Aku melihat dia, masih dengan langkah yang sama. Dia tegap dan berwibawa. Dia gagah dan berkharisma. Tapi dia bukan idola. Malahan banyak anak-anak yang menjuluki dia sebagai “The Killer”. Akupun ga habis pikir, padahal ga sekalipun dia membunuh seseorang. Mau tau kenapa? Sepele saja. Hanya karena kegalakan dan kedisiplinan yang ditunjukkan ke anak-anak yang kemudian membuatnya memperoleh gelar itu. Dasar anak-anak!
Misgiyanto namanya, guru paruh baya yang mengajar matematika di sekolahan kami. Dia dingin dan terlihat angkuh. Di wajahnya tak pernah kutemukan senyum. Guratan-guratan selalu terpasang di keningnya, membuatnya terlihat lebih tua dari usia sebenarnya. Kutafsir umurnya 45 tahun. Ga terlalu tua khan?
Melihat dia hatiku bergetar, ketakutan membuatku mempercepat langkahku. Tadinya hanya berjalan cepat, kini akupun sudah berlari. Mengejarnya ? Bukan !! Aku mengejar ketertinggalanku. Ini sudah jam tujuh lebih satu menit, yang berarti semenit yang lalu bel sekolah sudah berteriak. Koridor_koridor hampir sepi. Semua calon pemikir dan pembangun bangsa tergesa masuk kelasnya masing-masing.
“Alamak mati aku !”teriakku dalam hati. The killer berada satu langkah di depanku. Kegugupanku makin kentara. Dan… mak guabruukkk!! Aku terjatuh persis di bawah kakinya. “ Sialan!” gerutuku masih dalam hati juga.
“Maaf pak, saya terlambat,”kataku masih dengan posisi tengkurap dan kepala sedikit mendongak. Dia hanya menoleh dan kemudian berlalu tanpa memperdulikan aku sedikitpun.
Ya Tuhan, aku sakit hati diperlakukan seperti itu olehnya. Tidakkah terpikir olehnya untuk sekedar menungguku berdiri barang semenit dan mengucap sepatah kata menanyakan keadaan ku? Sudah matikah perasaannya terhadap penderitaan orang lain ? Hmm keterlaluan!
Kumelihat banyak anak-anak tersenyum lewat jendela kaca kelas mereka dan bahkan ada yang tertawa melihat penderitaanku ini. Ah sama saja, mereka tak lebih baik dari pada the killer.
Kukumpulkan tenagaku, dan bergegas berlalu dari tempat sialan itu. Sekali lagi aku harus berlari, the killer sudah masuk ke kelasku. Akankah dia mengijinkanku mengikuti pelajarannya? Ataukah akan mengusirku serta-merta? Lalu bagaimana dengan rencana ulangan hari ini?
Ya Tuhan, lunakkanlah hatinya, doaku sendiri.
“Maaf pak, boleh saya masuk?” tanyaku dengan segenap keberanian yang berhasil kukumpulkan. Dia memandangku, sesaat saja. Sekilas aku lihat ada sebenang senyum, sesaat saja, hanya seper sekian detik sebelum kemudian dia berpaling ke anak-anak. Tak salahkah penglihatanku tadi? Sebenang senyumnya telah membuatku melupakan perlakuan buruknya tadi. Keberanianku bangkit, harapanku untuk mengikuti pelajaran dan ulanganpun demikian menggebu.
“Maaf pak, boleh saya masuk?” tanyaku lagi lebih mantap dan penuh dengan kepercayaan diri. Tapi dia diam, tidakpun menoleh kepadaku.
“Kumpulkan buku catatan dan buku pelajaran kalian, dan keluarkan selembar kertas untuk ulangan. Sekarang!” perintahnya yang segera diikuti oleh kesibukan seisi kelas. Hah?? Lalu bagaimana dengan nasibku? Mana sebenang senyumnya tadi?
“Maaf pak boleh saya masuk dan mengikuti ulangan?” tanyaku lagi. Kali ini keberanianku mulai mengendur, keringat dinginpun mulai berjatuhan dari ujung-ujung jariku. Mataku menatap sesosok angkuh dihadapanku, mencoba mencari keikhlasannya.
“Kamu duduk,”katanya dengan tanpa menoleh kearahku.
“Terima kasih pak,”jawabku.
Sekali lagi kumelihat sebenang senyum itu, sesaat saja, hanya seper-sekian detik saja. Itupun sudah cukup untuk menyemangatiku. Ya Tuhan terima kasih. Sebenang senyumnya telah memudahkanku dalam meggarap semua soal-soal ulangan yang diberikannya. Rumus-rumus yang semalam aku hafal dalam keremangan lampu minyak tanah seakan terlihat dengan jelas di depan mataku. Selanjutnya sebenang senyumnya membuatku mencintai matematika, mencintai kedisiplinannya, mencintai keangkuhannya…. Mencoba memahami segala alasan yang mungkin ada di balik sikap-sikap angkuhnya. Sebenang senyumnya adalah sebuah bukti bahwa dia masih peduli. Dan mungkin juga dia mencintai… Aku harap, banyak yang melihat sebenang senyumnya tadi.
Cerpen adalah nyata kubuat untuk Bapak Misgiyanto yang berada di SMAN 1 Blora. Mungkin beliau telah lupa akan kejadian ini, namun aku akan selalu mengenangnya.
0 comments :
Posting Komentar
Matur suwun wis gelem melu umuk...