Galau?

huuhuuhuuuu...

Semangaaaaatttt..!

Love your job and be proud.

Iyes!

Bekerja sambil belajar.

Masih galau lagi?

No! No! No! Be happy laahhh...!

Ayo ngeblog!

Masa kalah sama Babu Ngeblog?

Kartika Puspitasari, Hong Kong Kecolongan, & Indonesia yang Gagal

Foto dari sini
Kartika Puspitasari, wanita yang berasal dari Cilacap ini mempunyai mimpi yang sama dengan rekan-rekan sekampungnya, kehidupan yang lebih layak. Untuk meraih mimpi tersebut wanita 30 tahun inipun rela meninggalkan keluarganya. Singapura menjadi negara pertama yang dijajalnya selama tujuh tahun. Namun setelah tamat dari Singapura dan bermaksud mengupgrade universitas kehidupannya di Hong Kong, ternyata neraka yang didapatinya.

Terhitung sejak 12 Juli 2010 Kartika resmi menjadi TKW Hong Kong dan bekerja pada keluarga Tai Ci Wa (majikan laki-laki, sales peralatan listrik, 42 th) dan Chaterine Au Yuk San (majikan perempuan, cleaning service Rumah sakit, 41 th).

Tiga bulan pertama dia mendapat perlakuan baik namun tidak setelah itu. Siksaan demi siksaan diterimanya. Tamparan di wajah dengan tangan atau hak sepatu kerap diterimanya juga sabetan rantai sepeda di punggungnya. Kartika yang hanya diberi makan sekali dalam tiga hari dengan makanan yang tidak layak ini juga mengaku pernah disetrika pada wajah dan pundaknya. Tinju di rahangnya juga menyebabkan beberapa giginya rontok. Tak hanya itu siksaan lain seperti dibenturkan kepalanya pada westafel, disayat tangannya dengan cutter juga diterimanya.

Lalu kenapa seorang yang pernah bekerja ke luar negeri selama tujuh tahun tidak juga sanggup memberontak?

Tekanan

Pada sebuah buku berjudul Mathilda karangan Roald Dahl, mengisahkan seorang kepala sekolah yang akan menghukum murid jika seorang murid melakukan kesalahan. Hukuman yang diberikan kepada murid itu seolah-olah tidak mungkin dilakukan oleh kepala sekolah karena dinilai mustahil. Hukuman yang teramat berat seperti membenturkan kepala anak SD ke tembok atau melemparkan anak SD tersebut dari jendela. Ya, seseorang tak akan langsung mempercayai bila seorang anak bercerita tentang sebegitu bengisnya kepala sekolahnya di sekolahan. Ditambah wajah angker kepala sekolah dan ancaman untuk tidak menceritakan kepada siapapun, hal ini menjadikan anak jadi takut bercerita, padahal kisah penyiksaan itu benar-benar ada.

Tai & Au, foto milik Mega Vristian
Seperti halnya dalam kasus Kartika. Saat majikan melarangnya untuk berbicara dengan orang lain dan tak segan-segan akan menghajarnya (dan benar-benar menghajarnya) kalau ketahuan berbicara sepatah katapun dengan orang lain atau saat majikan mengancam akan merontokkan giginya (dan sudah beberapa gigi rontok), maka ketakutan demi ketakutan akan tumpuk menumpuk. Dan tak sedikit orang akan meragukan kebenaran dari cerita tentang penyiksaannya. Belum lagi bayangan keluarga yang kelaparan karena menunggu kiriman uang. Sudah takut dengan ancaman dan tekanan dari majikan ketambahan pula dengan takut emak tidak bisa makan. Walhasil manut dengan majikan adalah jalan satu-satunya dengan harapan majikan akan memberikan hak atas gajinya.

Terlebih dengan ketiadaan passpor. Passpor yang menjadi identitas sekaligus nyawa dari Kartika selama di luar negeri disita dan disembunyikan majikan juga menyebabkan Kartika takut untuk memberontak.


Tak Berbekal

Ketakutan untuk memberontak ini juga kemungkinan disebabkan oleh minimnya bekal yang diperolehnya ketika masih berada di Indonesia. Lalu siapakah yang bertanggung jawab untuk membekali calon TKW? Ya seharusnya pemerintah dong!

