DEMO DUA KALI
“Cece, kamu ngapain pakai baju seperti itu? We are going to have a demonstration!” teriak dhai-dhaiku yang cina kelahiran Kanada itu.
“Yess mam, go demonstration!” jawabku tegas.
“Mana ada orang demonstrasi pakai baju seperti itu?” tanyanya dengan nada meninggi yang lebih mirip sebuah keterkejutan dengan penampilanku.
Kuperhatikan apa yang menempel pada tubuhku. Rasanya tidak ada yang aneh, pikirku. Aku memakai kaos hitam bergambar metal, celana jeans yang terlihat robek disana-sini, juga blangkon warna coklat yang bertengger manis di atas kepalaku.
“Hari ini adalah tanggal 1 Mei, lalu apa yang salah akan penampilan saya hari ini? Bukankah kalo orang mau demonstrasi itu berpakaian seperti ini?” kataku berargumen.
“We are going demonstration, right?” tanyaku memastikan.
“Aku ajak kamu untuk demo masak, bukan demo di jalanan itu,” kata dhai-dhaiku.
“Bukan yau hang?” tanyaku kaget. Hampir saja blangkonku terloncat dari kepalaku.
“Bukan, bukaan! Demo masak,” jawab dhai-dhai singkat dan jelas.
“Shi fan? Jadi bukan yau hang?” tanyaku lagi.
“Iya shi fan bukan yau hang,” jawab dhai-dhai lagi.
Kawan, jawaban itu tentunya bukanlah jawaban yang aku harapkan. Kerongkonganku mendadak kering, aku tak lagi merasakan setetes air ludahpun yang berada disana untuk melumaskan jalur makananku itu. Kegembiraan yang tadi meluap-luap kini hangus, sudah terbakar dan menjadi debu jugapun hampir beterbangan.
“Iya shi fan, demo masak gitu. Kami mau kamu nunjukin pada mereka bahwa kamu pinter masak nasi goreng ala Indonesia itu. Demonstrasi masak gitu,” tambah Sang sing sang.
“Nasi goreng di tanggal 1 Mei?” tanyaku dengan dahi berkerut dan suara pilu.
“Iya. Lha kamu pikir kenapa kemarin kami suruh kamu belanja banyak banget gitu?” dhai-dhai menegaskan.
“But, tapi ini khan tanggal 1 Mei, Dhai-dhai. Makanan bobo juga sudah saya siapkan. Ini Mayday, Dhai-dhai,” kataku setengah berteriak.
“Lho lha kemarin khan aku bilang sama kamu kalau hari ini kita ada acara, dan kamu kemarin bilang oke, khan?” kata dhai-dhai membela diri.
“Iya. Lha kemarin Dhai-dhai bilang kalau kita akan demonstrasi. On first of May, we go demonstration. Like that, right?”
“Iya. Tapi yang aku maksudkan bukan demonstrasi jalanan itu. Demo masak, shi fan, gitu lho!”
“Saya pikir yang Dhai-dhai maksud adalah demonstrasi yang di jalanan itu, yau hang itu,” jawabku lemas.
Mataku berkedut-kedut. Mendadak cairan panas memenuhinya. Airmataku tentu saja mengalir dengan segera, ndlewer di kedua belah pipiku. Aku tak lagi memperdulikan reaksi singsang dhai-dhaiku yang seketika terkejut melihat jatuhnya airmataku. Kubiarkan airmata itu berjuntaian, sedangkan kedua bosku itu menatapku takjub sekaligus takut.
Aku membayangkan sekarang teman-temanku pasti sedang berkumpul di Victoria Park. Dengan seragam hijau dan hitam dan panji-panji yang diangkat tinggi-tinggi. Meneriakkan tuntutan bersama ratusan atau bahkan ribuan buruh lainnya. Betapa aku ingin menjadi bagian dari mereka. Dan sekarang aku harus terkurung disini dengan wajan dan panci yang siap menanti? Oalah…
“Cece, are you Ok?’ tanya dhai-dhaiku cemas.
“What? OK? Dasar Ciken alias cina kentir! Lha wong hari buruh sedunia kok tega-teganya aku disuruh mbabu,” gerutuku dalam hati.
“No!” jawabku pendek menyentak, hampir-hampir aku sendiri terpental kaget oleh satu kataku itu.
Aku lihat dhai-dhai berwajah takut, kemudian sing sang mengamit lengannya dan mengajak berbincang agak menjauh dariku.
