:Untuk kawan-kawanku di Hong Kong
Namanya Safi atau ah... sebenarnya aku tak tahu. Dia cuma mengenalkan diri dengan nama Safi begitu, tanpa aku tahu bagaimana menuliskan namanya dengan baik dan benar. Tapi lucunya dia suka dipanggil Sapi'i oleh kawan-kawannya. Geli juga mendengarnya. Cewek secakep dia, dengan hidung mancung dan bibir tipisnya, mata bulat dan tubuh tinggi semampainya, dipanggil Sapi'i? Ah!
Malam itu kami berbagi meja di sebuah restoran cepat saji di kawasan Hennesy Road di atasnya Mc Donnald, Causeway Bay. Itu tuh tempat mi yang ada mangkoknya yang berdiameter 30 cm dengan menu mie-mienya.
Awalnya aku acuh, melihatnya duduk pun tidak. Aku lebih disibukkan dengan foto-foto demo mahasiswa-mahasiswi Hong Kong yang menuntut demokras yang sebenarnya (pilkada langsung) di Hong Kong (semoga bisa ngeblog tentang itu). Mataku menatap lekat ponsel android murahan dengan headset menancap erat di ke dua belah kupingku. Ketika aku sedikit mendengar suara tapi tak jelas, kulepaskan headset yang menyumpal di kuping kiriku, namun masih kurang jelas juga. Akhirnya kuputuskan untuk mencabut keduanya lalu berkonsentrasi pada makhluk cantik yang mirip artis Korea (bedanya cuman jerawat dia banyak) di depanku itu.
"Sendiri, Mbak?" tanyanya dengan senyum ramah.
"Iya. Kamu juga?" tanyaku.
"Iya. Pada nggak libur," jawabnya.
"Asal mana, Mbak," tanyanya lagi.
Pertanyaan biasa bila bertemu seseorang pertama kalinya adalah: nama, asal, kerja di mana, kerjanya apa saja, bosnya galak apa enggak, sudah berapa lama di HK.
Yang membuatku tertarik adalah bibirnya yang tipis dan bergincu tipis (atau entah warna bibirnya memang pink) yang selalu menyunggingkan senyum ketika berbicara itu. Hei! Itu khan biasanya aku? Biasanya aku yang selalu tersenyum-senyum ketika berbicara, bukan? Dan betapa cantiknya melihat seseorang berbicara dengan tersenyum-senyum begitu.
Lalu aku sibuk membuat kesimpulan-kesimpulanku sendiri. Gadis cantik berambut pirang ini pasti ikutan nge-dance atau fashion show deh, soalnya dia terlihat stylish banget dengan eye liner tipis yang membuat matanya tampak lebih bulat dan dengan kacamata yang digunakan untuk bando itu. Lalu jawabannya membuatku tercengang.
"Dulu iya, dua bulanan. Lalu keluar," jawabnya.
"Kenapa?" buruku.
"Yang ngajarin pulang. Tapi sebelum itu aku juga merasa kurang nyaman. Pengeluaran banyak untuk manggung. Sepatu, kostum. Fashion juga gitu," jawabnya yang kujawab balik dengan "o" saja.
"Sempat pacaran pula, tapi sudah putus lalu sekarang temenan biasa aja sama dia," katanya.
"O baguslah kalau baik-baik. Jangan berantem ya," kataku.
Ok, aku memaklumi, itu adalah privacy dia. Mau pacaran sama siapa kek itu urusan dia. Sudah mau berbagi dengan aku sejauh inipun sudah luar biasa bagiku. Entah mengapa aku seperti punya kekuatan untuk memaksa lawan bicaraku untuk menjawab pertanyaan "mengapa dan bagaimana"-ku. Menjelaskan sesuatu padaku dengan suka cita.
Mungkin karena aku melihat mata lawan bicaraku dan dengan begitu mereka merasa aku bisa dipercaya untuk diceritai sesuatu, atau mungkin pula karena mereka sedang desperate ingin berbagi, entah.
"Suka begini. Bebas. Tak banyak teman, tak tergantung sama satu teman. Bisa ke mana-mana. Hiking, atau apa, enak-bebas," jelasnya.
"Libur tiap Minggu?" tanyaku.
"Iya."
"Nggak tertarik ikut kursus? Komputer, bahasa Inggris, Akuntansi? Banyak yang gratis kok," aku menawarkan.
"Mmm... Pengin menjahit tapi belum tahu di mana," jawabnya.
"Ada di sana, di situ (menyebutkan tempat kursus menjahit). Mau aku antar?" tanyaku.
Namun dia menjawab dengan tersenyum. Mungkin untuk saat ini belum tertarik, mungkin nanti, pikirku. Tiba-tiba aku jadi ingin sharing sesuatu, tiba-tiba aku merasa mempunyai kewajiban untuk menyampaikan sesuatu.
"Ketika kamu sudah setua aku, sudah selama aku tinggal di HK sedang kamu kurang mempunyai ketrampilan, maka kamu akan merasakan penyesalan sepertiku," kataku memulai.
