Sukebo |
I've never been so kebo but today...
Katakanlah hari ini, eh, tiga setengah jam yang lalu adalah perjuangan melawan ragu, perjuangan melawan bego dan perjuangan melawan kebo yang aku lakukan.Untuk kebo (atau yang merasa kebo) aku mohon maaf. Bukan bermaksud menstratakebokan kebo tapi memang sudah nasib kebo untuk dimasukkan dalam golongan makhluk hidup yang dungu. Yah... meski dungu-dungu gitu si kebo tidak pernah makan selain suket dan jerami juga dedak campur bekatul dan sedikit garam, enggak seperti manusia sukebo sepertiku yang pinternya enggak nyampek-nyampek, bodohnya never ending tapi omnivora banget. Apalagi kalau melihat penyet ayam campur lalapan kemangi, kol dan timun, serbuuuuuuu....! Noh tuh!
Awalnya sebulan yang lalu, ketika pengumuman training design grafis yang diadakan oleh Dompet Dhuafa-Hong Kong (DD-HK) yang melibatkan Kang Sam sebagai anunya. Ya itulah, yang ngajarin gitu.
Lalu aku ikut.
Sebenarnya software coreldraw X5 dan PS CS3 sudah nangkring di Dell Lattitude D610 sejak enggak tahu tahun berapa. Software-nya pun aku peroleh dari hasil kerja sama dengan penyelundup software bajakan di Hong Kong yang harganya cuma enam puluh rebon atau seharga dua porsi bakso di Hong Kong (padahal harga aslinya bisa jutaan ya...). Dulu itu juga dalam rangka nyari duit ceperan, untuk diinstall ulang ke notebook pesenan temen-temen. Katakanlah itu proses kreatif atau proses penjahatif atau apa, terserahlah. Aku tahu kalau membajak (yang enggak pakek kebo atau sapi) itu tidak baik makanya aku ulangi lagi, siapa tahu hasil bajakanku kali ini lebih baik. Ha?
Aku selalu mempunyai pikiran bahwa I am good at nothing, terutama dalam hal gambar-menggambar. Guru TK-ku pernah membelejetiku di depan kelas dengan pernyataan yang aku ingat di sepanjang hidupku, pernyataan yang entah mengapa membuatku dead stuck mempercayainya, hingga kini.
"TK besar wis tuwek dhewe, tapi nggambare pinter sing nol kecil," kata guru TK itu.
Waktu itu aku menggambar dua orang anak yang sedang memancing. Gambar itu seperti penthol korek api dengan segitiga sebagai roknya dan dua ranting sebagai tangan dan dua ranting lagi sebagai kaki. Bagiku dan menurutku saat itu, itu adalah masterpieceku, tapi tidak bagi bu Titik, guru TK Tunas Rimba 2 di desaku.
Waktu itu aku tak menangis, tapi sejak saat itu aku membenci pelajaran menggambar.
setelah 30 tahun baru bisa nggambar seperti ini |
Nah lalu kenapa ceritaku jadi dleweran kemana-mana ya?
Ya maksudku begini, khan semuanya ada korelasinya, ya khan? Atau anggep aja gitulah....
Trus
Kepala sudah terdoktrin begitu, sehingga sewaktu training design grafis yang aku ikuti tadi berlangsung, yang ada di otakku adalah "aku enggak bakal bisa". Dan itulah yang terjadi. Doktrin itu seperti doa yang adalah petaka bagi diriku sendiri. Sewaktu Kang Sam bertanya: "Gimana Rie? Bisa nggak?"
Lalu jawabanku sudah pasti adalah "enggak".
emak |
Lalu adalah pak bos, yang tiba-tiba bertanya tentang liburku yang membuatku seperti diingatkan bahwa aku sudah melupakan om Gugel.
"I wonder, how can you be so forgetful with google," kata beliau ketika menanyai liburku yang kujawab dengan garuk-garuk kepala.
O iya ya.
Okelah aku enggak suka menggambar, mengedit gambar harus pula tak sukakah? Lhah khan aku suka moto?
Kang Sam, beliau luar biasa sabarnya, cuma aku tadi lebih luar biasa lagi kebonya. Ingatanku mengambang.
Dari jam 8 malam aku browsing dan mempraktekkan tehnik dasar PS, mencoba mengalihkan doktrin "aku enggak bakal bisa" dan menggantinya dengan "dicoba dulu". Lalu ketika resultnya "aku bisa" sepertinya doktrin "aku enggak bakal bisa" berkurang prosentasenya.
Lalu?
Mengapa mengunderestimate kemampuan sendiri? Mengapa tidak memanfaatkan om Gugel dan orang-orang yang telah berbaik hati berbagi ilmunya di net? Mengapa terlalu mempercayai penilaian orang lain pada diri? Mengapa malas mencoba dan membiarkan diri berada di titik 0,5 meter sedang orang lain sudah bermil-mil meninggalkanmu? Mengapa? Mengapa? Mengapa wahai Rie Rie Sukebooooo...??!!