Foto di toilet setelah rambut dibabat. |
"Mau lurusin ya, Mbak?" tanya mbak yang lagi promosi di depan salon ketika aku menekuni price list di depan salon.
"Potong," jawabku pendek tanpa menoleh.
"Murah kok, Mbak. Potong cuma 78 dolar," katanya dengan sedikit mendorongku masuk ke salon itu.
Satu menit setelah itu sang pemilik salon menghampiri sambil membawa jubah, dikenakannya padaku dengan sedikit rayuan.
"Lei yiu tim a, Leng loi (kamu mau apa, cah ayu)?" tanyanya.
"Cin daufat. Canhai cin ka (potong rambut. Cuma potong saja)," jawabku menegaskan.
"Kok yau hou tik kepo. Lei ko daufat tapik kon a, Leng mui (disteam minyak lebih bagus lho. Rambutmu agak kering, cah ayu)," jurus bulus dimulai.
"Enggak ada waktu, enggak cukup uang.Cuma potong rambut boleh nggak?" tanyaku yang lebih tepatnya menegaskan kepentinganku.
"Taaak. Boleh! Sini, duduk sini dulu ya," katanya sambil menggiringku ke pojok salon.
"Hamai 78 man a (78 dolar khan?)" tanyaku.
"Haiya, haiyah. Mo jo (Iya, iya. Gak salah)," jawabnya meyakinkan.
Sepuluh menit aku berada dipojok sambil mendengarkan lagu-lagunya Jangan Asem & Rotra yang lucu menggelitik. Biasanya aku orang yang sabar. Tapi kebiasaan itu tidak berlaku di salon. Aku berdiri lalu mengamit lengan wanita yang adalah supervisor salon itu.
"Cece, kapan giliran saya? Masih lama? Kalau lama saya pindah salon depan aja deh, mumpung belum diapa-apain," kataku.
"Ok, ok, ok. Ini giliranmu kok, yuk naik," katanya menunjukkan jalan ke lantai satu. Kemudian aku disuruh duduk di tempat nyuci rambut (apa tuh namanya?). Dan duduklah aku di sana.
....lima menit, enam menit, delapan menit, sepuluh menit...
"Tak me aaaa (udah belum sih)?" tanyaku lagi pada supervisor yang kebetulan nyliwer di depanku.
"Tak tak tak... (ok, ok, ok)," jawabnya. Dia sendiri yang kemudian mencuci rambutku.
Setelah itu aku kembali digiring ke tempat eksekusi potong rambut.
Wanita-wanita duduk berderet-deret. Di tangan mereka tampak sebuah HP touchscreen dengan merk ternama (entah asli, entah KW). Wanita-wanita yang desperate untuk tampil lebih cantik itu duduk di samping kanan-kiriku, tak sedetik pun menoleh padaku.Wanita-wanita yang aku tahu adalah seprofesi dengan aku, babu kualitas ekspor.
...rebonding, colouring, perming, highligting...
Bau obaat-obatan campur aduk.
"Klik, ceklik, klik, ceklik, klik," suara gunting dan suara kamera beradu.
Asap mengepul dari rambut yang disetrika.
Uap mengepul dari steamer yang sedang mengkondisi rambut (yang katanya) supaya lebih sehat.
"Hihihihi..hehehe...wkwkwkwk," tawa kecil dari mbak-mbak yang melototin HP.
...lima menit, enam menit, sepuluh menit...
"Koko, pingko pong ngo cin daufat a (mas, siapa yang akan memotong rambutku)?" tanyaku pada haidresser sebelah.
"Sabar ya, itu Koko sebentar lagi selesai kok. Hari ini ramai banget sih," katanya.
Ya iyalah. Minggu gitu loh! Semua TKW di Hong Kong rata-rata libur hari Minggu. Dan salon ini berada di jantung Kampung Jawa-nya Hong Kong di ruas jalan Sugar street, Causeway Bay. Coba kalau hari biasa.
....sepuluh menit kemudian....
Cute ya,xixixi... |
Damn it!
"Siong yiu tim a (Ingin gimana)?" tanyanya ramah.
"Cin daufat. Potong rambut. Cuma potong saja, enggak pakek lain-lain. Potong pendek seperti ini," kataku sambil menunjukkan gambar yang aku buat di HP dengan bantuan aplikasi momentcam.
"Tak em tak a (bisa nggak ya)?" tanyaku.
"Bisaaa. Yang penting khan ada rambut," jawabnya sambil ketawa. Aku tertawa.
lho kok jadi gini??? |
mbak-mbak sebelahku |
...klik, klik, klik..kress...
Mbak disebelahku mempunyai rambut panjang yang subur. Dia sedang diwarnai rambutnya, maroon.
Pemilik salon naik lantai satu, mungkin lagi menilik. Hairdresser mbak sebelahku berbisik pada pemilik salon.
"Yatko emkau a (satu saja enggak cukup)," katanya.
