sing marai weteng tambah kaku, ngakak ra uwis-uwis. Ekspresif banget kau saat itu. Yongalah gusti, nyuwun ngapura,"  katanya sambil tertawa ngakak.


Setelah berpisah dengan Yany, aku masih belum percaya diri kalau aku sudah tidak bau tai. Aku seolah merasa bokongku masih nggedibel, seperti tai-taiku masih berada di sana. Mambu tenan dan njijiki!

Dan di pukul 12.15 malam itu hanya ada tiga alternatif untuk kembali ke rumah bos: naik tram, taxi atau jalan kaki. Setelah berpikir selama lima menit aku memutuskan pilihan terakhir, jalan kaki. Jalan di Happy Valley (daerah tempat tinggal bosku) tampak sepi sekali.

Untung pada hari itu dan selama dua minggu ke depan bos tidak ada di rumah karena sedang menjenguk nenek di Kanada, artinya aku sendirian di rumah. Maka hal pertama yang aku lakukan begitu masuk ke rumah adalah menuju dapur mengambil antiseptik dettol cair kemudian menuju kamar mandi mencuci bokongku dengan dettol, kemudian mencuci dengan sabun, kemudian dengan dettol, kemudian dengan sabun, kemudian dengan dettol, kemudian dengan sabun. Terakhir kutuang sisa dettol ke dalam ember cucian menambahinya dengan sedikit air kemudian merendam pantatku selama lima menit di cairan dettol tersebut. Setelah itu aku baru merasa bebas kuman, lalu kulanjutkan dengan mandi keramas seperti biasa.

Yongalah Gusti...pecirit wae kok neng Hong Kong....