Minggu, 17 Februari 2019
Setiap 14 Februari banyak muda-mudi merayakan Valentine di penjuru dunia. Di hari yang sama pula segenap elemen masyarakat turun ke jalan untuk menari One Billion Raising (OBR). Ini bukan untuk turut merayakan Valentine Day tapi sebagai wujud penolakan terhadap kekerasan kepada perempuan dan anak perempuan.
Di Hong Kong, OBR juga dilakukan termasuk oleh pekerja migran dan etnis minoritas dari berbagai Negara yang ada di Hong Kong. Bahkan, buruh migran yang mayoritas perempuan ini telah menjadi bagian aktif dan penting dalam kampanye. Seperti kita ketahui bahwa kekerasan terhadap buruh migran, pelecehan seksual masih ada walau di negera yang hukumnya jelas dan tajam di Hong Kong ini, jauh bedalah sama hukum di Indonesia yang kadang gak jelas dan tumpul ke atas itu.
OBR di Hong Kong biasanya dilakukan pada hari Minggu karena kebanyakan buruh migran libur pada hari tersebut.
Sekitar 700 orang turun di jalan. Tepatnya berada di Central, di depan gedung LEGCO. Dengan mengenakan kaos OBR,, atau atribut OBR seperti pita ungu dan pink mereka serentak menari bersama.
"Tarian OBR tidak hanya sekedar karena kita ingin menari tapi bagaimana bahwa dengan tarian ini kita bisa mengangkat solidaritas bersama untuk mengakhiri segala bentuk kekerasan yang dialami oleh perempuan," kata Sringatin, ketua IMWU dan JBMI Hong Kong.
Masih menurut Sringatin, bentuk kekerasan itu tak hanya kekerasan fisik saja tapi ada juga kekerasan yang tidak disadari yang ada kaitan eratnya dengan kebijakan-kebijakan dan aturan-aturan yang dilakukan oleh pemerintah Hong Kong dan negara-negara pemasok pekerja migran di Hong Kong seperti: Indonesia, Thailand, Filipina, dan lainnya. Peraturan-peraturan yang justru mempersulit buruh migran.
Dalam gerakan tarian OBR, ada gerakan tangan menunjuk ke atas (satu jari) tapi khusus tahun ini gerakan menunjuk dengan satu jari diacungkan ke atas itu diganti dengan gerakan tangan mengepal ke atas. "Kita tidak mendeklarasikan, tidak mensupport salah satu kandidat presiden," jelas Eni Lestari, ketua IMA Hong Kong. Ini dimaksudkan agar tidak ada kesalahpahaman mengingat di Indonesia sedang sumuk dengan pemilihan capres.
Setiap 14 Februari banyak muda-mudi merayakan Valentine di penjuru dunia. Di hari yang sama pula segenap elemen masyarakat turun ke jalan untuk menari One Billion Raising (OBR). Ini bukan untuk turut merayakan Valentine Day tapi sebagai wujud penolakan terhadap kekerasan kepada perempuan dan anak perempuan.
Di Hong Kong, OBR juga dilakukan termasuk oleh pekerja migran dan etnis minoritas dari berbagai Negara yang ada di Hong Kong. Bahkan, buruh migran yang mayoritas perempuan ini telah menjadi bagian aktif dan penting dalam kampanye. Seperti kita ketahui bahwa kekerasan terhadap buruh migran, pelecehan seksual masih ada walau di negera yang hukumnya jelas dan tajam di Hong Kong ini, jauh bedalah sama hukum di Indonesia yang kadang gak jelas dan tumpul ke atas itu.
OBR di Hong Kong biasanya dilakukan pada hari Minggu karena kebanyakan buruh migran libur pada hari tersebut.
Sekitar 700 orang turun di jalan. Tepatnya berada di Central, di depan gedung LEGCO. Dengan mengenakan kaos OBR,, atau atribut OBR seperti pita ungu dan pink mereka serentak menari bersama.
"Tarian OBR tidak hanya sekedar karena kita ingin menari tapi bagaimana bahwa dengan tarian ini kita bisa mengangkat solidaritas bersama untuk mengakhiri segala bentuk kekerasan yang dialami oleh perempuan," kata Sringatin, ketua IMWU dan JBMI Hong Kong.
Masih menurut Sringatin, bentuk kekerasan itu tak hanya kekerasan fisik saja tapi ada juga kekerasan yang tidak disadari yang ada kaitan eratnya dengan kebijakan-kebijakan dan aturan-aturan yang dilakukan oleh pemerintah Hong Kong dan negara-negara pemasok pekerja migran di Hong Kong seperti: Indonesia, Thailand, Filipina, dan lainnya. Peraturan-peraturan yang justru mempersulit buruh migran.
Dalam gerakan tarian OBR, ada gerakan tangan menunjuk ke atas (satu jari) tapi khusus tahun ini gerakan menunjuk dengan satu jari diacungkan ke atas itu diganti dengan gerakan tangan mengepal ke atas. "Kita tidak mendeklarasikan, tidak mensupport salah satu kandidat presiden," jelas Eni Lestari, ketua IMA Hong Kong. Ini dimaksudkan agar tidak ada kesalahpahaman mengingat di Indonesia sedang sumuk dengan pemilihan capres.