"Tapi aku SMA aja nggak lulus, Mbak. Dulu kelas dua naik ke kelas tiga aku keluar, karena ingin kerja," kata gadis asal Kediri ini membela diri.
"Di sini kursus enggak perlu ijasah apapun. Kursus yang gratisan juga banyak," kataku.
"Aku cuma pengin punya uang, pulang, nikah, punya anak lalu enggak ke mana-mana lagi," kilahnya.
"Amiin," jawabku.
"Aku ditinggal ibuk ke Saudi dan aku tahu benar bagaimana susahnya kurang kasih sayang dari ibuk," katanya.
"Aku nggak pengin ke mana-mana kalau sudah punya anak. Aku mau di sampingnya, aku mau di sisinya, ngerawat dia," matanya menerawang.
"Aamiin," kataku lagi.
Karena sudah sementara waktu ditunggui orang untuk giliran meja makan dan petugas restoran juga telah dua kali datang mengangkut mangkok dan gelas kami, maka kami beranjak.
"Lihat demo yuk," ajakku.
Kami menyusuri Hennesy road ke arah Wanchai lalu balik lagi ke Causeway Bay. Di depan MTR station exit F, Causeway Bay, kami berhenti sejenak sebelum berpisah.
"Mbak, sebenernya aku nggak mudeng dengan demo ini," katanya jujur.
"Aku ini tahu apa ya?" tanyanya, lebih kepada dirinya sendiri.
"Baca. Jangan cuma membaca status cekakakan di FB thok tapi enggak peduli lainnya," kataku.
"Aku suka sesuatu yang ringan, yang enggak usah mikir, yang bisa membuatku rileks. Bukan berita-berita berat begitu," nah gadis kelahiran tahun 1988 ini membela diri lagi.
"Kalau gitu enggak usah tahu sekalian, enggak usah nanya. Nanggung kalau tahunya cuma sedikit, mending nggak usah, hehehe...," kataku.
Lalu kami pun berpisah. Dia terpaksa naik MTR karena tram nya enggak jalan padahal dia bilang paling suka kalau naik tram. Ha! Kebalikan sama aku yang paling benci naik tram. Sedang aku memilih naik minibus.
Entah mengapa, aku merasa sedikit berat meninggalkannya, merasa belum selesai aku menjelaskan sesuatu tapi juga merasa tidak perlu menjelaskan terlalu panjang lebar. Takut kalau-kalau terkesan terlalu menggurui. Dan satu perasaan lain yang membuatku tak selesa adalah: waktu "kepulanganku" (ke tanah air) sudah semakin dekat dan aku belum merasa berbuat apa-apa, belum belajar apa-apa.
Namanya Safi atau ah... sebenarnya aku tak tahu. Dia cuma mengenalkan diri dengan nama Safi begitu, tanpa aku tahu bagaimana menuliskan namanya dengan baik dan benar. Tapi lucunya dia suka dipanggil Sapi'i oleh kawan-kawannya. Geli juga mendengarnya. Cewek secakep dia, dengan hidung mancung dan bibir tipisnya, mata bulat dan tubuh tinggi semampainya, dipanggil Sapi'i? Ah!
Malam itu kami berbagi meja di sebuah restoran cepat saji di kawasan Hennesy Road di atasnya Mc Donnald, Causeway Bay. Itu tuh tempat mi yang ada mangkoknya yang berdiameter 30 cm dengan menu mie-mienya.
Awalnya aku acuh, melihatnya duduk pun tidak. Aku lebih disibukkan dengan foto-foto demo mahasiswa-mahasiswi Hong Kong yang menuntut demokras yang sebenarnya (pilkada langsung) di Hong Kong (semoga bisa ngeblog tentang itu). Mataku menatap lekat ponsel android murahan dengan headset menancap erat di ke dua belah kupingku. Ketika aku sedikit mendengar suara tapi tak jelas, kulepaskan headset yang menyumpal di kuping kiriku, namun masih kurang jelas juga. Akhirnya kuputuskan untuk mencabut keduanya lalu berkonsentrasi pada makhluk cantik yang mirip artis Korea (bedanya cuman jerawat dia banyak) di depanku itu.
"Sendiri, Mbak?" tanyanya dengan senyum ramah.
"Iya. Kamu juga?" tanyaku.
"Iya. Pada nggak libur," jawabnya.
"Asal mana, Mbak," tanyanya lagi.
Pertanyaan biasa bila bertemu seseorang pertama kalinya adalah: nama, asal, kerja di mana, kerjanya apa saja, bosnya galak apa enggak, sudah berapa lama di HK.
Yang membuatku tertarik adalah bibirnya yang tipis dan bergincu tipis (atau entah warna bibirnya memang pink) yang selalu menyunggingkan senyum ketika berbicara itu. Hei! Itu khan biasanya aku? Biasanya aku yang selalu tersenyum-senyum ketika berbicara, bukan? Dan betapa cantiknya melihat seseorang berbicara dengan tersenyum-senyum begitu.
