Galau?

huuhuuhuuuu...

Semangaaaaatttt..!

Love your job and be proud.

Iyes!

Bekerja sambil belajar.

Masih galau lagi?

No! No! No! Be happy laahhh...!

Ayo ngeblog!

Masa kalah sama Babu Ngeblog?

Selamat Jalan Pak

Air mata itu tak bisa dibendung, menerobos begitu saja. Kerja sama dari kelenjar lakrimal dan emosiku begitu hebat padahal hanya karena satu sms yang baru sempat kubuka. Sms yang lainnya kemudian aku ketahui sama isinya, ketiganya dari kakak-kakakku.

Satu kalimat pendek yang aku tahu akan datang padaku semasa-masa tetap saja membuat guncangan di hatiku dan menimbulkan isakan-isakan tertahan ditengah hiruk-pikuknya manusia di MTR (kereta bawah tanah) sekembalinya aku dari rumah mamah (nenek) untuk makan siang bersama. Menahannya karena tak ingin terlihat aneh di depan banyak orang utamanya di saat seorang bocah sedang bergelanyut manja di tangan kananku dan itu bukanlah hal yang mudah. Setegar apapun aku, aku hanyalah seorang anak dari seorang bapak yang terkapar tanpa nyawa ribuan mil jauhnya dari tempatku berdiri pada saat itu.

"Nduk ngebel, bapak wes meninggal," begitu bunyi sms itu Tertera 14.30 Rabu, 13 Juli 2011, mbak Tik, pada bagian kaki sms.

Innalillahi wa innalillahi rojiun. Astagfirullah... Padahal aku berbicara dengannya seminggu yang lalu ketika beliau memohon padaku untuk pulang barang dua atau tiga hari untuk menjenguknya. Dan aku tak bisa mengabulkan permintaannya karena waktu pulangku sudah ditentukan majikan dan itu hanya tinggal satu bulan saja.

Padahal aku berbicara padanya pukul 18.30-19.00 waktu Hong Kong, menjelang maghrib pada Selasa, 12 Juli 2011. Suara nafasnya yang berat dan suara batuknya terdengar keras mendengung-dengung digendang telingaku, hingga saat inipun.

"Kapan mulih nduk?" tanyanya di sela-sela nafas beratnya.

"Tinggal sebulan lagi," jawabku memberi kepastian.

"Tanggal 21 ya. Ndak nyandhak umurku nduk?" kata bapak. "Bali sik nduk," tambahnya lagi.

Dan kembali aku mengatakan tak bisa. Kembali aku harus mengatakan alasanku bahwa untuk pulang ke rumah tidak semudah itu. Hong Kong-Blora membutuhkan waktu dan uang yang tidak sedikit. Lagipula kalau aku pulang secara mendadak berarti bosku harus mengatur segalanya lagi, dan itu yang teramat menyulitkan.

Penyakit bapak sejak dua tahun yang lalu memburuk, kini semakin parah. Hatinya yang keras menolak untuk pergi ke Rumah Sakit, menjadikan semuanya makin payah. Sabtu ini, aku dan kakakku merencanakan untuk memaksa beliau untuk nginep di Rumah Sakit, namun Tuhan berencana lain. Rencana dasyat-Nya itu telah merobek-robek hatiku menjadi kepingan-kepingan yang sulit untuk ditata kembali, meskipun bukan hal yang mustahil suatu saat nanti bisa. Namun hingga saat aku menulis ini, airmata itu terus mengalir dan nafasku sesak. Inilah di saat ikhlas itu menjadi teramat sulit bagiku.

Aku marah pada kakakku dan menghujaninya dengan sms yang menyakitkan, tak tahu apa yang bisa kuperbuat di sini. Aku marah pada diriku sendiri, atas kealpaanku di saat terakhir bapak, atas kegagalanku sebagai anak. aku marah, aku sedih, aku...

Di saatku menahan pedih hati, momonganku berteriak-teriak protes karena kutinggalkan sendirian.

"Ceceee... Play with me, why you stay in the toilet so loooong?" teriaknya di depan dapur yang berujung toilet pribadiku. "Ceceeeeeeee....!" teriaknya melengking.

"Sorry, I'm so sad, gak bisa main denganmu. Nonton TV aja ya," bujukku seraya mengambil sekeping VCD Hi-5 kesukaannya.

"Kenapa sedih?" Mammi angry with you?" tanyanya lugu.

"No, my dad went to heaven, that's why I'm so sad," jawabku.

Dua buah ciuman diberikannya padaku lengkap dengan pelukan eratnya. "Don't be sad. I will draw for you. I will be good, I watch TV later," janjinya sungguh-sungguh. Dan dia melakukan apa yang telah dijanjikannya serta merta.

Waktu terasa merangkak meski aku berdoa agar cepat segera berlalu. Kucoba untuk berkonsentrasi untuk melakukan sisa tugasku hari itu, namun sepertinya tak berhasil dengan sempurna. Oseng seledri besar dengan daging sapi dan tim telur malam itu telah terkontaminasi oleh airmataku. Tak ada yang protes, meski bos lakiku yang jago masak itu. Semua diam melakukan tindakan preventif agar aku tak meledak dalam duka lagi.

Satu-persatu orang yang kucintai pergi tanpa aku bisa melihat saat terakhir mereka. Nenek, dua tahun lalu juga telah pergi dan kini bapak tutwuri. Satu-persatu kami di sini ditinggal orang yang mereka cintai. Menggonjang-ganjingkan hati, menguji ketegaran dan keikhlasan kami dan kami dilarang gagal. Kalaupun ikhlas itu membutuhkan waktu yang agak lama, tegar itu harus terbentuk seketika.


Allaahummaghfirlii wali wali dayya warhamhuma kamaa rabbayaani saghiira