Galau?

huuhuuhuuuu...

Semangaaaaatttt..!

Love your job and be proud.

Iyes!

Bekerja sambil belajar.

Masih galau lagi?

No! No! No! Be happy laahhh...!

Ayo ngeblog!

Masa kalah sama Babu Ngeblog?

Sukebo

Sukebo

 I've never been so kebo but today...

Katakanlah hari ini, eh, tiga setengah jam yang lalu adalah perjuangan melawan ragu, perjuangan melawan bego dan perjuangan melawan kebo yang aku lakukan.

Untuk kebo (atau yang merasa kebo) aku mohon maaf. Bukan bermaksud menstratakebokan kebo tapi memang sudah nasib kebo untuk dimasukkan dalam golongan makhluk hidup yang dungu. Yah... meski dungu-dungu gitu si kebo tidak pernah makan selain suket dan jerami juga dedak campur bekatul dan sedikit garam, enggak seperti manusia sukebo sepertiku yang pinternya enggak nyampek-nyampek, bodohnya never ending tapi omnivora banget. Apalagi kalau melihat penyet ayam campur lalapan kemangi, kol dan timun, serbuuuuuuu....! Noh tuh!

Awalnya sebulan yang lalu, ketika pengumuman training design grafis yang diadakan oleh Dompet Dhuafa-Hong Kong (DD-HK) yang melibatkan Kang Sam sebagai anunya. Ya itulah, yang ngajarin gitu.
Lalu aku ikut.

Sebenarnya software coreldraw X5 dan PS CS3 sudah nangkring di Dell Lattitude D610 sejak enggak tahu tahun berapa. Software-nya pun aku peroleh dari hasil kerja sama dengan penyelundup software bajakan di Hong Kong yang harganya cuma enam puluh rebon atau seharga dua porsi bakso di Hong Kong (padahal harga aslinya bisa jutaan ya...). Dulu itu juga dalam rangka nyari duit ceperan, untuk diinstall ulang ke notebook pesenan temen-temen. Katakanlah itu proses kreatif atau proses penjahatif atau apa, terserahlah. Aku tahu kalau membajak (yang enggak pakek kebo atau sapi) itu tidak baik makanya aku ulangi lagi, siapa tahu hasil bajakanku kali ini lebih baik. Ha?

Aku selalu mempunyai pikiran bahwa I am good at nothing, terutama dalam hal gambar-menggambar. Guru TK-ku pernah membelejetiku di depan kelas dengan pernyataan yang aku ingat di sepanjang hidupku, pernyataan yang entah mengapa membuatku dead stuck mempercayainya, hingga kini.

"TK besar wis tuwek dhewe, tapi nggambare pinter sing nol kecil," kata guru TK itu.

Waktu itu aku menggambar dua orang anak yang sedang memancing. Gambar itu seperti penthol korek api dengan segitiga sebagai roknya dan dua ranting sebagai tangan dan dua ranting lagi sebagai kaki. Bagiku dan menurutku saat itu, itu adalah masterpieceku, tapi tidak bagi bu Titik, guru TK Tunas Rimba 2 di desaku.

Waktu itu aku tak menangis, tapi sejak saat itu aku membenci pelajaran menggambar.

setelah 30 tahun baru bisa nggambar seperti ini
Aku tak pernah bisa membedakan bagaimana menggambar orang dan monyet. Menurutku keduanya sama. Khan bedanya cuma di ekor saja. Jadi kalau manusia enggak ada ekornya kalau monyet ada. Tapi kadang nggambar manusianya sudah bener enggak seperti monyet tapi jalannya kayak guguk, kaki dan tangan sama panjang dan jalannya jadi merangkak. Itu kalau gak salah pas kelas 3 SMP, pas ujian praktek menggambar dan guru menggambarku langsung melempar penghapus yang penuh kapur ke kepalaku. Lhah khan Picasso kalau menggambar orang juga model nyleneh gitu khan?

Nah lalu kenapa ceritaku jadi dleweran kemana-mana ya?

Ya maksudku begini, khan semuanya ada korelasinya, ya khan? Atau anggep aja gitulah....

Trus

Kepala sudah terdoktrin begitu, sehingga sewaktu training design grafis yang aku ikuti tadi berlangsung, yang ada di otakku adalah "aku enggak bakal bisa". Dan itulah yang terjadi. Doktrin itu seperti doa yang adalah petaka bagi diriku sendiri. Sewaktu Kang Sam bertanya: "Gimana Rie? Bisa nggak?"
Lalu jawabanku sudah pasti adalah "enggak".

emak
Dan hingga training hari itu berakhir, bagaimana cara membuat foto yang sudah dicrop menjadi ukuran pasfoto saja aku tidak bisa, bayangkan!