Air mataku masih mengalir. Kudengar sayup-sayup Atun, babu sebelah, mengucap kata “bye-bye” kepada anak asuhnya. Oh dia kini bebas, batinku. Dan semakin deras saja airmataku menganak sungai. Oalah nasib, nasib… Haruskah aku mbabu di hari buruh sedunia ini?
“Cece, sorry a. Kami tahu kalau ini adalah hari buruh sedunia. Tapi kami pikir kita sudah membuatnya jelas tentang ini. Kami pikir kamu setuju untuk demo masak siang ini,” kata sing sang.
“Cece, emkoi lei a. Kami sudah undang beberapa saudara untuk datang dan menikmati nasi goreng buatanmu,” tambah dhai-dhai. Suaranya terdengar memohon sekali.
“Mayday Dhai-dhai,” kataku masih terisak.
Kuusap ingusku yang juga turut berpartisipasi dalam kesedihanku. Kerah kaos hitamku menjadi basah dan agak berlendir oleh ingusku.
Kutatap wajah kedua bosku. Di matanya terlihat kata maaf yang amat mendalam juga kecewa yang teramat sangat. Pemandangan itu seketika menghentikan aktifitas sedihku. Menjadikannya gumpalan-gumpalan simpati sesaat.
“Ah rupanya salah pengertian. Seandainya dari semula sudah jelas demonstrasi macam apa yang akan dilakukan, tentu tidak begini jadinya. Kamu bisa menolak untuk demo masak dan kami bisa mengundurnya di lain hari,” kata sing sang bersintesa.
Dalam hati aku mengiyakan, memang benar kata sing sang. Sendainya dijelaskan sejelas-jelasnya dari awal tentu tidak begini jadinya.
“Tim a?” tanya dhai-dhai menggantung. Matanya ada diantara aku dan sing sang.
Oh, rupanya bosku masih punya hati, pikirku.
“OO!!” teriak sing sang seketika. Kata “O” nya menyentak telinga mengagetkan aku dan dhai-dhai.
“Apa?” tanya dhai-dhai.
“Bagaimana kalau kamu libur setengah hari saja, sekarang kamu podhong, nyiapin masakan trus jam 11:30 nanti masak trus setelah masak selesai kamu cepat-cepat libur, gimana? Nanti kami yang beres-beres dapur dan cuci piringnya. Gimana?”
“Saran yang bagus! Tim a, Cece?” tanya dhai-dhai .
Boleh juga saran itu, masih mending libur setengah hari dari pada nggak libur sama sekali, pikirku.
“Howak,” jawabku menyetujui.
Pemandangan bertemu dengan teman-temanku dan melakukan tuntutan tergambar lagi. Kali ini bukan dengan kesedihan tapi dengan kebahagiaan hatiku, aku akan berada di antara mereka.
Dan benar saja kawan, jam 1 setelah demo masakku selesai, aku segera meluncur ke Victoria Park. Di sana kutemukan teman-temanku masih melakukan tuntutannya.
“Lha kok kamu telat? Di telpon berkali-kali juga ga diangkat?” tanya Samiatun.
“Maaf, tadi aku lagi demo masak,” jawabku. Kujelaskan secara ringkas tentang demo lain yang kujalankan siang tadi, dan mereka manggut-manggut tanda mengerti.
“Jadi aku demo dua kali hari ini,” kataku pula.
“Oalah…buruan kesini, gantiin aku bawa tulisan ini, tanganku sudah pegel neh!” kata Paijah.
“Howak, howak,” jawabku semangat.
“Ka yankung, ka yankung, ka yankung!” teriak teman-temanku.
“Ka yankung, ka lokong, ka kangkung!!” teriakku.
“Semprul tenan kowe iki!” teriak teman-temanku padaku.
“Nek niat demo kuwi sing nggenah yel-yelannya!” bentak Ipung ketua organisasiku.
“Ka yankung, ka lokong, ka kangkung!” teriakku lagi.
“Ineeeeeeeeeeeeeeemmmmmmmmmmmmmm………………………….!!!!!!!
Keterangan:
Singsang/dhai-dhai: Tuan/Nyonya
Cece: kakak(sebutan umum)
Yau hang: demonstrasi
Shi fan: demo masak
Bobo: nenek
Emkoi lei: tolonglah
Tim a: bagaimana
Podhong: masak sup selama 2-3 jam
Howak: baiklah
Ka yankung, ka lokong, kangkung: naikkan/tambah gaji, tambah suami, tambah kangkung.