Ketika seseorang memutuskan untuk bekerja di luar negeri sepertinya segala apa yang akan terjadi adalah tanggung jawabnya sendiri. Kurangnya kepedulian pemerintah dalam hal pengeksporan tenaga kerja ini tak urung berdampak pada kurangnya daya tawar/nilai TKW asal Indonesia.

Kata SBY, TKW dibekali dengan HP saat berangkat agar bisa melaporkan derita yang dialaminya. Ok, HP itu dibutuhkan. Untuk sms dengan emak atau suami atau telpon anak. lalu untuk melaporkan atas derita yang dialami TKW? Kendati HP sudah masuk dalam nota kesepahaman namun bagaimana bila saat masuk rumah majikan si TKW ini dilarang memakai HPnya? Nah presiden kita memang bukan pelawak tapi guyonan SBY yang telah lalu itu kalau dijabarkan bisa jadi tujuh hari tujuh malam bahkan tujuh tahun sekalipun masih bisa menimbulkan gelak tawa, ejekan.

Lalu bagaimana dengan pembekalan selama TKW berada di PJTKI (atau apalah sekarang namanya)? Pelatihan yang ada hanya setakat pelatihan memasak dan bahasa. Hal yang diajarkan hanyalah mengenai kewajiban seorang pembantu. Lalu pengetahuan mengenai haknya? Bagaimana? Oh, itu mah gak perlu diajarkan. Lhah kalau diajarkan bisa-bisa pembantu jadi pinter dong, gimana kalau semua pembantu ngeblog dan protes kepada pemerintah, hayo! Lagian khan pembantu pinter enggak cepat laku. Nah, inilah yang saya maksud dengan tidak mempunyai daya tawar/nilai. Pengetahuan tentang budaya lokal tidak ada, padahal ini penting sekali agar pembantu yang baru datang ke negara penempatannya tidak mengalami kejut budaya. Pengetahuan tentang apa yang harus dilakukan TKW ketika mendapati masalah di tempat kerja juga tidak diajarkan. Lhah cuma dikasih HP tadi lho!

Budaya Manut, Budaya Diam

Foto dari sini
Wajah-wajah TKW ditempel di pintu agensi di Hong Kong. Dijajakan seperti gorengan. Poster-poster juga disebar, ditawar-tawarkan seperti sabun colek.
"Get Indonesian Maid to do your daily needs! Cantonis speaking fluently, obidient, deligent, honest, cheap!"
atau seperti ini:
"Yannei kungyan a. Yau bheng leng cheng!" (Pembantu dari Indonesia. Murah, bagus dan memuaskan!)

Pembantu Indonesia itu dikenal manut, rajin, nurut dan murah. Manut kalau disuruh apapun hingga cuci mobil lima biji dan beres-beres rumah tiga tingkat juga manut saja. Disuruh memakai baju transparant dan pempers seperti Kartika juga manut saja. Nurut dan tidak pernah complaint, walau pinggang seperti mau putus dan mata berkunang-kunang setelah mengelap jendela yang tingginya dari lantai ke atap juga diam saja. Murah karena enggak usah nambah uang lembur, kerja 16 hingga 20 jam pun gajinya tetap sama.

Terlebih dengan masyarakat kita atau pola pikir kita yang sudah terdoktrin bahwa menjadi pembantu itu harus manut. Sebagai kelompok minoritas di negara penempatan yang disubordinasikan dan mempunyai pola pikir patuh dan manut ini pengkastaan/pengkelasan terhadap TKW tentu ada. Seperti majikan Kartika, mereka (Tai Ci wa & Au yuk Shan) yang merasa pada kasta lebih tinggi akan berpotensi untuk menyetir hidup pembantu yang berada pada kasta lebih rendah. Dan Kartika yang merasa berada pada kasta lebih rendah tertundukkan. Dia manut dan patuh. Apalagi dengan kondisi tangan dan kakinya terikat. Ya, Kartika akan didudukkan di kursi dan diikat tangan dan kakinya ketika majikan tak membutuhkannya dan akan dibuka talinya hanya saat majikan membutuhkannya.

Selain budaya manut, budaya diam juga melekat pada masyarakat (apalagi pada mereka yang merasa berada pada kasta rendah). Eh jangankan mereka yang merasa pada kasta rendah, lha banyak mahasiswa juga lebih memilih bungkam, enggan bertanya pada dosennya atau enggan mengeluarkan pendapat (aku yakin tiap orang mempunyai pemikiran yang berbeda atau setidaknya sedikit berbeda). Akhirnya diam itu ya bungkam, diam itu ya pembodohan pada diri sendiri. Seperti Kartika yang setelah dua tahun baru bisa minggat dan mengadu ke KJRI-Hong Kong.

