Sudah tak siang lagi, tidakpun sore. Matahari yang telah pergi dua jam yang lalu meninggalkan sepi. Sepi yang membuat gemuruh di dada ini semakin memuncak. Sepi yang membuat keakraban seorang ibu dan anak menjadi gumpalan-gumpalan awan yang diam karena angin tak jua datang untuk mengusirnya pergi dari birunya kalbu. Dan itu menyiksakan.
Tak lepas-lepasnya mata tua yang telah lelah itu menatap jalan-jalan kosong. Matanya lurus memandang sedang ku tahu hatinya disini, disampingku. Mencoba memahamiku dan gagal. Mencoba membujukku dan sia-sia. Mata itu seolah takut memandangku, memandangku yang berarti menengok bayangan di masa mudanya.
Dia mendesah panjang, menutup tirai jendela yang kemudian menjadi penghalang mataku untuk melihat keluar secara jelas. Melangkah gontai menghampiriku seolah seribu beban di kakinya . Yang kulihat bukan beban di kakinya tapi di hatinya. “Ibu, maafkan Nimas,”kataku. Bibirku menganga tapi tak ada sepatah katapun yang terlepas. Kututup kembali bibirku dan aku siap menunggu.
“Haruskah ini turun-temurun ?” tanyanya pilu. Guratan-guratan kecil di dahinya mendadak menebal. Matanya menyipit menahan airmata yang sejak tadi memenuhinya. Dan lagi, dia meninggalkanku. Seolah membiarkan jarak tak menguak kegelisahan hatinya. Berjalan membelakangiku menyembunyikan wajahnya dari hadapanku.Selangkah sebelum dia sampai di depan tirai itu, setetes dua tetes airmata jatuh, aku tahu aku tahu…
“Ibu maafkan Nimas,” kataku dengan segenap keberanian yang terkumpul. “Nimas sudah memikirkannya bu. Nimas sadar akan segala resikonya. Toh mbak Ayu juga mengijinkannya. Bu, kalau ini ibu anggap dosa, biarlah Nimas menanggungnya. Kalau ini ibu anggap aib, maafkan Nimas. Tapi tolonglah jangan sekali-kali ibu anggap semua ini adalah turun-temurun. Ini cinta bu, hati yang bicara. Nimas mencintainya dan Nimas yakin dialah jodoh Nimas bu.”
Masih dengan pandangan yang sama, ibu menatapku. Sekali lagi mencoba memahamiku dan gagal. Berdiri lemas seolah tanpa daya menghadapi kemelut di dalam dirinya. Jarak yang ada di antara Ibu dan aku bukan sekedar sepuluh langkah saja, tapi sepuluh kali kerinduan akan kelembutan , pengertian dan kasih sayangnya. Tersadar bahwa aku butuh kedekatan itu, beranjak ku menujunya. Kuraih tangan tuanya dan dalam hitungan detik tangan tua itu telah basah. Tangisku pecah.
Dia yang mengajariku untuk tabah dan sabar, dia yang selalu sukses menyembunyikan duka, jugapun menangis. Saat itulah aku merasakan kedekatan yang sempat hilang. Saat itulah aku merasakan betapa jarak yang tadi ada seolah sirna di telan ombak airmata kami. Indah, nyaman.
“Lihatlah kamu,”katanya masih dengan airmata yang berlinang.
“Lihatlah ibu,”katanya lagi.
“Tidak cukupkah kamu melihat antara penderitaan dan cinta yang ibu alami sebagai contohmu?” Kurasakan getar suaranya sewaktu dia bertanya, seolah dia sendiri tak mempercayai apa yang telah di ucapkannya.
“Ibu, apakah ibu mencintai ayah ?” tanyaku takut.
“Ya pasti.”
“Apakah ayah mencintai ibu?”
“Tidak di ragukan lagi kaupun tau itu.”
“Dan Nimas pun sama bu. Nimas mencintai mas Panji, mas Panji mencintai Nimas,” kataku mantap tanpa keraguan sedikitpun.
“Tapi Nimas,…”
“Ibu, Nimas mohon izinkan Nimas restui Nimas bu, mengertilah ini bu.”
“Nimas, akankah kau kuat menerima gunjingan itu nak, akankah kau sanggup menghadapi cercaan sebegitu banyak orang ?”
“Nimas yakin pasti bisa bu.”
“Lihatlah ibu. Di mata orang istri kedua itu hina, istri kedua itu pengganggu dan pengacau kebahagiaan istri pertama. Tidak cukupkah ibu sebagai contohmu ? Lupakah kau sewaktu kau pulang sekolah dulu, menangis dan meraung hanya karena mendengar omongan orang tentang ibu ?”
“Nimas sadar, Nimas ingat bu.”
“Nimas, haruskah ini tur…….”
“Ibuu.. !!,” kataku dengan nada yang agak keras menampik kata-kata yang bakal keluar dari mulutnya, membuat ibu seketika menghentikan kata-katanya, terdiam. Saat itu juga aku menyesal telah memanggilnya dengan nada yang keras. Tapi aku tak mau kata-kata itu keluar lagi dari mulutnya, aku tak mau dia menyakiti hatiku dan hatinya dengan kata-kata itu. Aku menatapnya dengan tajam tapi mesra dan terakhir menjawabnya dengan sepenuh keyakinan dan kepercayaan diriku.
“Ibu, Nimas yakin kalau mas Panji itu jodoh Nimas. Nimas percaya kalau mas Panji mencintai Nimas sebesar Nimas mencintainya.”
Kulihat mata yang penuh kekhawatiran itu, mata yang selama ini mampu membuatku merasa teduh dan nyaman, tak berkedip memandangku. Menelanjangi di setiap kata-kataku, sebelum akhirnya menguliti keraguan yang dimilikinya. Berhasilkah dia? Entahlah.
Yang jelas, doa restupun terlempar padaku. Kemenangankukah ini? Mungkin. Semoga ibu mengucapkannya dengan kesadaran bukan keterpaksaan. Dan sudahlah, aku tak hendak berpikir lagi.
0 comments :
Posting Komentar
Matur suwun wis gelem melu umuk...