“Cece, kamu ngapain pakai baju seperti itu? We are going to have a demonstration!” teriak dhai-dhaiku yang cina kelahiran Kanada itu.
“Yess mam, go demonstration!” jawabku tegas.
“Mana ada orang demonstrasi pakai baju seperti itu?” tanyanya dengan nada meninggi yang lebih mirip sebuah keterkejutan dengan penampilanku.
Kuperhatikan apa yang menempel pada tubuhku. Rasanya tidak ada yang aneh, pikirku. Aku memakai kaos hitam bergambar metal, celana jeans yang terlihat robek disana-sini, juga blangkon warna coklat yang bertengger manis di atas kepalaku.
“Hari ini adalah tanggal 1 Mei, lalu apa yang salah akan penampilan saya hari ini? Bukankah kalo orang mau demonstrasi itu berpakaian seperti ini?” kataku berargumen.
“We are going demonstration, right?” tanyaku memastikan.
“Aku ajak kamu untuk demo masak, bukan demo di jalanan itu,” kata dhai-dhaiku.
“Bukan yau hang?” tanyaku kaget. Hampir saja blangkonku terloncat dari kepalaku.
“Bukan, bukaan! Demo masak,” jawab dhai-dhai singkat dan jelas.
“Shi fan? Jadi bukan yau hang?” tanyaku lagi.
“Iya shi fan bukan yau hang,” jawab dhai-dhai lagi.
Kawan, jawaban itu tentunya bukanlah jawaban yang aku harapkan. Kerongkonganku mendadak kering, aku tak lagi merasakan setetes air ludahpun yang berada disana untuk melumaskan jalur makananku itu. Kegembiraan yang tadi meluap-luap kini hangus, sudah terbakar dan menjadi debu jugapun hampir beterbangan.
“Iya shi fan, demo masak gitu. Kami mau kamu nunjukin pada mereka bahwa kamu pinter masak nasi goreng ala Indonesia itu. Demonstrasi masak gitu,” tambah Sang sing sang.
“Nasi goreng di tanggal 1 Mei?” tanyaku dengan dahi berkerut dan suara pilu.
“Iya. Lha kamu pikir kenapa kemarin kami suruh kamu belanja banyak banget gitu?” dhai-dhai menegaskan.
“But, tapi ini khan tanggal 1 Mei, Dhai-dhai. Makanan bobo juga sudah saya siapkan. Ini Mayday, Dhai-dhai,” kataku setengah berteriak.
“Lho lha kemarin khan aku bilang sama kamu kalau hari ini kita ada acara, dan kamu kemarin bilang oke, khan?” kata dhai-dhai membela diri.
“Iya. Lha kemarin Dhai-dhai bilang kalau kita akan demonstrasi. On first of May, we go demonstration. Like that, right?”
“Iya. Tapi yang aku maksudkan bukan demonstrasi jalanan itu. Demo masak, shi fan, gitu lho!”
“Saya pikir yang Dhai-dhai maksud adalah demonstrasi yang di jalanan itu, yau hang itu,” jawabku lemas.
Mataku berkedut-kedut. Mendadak cairan panas memenuhinya. Airmataku tentu saja mengalir dengan segera, ndlewer di kedua belah pipiku. Aku tak lagi memperdulikan reaksi singsang dhai-dhaiku yang seketika terkejut melihat jatuhnya airmataku. Kubiarkan airmata itu berjuntaian, sedangkan kedua bosku itu menatapku takjub sekaligus takut.
Aku membayangkan sekarang teman-temanku pasti sedang berkumpul di Victoria Park. Dengan seragam hijau dan hitam dan panji-panji yang diangkat tinggi-tinggi. Meneriakkan tuntutan bersama ratusan atau bahkan ribuan buruh lainnya. Betapa aku ingin menjadi bagian dari mereka. Dan sekarang aku harus terkurung disini dengan wajan dan panci yang siap menanti? Oalah…
“Cece, are you Ok?’ tanya dhai-dhaiku cemas.
“What? OK? Dasar Ciken alias cina kentir! Lha wong hari buruh sedunia kok tega-teganya aku disuruh mbabu,” gerutuku dalam hati.
“No!” jawabku pendek menyentak, hampir-hampir aku sendiri terpental kaget oleh satu kataku itu.
Aku lihat dhai-dhai berwajah takut, kemudian sing sang mengamit lengannya dan mengajak berbincang agak menjauh dariku.
