Mengkarbit Tujuhbelasan

Ketika puasa jatuh pada bulan Agustus, maka dosa terhadap bangsa yang kita lakukan secara berjamaah dan dengan kesadaran penuh adalah mengkarbit tujuhbelasan.

Kemarin, Minggu 8 Juli, Konsulat Jenderal Republik Indonesia-Hong Kong (KJRI-HK)  merayakan kemerdekaan Republik Indonesia yang ke-67 dengan membuat panggung gembira.

Tenda megah kira-kira seluas 15 x 10 meter persegi ditancapkan di pojok lapangan Victoria Park. Tak beda jauh dengan KJRI, tenda megah dengan panggung besarnya itu tampak angkuh terhadap TKW-Hong Kong karena adanya pagar besi yang diletakkan mengelilingi tenda. Seperti batas antara orang-orang pilihan, undangan dan para well-bred-nya KJRI-HK dengan kungyan atau babu kebanyakan.

The Changcutters, (yang menurutku) kelompok band yang enggak jelas jenis kelamin bandnya, dengan suara yang bisa mensegerakan orang sekarat untuk segera mati itu juga dihadirkan. Kalau semua mau jujur, band bentukan TKW-Hong Kong atau Macau jauh lebih bagus kualitasnya. Namun entahlah, mungkin KJRI menilai pengimporan penyanyi atau grup lawak itu adalah cara terpandai untuk menghabiskan anggaran. Atau mungkin juga KJRI sedang terserang virus galau sehingga buntu ide.

Datangnya artis kenamaan Indonesia ke Hong Kong sebenarnya adalah hal yang biasa. Beberapa organisasi TKW yang ada di Hong Kong juga kerap mengundang artis-artis papan atas. Lalu apa hebatnya kalau KJRI-HK mengundang artis-artis tersebut?

Tak jauh dari tenda megah dengan artis-artis bersuara amburadul tadi, tiga buah lomba pun digelar. Ada balap karung lengkap dengan karung goni yang diimpor secara khusus dan super spesial dari negara yang sedang sakit yang bernama Indonesia, ada lomba makan kerupuk, ada juga lomba makan jeruk dengan mata tertutup.
 
 -panggung gembira dan lomba-lomba- dua hal ini menurut KJRI-HK diadakan untuk memberi semangat dan hiburan. Namun menyemangati apa dan mengibur yang bagaimana saya pribadi (yang tidak sedang terserang virus galau ini) masih belum bisa memahaminya.

Bila lomba dan panggung gembira dengan artis-artis ibukota tersebut dikatakan sebagai hiburan, tentu itu tergolong sebagai hiburan yang mahal. Sering saya merenung, coba kalau biaya hiburan sesaat tersebut dialokasikan untuk hiburan jangka panjang bagi TKW. Seperti realisasi perpustakaan yang tak kunjung jadi itu.

Pada tenda-tenda kecil (stan) yang mengelilingi tenda besar tersebut juga diadakan pameran Usaha Kecil Menengah (UKM) dari Jawa Timur dan Jawa Barat, perwakilan Kamar Dagang dan Industri dari Bandung, beberapa instansi keuangan (perbankan)dan sedikit stan  pameran produk kreatif TKW.  

Kalau stan TKW-HK sendiri bisa menunjukkan kreatifitas dari TKW-HK (bros, anting, gelang, kalung, tas anyaman, kembang dari sabun dan manik-manik, fruit carving, baju) sekaligus mempraktekkannya di sana sehingga membuat pengunjung stan tertarik, lain halnya dengan stan UKM.  Jauh-jauh dari Indonesia mereka hanya mengadakan pameran dagang saja. Tas-tas dijejer di atas meja, baju-baju batik digantung di langit-langit tenda dan tentu saja dengan price tag-nya masing masing yang pating klewer.

Jadi manfaat apa yang didapat dari perayaan agustusan di bulan juli itu?

Uniknya pula, 2 stan Unit Pelayanan Penempatan dan Perlindungan TKI (UP3TKI) Surabaya yang menjadi incaran dari TKW-HK sehubungan kebingungan mereka tentang info tentang KTKLN tampak sepi. Tidak ada penunggu satu pun yang berada di stan itu. Maaf, saya berdiri di depan stan selama 10 menit, kemudian duduk di kursi yang berada di stan tersebut selama lima menit, baru kemudian seorang penjaga stan yang ternyata dolan di stan sebelahnya kembali ke stan UP3TKI. Ini adalah 15 menit terlucu sekaligus menjengkelkan yang pernah saya alami.

Minggu itu, KJRI-HK tak hanya sukses mengkarbit tujuhbelasan namun juga sukses bersalah kaprah memaknai kemerdekaan sekaligus sukses menghambur-hamburkan anggaran.

Apakah memperingati kemerdekaan RI itu selalu harus dengan panggung gembira dan lomba-lomba itu? Apakah memperingati kemerdekaan di bulan puasa (karena puasa jatuh di bulan Agustus) itu sudah tidak sah lagi?  Atau inikah peraturan baru yang dicap sah untuk mengkarbit tujuhbelasan karena puasa di bulan Agustus?

Wahai...anak bangsa macam apa kita ini???!!!





4 komentar :

  1. yo panggung gembira dong...
    biar lebih memantabkan diri dengan falsafah bergembira di atas kegembiraan orang lain...

    BalasHapus
  2. Wah Rie-Rie, ini mah "babu yang brilliant". Posting artikelnya bagi bunda berbobot, tapi ada tetapinya nih ya.........terlalu berani "ngritik", gitu loh. Tampilan blognya keren (bunda belum bisa seperti itu rie), postingan-postingannya oke punya. Hebatlah pokoknya mah si Rie-Rie tea. Salam kenal ya dari Indonesia.

    BalasHapus
  3. Rie-Rie, bunda balik lagi nih ya and bunda udah baca postingan Rie 2x. Mata terhenti pada pertanyaan Rie-Rie: "Jadi manfaat apa yang didapat merayakan Agustusan di bulan Juli itu". Rie-Rie menurut bunda, kita ambil positifnya aja deh ya. Dengan merayakan Agustusan di bulan Juli semua sektor diutamakan: (1)akan diperoleh ke-khusukkan di bulan Ramadhan bagi kita umat Islam yang akan memulainya pada tgl. 19/20 Juli s/d 19/20 Agustus; (2)Mengingatkan bangsa Indonesia, dimanapun berada, bahwa "kita tidak boleh dan tidak bisa melupakan hari Kemerdekaan Bangsa 17 Agustus 1945" terlepas dari diadakan/dirayakannya TIDAK pada 17 Agustus; (3) Kedua momentum tersebut akan tetap melekat dihati setiap insan Muslim dan setiap anak bangsa (Indonesia). Begitu kira-kira Rie-Rie, pendapat bunda tentang manfaatnya. Salam hangat dari Indonesia.

    BalasHapus
  4. @rawins, haissss....
    @Bu Yati rachmat, makasih atas kedatangan dan komennya bu. Maksud saya bisakah perayaannya lebih diarahkan kepada hal-hal mendidik? Sedang masalah puasa (bagi saya) adalah masalah pridadi antara TUhan dan hambanya yg semestinya tidak ada kaitannya dg rasa cinta kepada bangsa, dan atau bahwa seharusnya perayaan 17-an itu tak mempengaruhi sedikitpun kekhusukan seseorang berpuasa.

    BalasHapus

Matur suwun wis gelem melu umuk...