"Kaulah. Siong yiu keito cek (Cukuplah, mau segimana sih)!" jawab pemilik salon kemudian keduanya berbisik-bisik lebih lembut lagi, aku hampir tak kedengaran tapi aku tahu inti permasalahan mereka. Bahwa obat rambut yang digunakan untuk mewarnai rambut mbak sebelahku sepertinya kurang tapi pemilik salon bilang cukup atau disuruh nyukup-nyukupin. Bah!
Payahnya dua orang mbak di sebelahku ini enggak bisa berbahasa Kantonis. Yang mbak lagi mewarnai rambut maroon itu komunikasi dengan majikan dalam bahasa Inggris sedang mbak sebelahnya lagi, yang mau nglurusin rambut dan mewarnai itu berkomunikasi dengan majikannya dengan bahasa Mandarin. Olala! Ini aku ketahui dari si mbaknya sendiri yang sedikit ngobrol denganku setelah aku sedikit eyel-eyelan dengan hairdresser.
Setelah pemilik salon turun hairdresser sebelah memasukkan rambut mbak ke dalam mangkok isi obat pewarna, padahal mangkok itu sudah kosong. Aku menyeletuk, "Ih kayaknya kurang deh obatnya."
"Enggaklah. Ini namanya pas. Cuma jangan memboroskan aja, jadi rambutnya aku masukin sini biar semua obat kepakek," jawabnya enteng.
"Tanhai dausin tu o dengto lei dong lei lopan kongye kepo (tapi tadi aku dengar kamu sama bosmu ngomong lho)," kataku.
Spontan wajahnya memerah.
Hairdresser yang lagi memotong rambutku menimpali, "Kalau menurutmu enggak cukup ya protesnya sama bos lo, sama pemilik salon. Lha kamu tadi denger sendiri dia bilang cukup khan?" katanya.
"Waah...kita ngasih segitu banyak uang lho, itu khan persetujuan awal, sesuai price list," kataku.
"Lhah protes sama pemilik salon aja lo," kata hairdresserku.
Lucu. Aneh. Menggeramkan.
Apakah aku nosy? Mungkin.
Lalu ini kasus mbak sebelahnya (yang mau nglurusin dan mewarnai rambut). Lhah di sini aku dimintai jadi penerjemah (karena mbaknya gak bisa ngomong pakek bahasa Kantonis). Rambut si mbak ini banyak dan dulunya dikriting dan diwarnai coklat. Sekarang dian mau ganti mode, mau direbonding plus diwarnai warna lain. Oleh supervisor, si mbak ini disarankan untuk memberi hair lotion plus merapikan rambut (ya dipotong dikitlah) plus diwarnainya pakek warna yang sama. Jadi total pembayaran 699 dolar, ya karena plus di-hair treatment & lotion dan plus potong (padahal di price list-nya cuma 299 dolar untuk mewarnai dan meluruskan dan sebenernya si mbak itu ya cuma mau nglurusin sama mewarnai doang). Sebagai penerjemah, aku menjelaskan kepada mbaknya. Mbaknya mudeng tapi ngedumel dengan harga akhir yang lebih dari dua kali lipat, terlebih tentang warna rambut yang enggak boleh ganti warna lain.
Walhasil menggerutulah dia dengan pemilik salon. Eh saat si mbak menggerutu, mbak yang sebelahnya lagi nyeletuk, "Aku iya a. Tadi di bawah katanya 299 tapi trus katanya tambah ini itu, jadinya ya 699 dolar."
Whaaaatttt???? Buseeetttt! Malpraktek salon nih!
Kasus-kasus di atas sering kali terjadi. Yang menjadi pemicunya adalah misscommunication dan kurang tegasnya kostumer salon. Kendala bahasa ini bisa menyebabkansi mbak tidak mengerti akan apa yang dimaksud dengan hairdresser. Sewaktu hairdresser bilang ini itu maka si mbak mengangguk saja (padahal gak mudeng sepenuhnya). Ya hairdresser sih enak aja karena dengan semakin banyaknya hair treatment semakin banyak pembayaran. Dan sebagai hairdresser yang dinilai mempunyai kemampuan dan pengetahuan tentang rambut, apa yang disarankan olehnya terdengar rasional. Padahal itu adalah cara mereka menambah income. Itu namanya "glembuk Solo".
Pun ketidaktegasan si mbak dalam mengatakan keinginannya sesuai harga price list sering menyebabkan pembengkakan pembayaran. Khan tidak lucu kalau pada akhirnya harus nelpon teman untuk utang duit karena uang di dompet tidak cukup untuk membayar bill.
Di Hong Kong ya seperti itu. TKW adalah sasaran empuk untuk dibujuk.
Enggak mau kena malpraktek salon di Hong Kong? Ya harus tegas sejak awal masuk salon.
Di Indonesia kayak gini juga gak ya?
**percakapan antara aku dan pemilik saloa, supervisor salon dan hairdresser dalam bahasa Kantonis.
**percakapan antara aku dan pemilik saloa, supervisor salon dan hairdresser dalam bahasa Kantonis.