Doktrin: Jadi TKW itu Gampang dan Banyak Duit

Ketika aku pulang cuti bulan lalu, tetangga-tetangga pada ribut tentang seberapa banyak uang yang aku dapat. Menurut mereka jadi TKW itu sudah gampang, enak, banyak duit lagi! Ibaratnya dihitung pakai kalkulator saja sampai enggak cukup digitnya. (Duit moyang lo!)

Doktrin seperti ini (heran deh banyak banget doktrinnya) membuat aku gerah juga. Apakah sulit membayangkan dua tahun pertamaku di Hong Kong? Saat itu ibaratnya saat aku babat tanah leluhur sebelum mendapatkan kepercayaan dari bos. Atau tahukah mereka bagaimana perasaanku saat majikan memaki-maki aku dengan alasan yang tidak kumengerti? Atau bagaimana aku harus berjumpalitan mengatur waktu belanja, bersih-bersih rumah, memasak, momong anak, jualan online dan nyolong waktu buat ngeblog? Hong Kong itu keras, hanya mereka yang bekerja keras dan bisa memanage waktu saja yang bisa bertahan. Tak pernahkah mereka berpikiran tentang itu?

Tapi kemungkinan juga doktrin bahwa jadi TKW itu gampang dan banyak duit itu juga yang tertanam di otak kami ketika kami memutuskan untuk mengadu nasib di luar negeri. Juga seperti Kartika, yang tak cukup dengan tujuh tahun di Singapura itu. Atau seperti saya, yang tak cukup dengan 8 tahun di Hong Kong ini.

Perlindungan Separuh Hati

Pemalsuan dokumen yang dilakukan oleh PJTKI sudah bukan rahasia lagi. Kendati demikian, belum ada itikad baik dari pemerintah untuk menata dan memperbaiki sistemnya sekaligus memperketat peraturan dan pengawalan terhadap PJTKI. Alih-alih melakukan itu, pemerintah malah memaksa TKW/TKI untuk membuat kartu KTKLN yang katanya sebagai alat untuk mempermudah dokumentasi. Bahkan pemerintah juga mengancam TKW/TKI untuk tidak bisa kembali ke negara tujuan bekerja tanpa mempunyai kartu KTKLN tersebut (padahal pembuatan kartu itu membutuhkan waktu dan biaya yang tidak sedikit).

Tindakan pemerintah semacam ini (memaksa & mengancam) tak beda halnya dengan majikan Kartika. Kalau Kartika berhasil melarikan diri dari majikannya kemudian melapor ke KJRI, memeriksakan diri ke dokter sekaligus melaporkan ihwal penyiksaan terhadap dirinya ke polisi. Yang kemudian ditindaklanjuti dengan tiga sidang yang digelar di lantai 7/F District Court, Wanchai Law Court, Wanchai tower, maka kepada siapa TKI/TKW akan melarikan diri ketika negara tak becus melindungi?

Dengan hasil dari sidang ketiga, Au dianugrahi 5 tahun 6 bulan penjara sedang Tai mendapatkan ganjaran 3 tahun  tiga bulan penjara, Kartika mungkin sudah mengikhlaskan putusan hakim tersebut. Namun selama 2 tahun tiga bulan, Kartika tak sekalipun mendapatkan haknya. Gajinya tak terbayarkan, liburnya tak terbayarkan, cutinya tak terbayarkan. Lalu bagaimana kelanjutannya? Siapa yang akan bertanggung jawab?

Tuntutan Kartika sebesar HK$117,272 (sekitar 175 juta rupiah) tak juga disinggung pada sidang akhir. Padahal uang itu sekiranya dapat menutup hak Kartika (sakit, siksa, trauma-tidak masuk hitungan). Kalaupun pemerintah atau KJRI Hong Kong (yang menjadi kepanjangan tangan dari pemerintah Indonesia) bisa membantu kasus Kartika hingga tuntas, itu akan menjadi prestasi yang sudah sewajarnya (ya wajarlah kalau negara melindungi warganya). Tetapi kalau tidak, sekiranya perlu jawaban atas tanda tanya besar ini: “Apa yang bisa pemerintah/negara berikan kepada warga negaranya yang sedang dalam masalah setelah sekian trilyun berhasil dikeruk melalui remittence?”