Hidup tak mau, matipun enggan jadi SBY
Pernyataan ini justru keluar dari mulut seorang bocah yang berumur 12 tahun, Hendra, keponakanku. Memang bukan persis seperti apa yang tertulis di judul postingan ini namun intinya sama. Lewat percakapan singkatku dengannya lewat hubungan kawat kemarin kudengar suaranya yang lugu, polos, unik dan realistis.
Pernyataan ini justru keluar dari mulut seorang bocah yang berumur 12 tahun, Hendra, keponakanku. Memang bukan persis seperti apa yang tertulis di judul postingan ini namun intinya sama. Lewat percakapan singkatku dengannya lewat hubungan kawat kemarin kudengar suaranya yang lugu, polos, unik dan realistis.
Lik,
demikian dia memanggilku, kependekan dari Bulik. Percakapanku
dengannya waktu itu menggunakan bahasa Jawa krama alus. Tetapi mengingat
tidak semua orang bisa berbahasa Jawa krama alus di internet jadi aku
coba untuk mengalihbahasakannya.
“Saya
pengin bekerja Lik, bantuin emak,” kata bocah yang telah ditinggal
minggat oleh bapaknya sejak berumur empat tahun ini kepadaku.
“Kerja apa?” tanyaku.
“Pokok e setelah sekolah SMP trus kerja sembarang Lik, yang penting halal,” jawabnya mantab.
Hanya
ibunya yang buruh tani itulah yang menyangga seluruh kebutuhan hidup
keluarga termasuk biaya sekolahnya. Ekonomi keluarganya yang tidak
memungkinkannya untuk mempunyai pendidikan lebih tinggi lagi dari SMP
tersebut membuatnya sadar sejak dini bahwa dia tidak akan memaksakan
kehendak untuk bersekolah lebih tinggi dan mencapai gelar yang lebih
keren dari sekedar jebolan SMP. Kenyataan yang sama persis sepertiku
puluhan tahun silam.
“Gak pengin jadi guru atau dokter ya?” tanyaku berbasa-basi.
“Enggak Lik, jadi presiden aja saya enggan, ntar diomelin banyak orang,” katanya.
“Lha kok bisa?” tanyaku.
“Lha
emak tuh tiap hari kerjaane ngomel mulu. Katanya presiden goblok, ga
mikirin rakyat, gajinya banyak juga masih minta naik. Cabe aja mahal,
minyak mahal, beras mahal, apa-apa mahal. Bayangkan, emak tiap hari
ngomel gitu-gitu terus” jawabnya.
"Makanya saya ga mau Lik kalo suruh jadi presiden seperti yang sekarang ini," tambahnya pula.
“Ooh…gitu,” kataku yang mendengarkannya sambil tersenyum-senyum.
repost dari Multiply