Air mataku masih mengalir. Kudengar sayup-sayup Atun, babu sebelah, mengucap kata “bye-bye” kepada anak asuhnya. Oh dia kini bebas, batinku. Dan semakin deras saja airmataku menganak sungai. Oalah nasib, nasib… Haruskah aku mbabu di hari buruh sedunia ini?
“Cece, sorry a. Kami tahu kalau ini adalah hari buruh sedunia. Tapi kami pikir kita sudah membuatnya jelas tentang ini. Kami pikir kamu setuju untuk demo masak siang ini,” kata sing sang.
“Cece, emkoi lei a. Kami sudah undang beberapa saudara untuk datang dan menikmati nasi goreng buatanmu,” tambah dhai-dhai. Suaranya terdengar memohon sekali.
“Mayday Dhai-dhai,” kataku masih terisak.
Kuusap ingusku yang juga turut berpartisipasi dalam kesedihanku. Kerah kaos hitamku menjadi basah dan agak berlendir oleh ingusku.
Kutatap wajah kedua bosku. Di matanya terlihat kata maaf yang amat mendalam juga kecewa yang teramat sangat. Pemandangan itu seketika menghentikan aktifitas sedihku. Menjadikannya gumpalan-gumpalan simpati sesaat.
“Ah rupanya salah pengertian. Seandainya dari semula sudah jelas demonstrasi macam apa yang akan dilakukan, tentu tidak begini jadinya. Kamu bisa menolak untuk demo masak dan kami bisa mengundurnya di lain hari,” kata sing sang bersintesa.
Dalam hati aku mengiyakan, memang benar kata sing sang. Sendainya dijelaskan sejelas-jelasnya dari awal tentu tidak begini jadinya.
“Tim a?” tanya dhai-dhai menggantung. Matanya ada diantara aku dan sing sang.
Oh, rupanya bosku masih punya hati, pikirku.
“OO!!” teriak sing sang seketika. Kata “O” nya menyentak telinga mengagetkan aku dan dhai-dhai.
“Apa?” tanya dhai-dhai.
“Bagaimana kalau kamu libur setengah hari saja, sekarang kamu podhong, nyiapin masakan trus jam 11:30 nanti masak trus setelah masak selesai kamu cepat-cepat libur, gimana? Nanti kami yang beres-beres dapur dan cuci piringnya. Gimana?”
“Saran yang bagus! Tim a, Cece?” tanya dhai-dhai .
Boleh juga saran itu, masih mending libur setengah hari dari pada nggak libur sama sekali, pikirku.
“Howak,” jawabku menyetujui.
Pemandangan bertemu dengan teman-temanku dan melakukan tuntutan tergambar lagi. Kali ini bukan dengan kesedihan tapi dengan kebahagiaan hatiku, aku akan berada di antara mereka.
Dan benar saja kawan, jam 1 setelah demo masakku selesai, aku segera meluncur ke Victoria Park. Di sana kutemukan teman-temanku masih melakukan tuntutannya.
“Lha kok kamu telat? Di telpon berkali-kali juga ga diangkat?” tanya Samiatun.
“Maaf, tadi aku lagi demo masak,” jawabku. Kujelaskan secara ringkas tentang demo lain yang kujalankan siang tadi, dan mereka manggut-manggut tanda mengerti.
“Jadi aku demo dua kali hari ini,” kataku pula.
“Oalah…buruan kesini, gantiin aku bawa tulisan ini, tanganku sudah pegel neh!” kata Paijah.
“Howak, howak,” jawabku semangat.
“Ka yankung, ka yankung, ka yankung!” teriak teman-temanku.
“Ka yankung, ka lokong, ka kangkung!!” teriakku.
“Semprul tenan kowe iki!” teriak teman-temanku padaku.
“Nek niat demo kuwi sing nggenah yel-yelannya!” bentak Ipung ketua organisasiku.
“Ka yankung, ka lokong, ka kangkung!” teriakku lagi.
“Ineeeeeeeeeeeeeeemmmmmmmmmmmmmm………………………….!!!!!!!
Keterangan:
Singsang/dhai-dhai: Tuan/Nyonya
Cece: kakak(sebutan umum)
Yau hang: demonstrasi
Shi fan: demo masak
Bobo: nenek
Emkoi lei: tolonglah
Tim a: bagaimana
Podhong: masak sup selama 2-3 jam
Howak: baiklah
Ka yankung, ka lokong, kangkung: naikkan/tambah gaji, tambah suami, tambah kangkung.