Lalu aku sibuk membuat kesimpulan-kesimpulanku sendiri. Gadis cantik berambut pirang ini pasti ikutan nge-dance atau fashion show deh, soalnya dia terlihat stylish banget dengan eye liner tipis yang membuat matanya tampak lebih bulat dan dengan kacamata yang digunakan untuk bando itu. Lalu jawabannya membuatku tercengang.
"Dulu iya, dua bulanan. Lalu keluar," jawabnya.
"Kenapa?" buruku.
"Yang ngajarin pulang. Tapi sebelum itu aku juga merasa kurang nyaman. Pengeluaran banyak untuk manggung. Sepatu, kostum. Fashion juga gitu," jawabnya yang kujawab balik dengan "o" saja.
"Sempat pacaran pula, tapi sudah putus lalu sekarang temenan biasa aja sama dia," katanya.
"O baguslah kalau baik-baik. Jangan berantem ya," kataku.
Ok, aku memaklumi, itu adalah privacy dia. Mau pacaran sama siapa kek itu urusan dia. Sudah mau berbagi dengan aku sejauh inipun sudah luar biasa bagiku. Entah mengapa aku seperti punya kekuatan untuk memaksa lawan bicaraku untuk menjawab pertanyaan "mengapa dan bagaimana"-ku. Menjelaskan sesuatu padaku dengan suka cita.
Mungkin karena aku melihat mata lawan bicaraku dan dengan begitu mereka merasa aku bisa dipercaya untuk diceritai sesuatu, atau mungkin pula karena mereka sedang desperate ingin berbagi, entah.
"Suka begini. Bebas. Tak banyak teman, tak tergantung sama satu teman. Bisa ke mana-mana. Hiking, atau apa, enak-bebas," jelasnya.
"Libur tiap Minggu?" tanyaku.
"Iya."
"Nggak tertarik ikut kursus? Komputer, bahasa Inggris, Akuntansi? Banyak yang gratis kok," aku menawarkan.
"Mmm... Pengin menjahit tapi belum tahu di mana," jawabnya.
"Ada di sana, di situ (menyebutkan tempat kursus menjahit). Mau aku antar?" tanyaku.
Namun dia menjawab dengan tersenyum. Mungkin untuk saat ini belum tertarik, mungkin nanti, pikirku. Tiba-tiba aku jadi ingin sharing sesuatu, tiba-tiba aku merasa mempunyai kewajiban untuk menyampaikan sesuatu.
"Ketika kamu sudah setua aku, sudah selama aku tinggal di HK sedang kamu kurang mempunyai ketrampilan, maka kamu akan merasakan penyesalan sepertiku," kataku memulai.
"Tapi aku SMA aja nggak lulus, Mbak. Dulu kelas dua naik ke kelas tiga aku keluar, karena ingin kerja," kata gadis asal Kediri ini membela diri.
"Di sini kursus enggak perlu ijasah apapun. Kursus yang gratisan juga banyak," kataku.
"Aku cuma pengin punya uang, pulang, nikah, punya anak lalu enggak ke mana-mana lagi," kilahnya.
"Amiin," jawabku.
"Aku ditinggal ibuk ke Saudi dan aku tahu benar bagaimana susahnya kurang kasih sayang dari ibuk," katanya.
"Aku nggak pengin ke mana-mana kalau sudah punya anak. Aku mau di sampingnya, aku mau di sisinya, ngerawat dia," matanya menerawang.
"Aamiin," kataku lagi.
Karena sudah sementara waktu ditunggui orang untuk giliran meja makan dan petugas restoran juga telah dua kali datang mengangkut mangkok dan gelas kami, maka kami beranjak.
"Lihat demo yuk," ajakku.
Kami menyusuri Hennesy road ke arah Wanchai lalu balik lagi ke Causeway Bay. Di depan MTR station exit F, Causeway Bay, kami berhenti sejenak sebelum berpisah.
"Mbak, sebenernya aku nggak mudeng dengan demo ini," katanya jujur.
"Aku ini tahu apa ya?" tanyanya, lebih kepada dirinya sendiri.
"Baca. Jangan cuma membaca status cekakakan di FB thok tapi enggak peduli lainnya," kataku.
"Aku suka sesuatu yang ringan, yang enggak usah mikir, yang bisa membuatku rileks. Bukan berita-berita berat begitu," nah gadis kelahiran tahun 1988 ini membela diri lagi.
"Kalau gitu enggak usah tahu sekalian, enggak usah nanya. Nanggung kalau tahunya cuma sedikit, mending nggak usah, hehehe...," kataku.
Lalu kami pun berpisah. Dia terpaksa naik MTR karena tram nya enggak jalan padahal dia bilang paling suka kalau naik tram. Ha! Kebalikan sama aku yang paling benci naik tram. Sedang aku memilih naik minibus.
Entah mengapa, aku merasa sedikit berat meninggalkannya, merasa belum selesai aku menjelaskan sesuatu tapi juga merasa tidak perlu menjelaskan terlalu panjang lebar. Takut kalau-kalau terkesan terlalu menggurui. Dan satu perasaan lain yang membuatku tak selesa adalah: waktu "kepulanganku" (ke tanah air) sudah semakin dekat dan aku belum merasa berbuat apa-apa, belum belajar apa-apa.