Lalu adalah pak bos, yang tiba-tiba bertanya tentang liburku yang membuatku seperti diingatkan bahwa aku sudah melupakan om Gugel.

"I wonder, how can you be so forgetful with google," kata beliau ketika menanyai liburku yang kujawab dengan garuk-garuk kepala.

O iya ya.

Okelah aku enggak suka menggambar, mengedit gambar harus pula tak sukakah? Lhah khan aku suka moto?

Kang Sam, beliau luar biasa sabarnya, cuma aku tadi lebih luar biasa lagi kebonya. Ingatanku mengambang.

Dari jam 8 malam aku browsing dan mempraktekkan tehnik dasar PS, mencoba mengalihkan doktrin "aku enggak bakal bisa" dan menggantinya dengan "dicoba dulu". Lalu ketika resultnya "aku bisa" sepertinya doktrin "aku enggak bakal bisa" berkurang prosentasenya.

Lalu?

Mengapa mengunderestimate kemampuan sendiri? Mengapa tidak memanfaatkan om Gugel dan orang-orang yang telah berbaik hati berbagi ilmunya di net? Mengapa terlalu mempercayai penilaian orang lain pada diri? Mengapa malas mencoba dan membiarkan diri berada di titik 0,5 meter sedang orang lain sudah bermil-mil meninggalkanmu? Mengapa? Mengapa? Mengapa wahai Rie Rie Sukebooooo...??!!

Terong vs Tukang

Sodara, aku baru saja dimarahin sama tukang yang bekerja di lantai 5. Baru saja. Ya, kurang lebih dua jam yang lalu.

Apartemen bosku berada di lantai 4, apartemen tetangga lantai 5 sedang direnovasi, renovasi menyeluruh.

Sudah tiga minggu ini suara mendengung-dengung dan suara klotak-klotak, brak-brek, ngiung-ngiung, uing-uing dan sebagainya memenuhi telingaku. Ingin rasanya aku keluar dari apartemen bos untuk menghindar dari suara-suara itu, tapi aku khan babu yang baik, iya khan? Lagian banyak pekerjaan rumah yang harus diselesaikan sebelum bos pulang. Jadi mau tak mau aku harus menelan suara-suara itu.

Untuk mengurangi bising aku membuat kebisingan. Menyetel CD dangdut atau campursari keras-keras, vacuum ruangan dilama-lamain, nyumpelin telinga dengan headset hingga kalau sudah mentok aku tinggal ke pasar lamaan dikit, blanjanya cuma dua buah item tapi muternya pasar tujuh kali putaran.

gaya ngoseng
Lalu hari ini sepulang dari pasar, dengan terong lonjooooong ungu yang panjangnya sepanjang tanganku dan cabe limas biji yang kalau dirupiahkan seharga empat ribu rupiah, brambang satu ikat plastik dan bawang dua siung, aku bermaksud menunaikan hajatku dan kewajibanku, masak oseng terong.

Aku melihat kaki tukang yang lagi ngrenovasi lantai lima menjuntai di jendela dapurku, eh, dapur bosku. Rupanya dia sedang mendandani jendela dapur dan dapur di lantai 5 itu.

Cabe sudah diiris, demikian juga dengan brambang, bawang. Maka aku mulai menumis. Sreeeng...srengg....

Karena aku alergi dengan bau cabe maka pas mengoseng, mengoseng apapun yang berbau cabe, aku selalu memakai masker. Nah, mengoseng terong supaya hasilnya tetep ungu khan musti pakek api besar khan? Namun payahnya kalau api besar berarti kebulnya ke mana-mana dan karena di apartemen bos ini hanya ada kipas kecil saja (tak ada exhaust fan) maka aku membuka jendela dapur. Dan...

"Atchiuuuuuu...!" sebuah suara melengking. Sumber suara itu dari lantai 5, pemilik dari kaki yang menjuntai tadi.

"Atchiuuu...atchiiuu...," berulang kali si tukang bersin-bersin.

Aku sendiri juga sudah puluhan kali bersin tapi tak sekeras si tukang tadi suaranya.

Dan tibalah bencana itu.

eh

Kesialan keduaku di hari ini.

"Lei a! Homoyi mo cui sung sin a, hou tai seng a. Ci emci!" teriak si tukang padaku yang masih meneruskan ngoseng terong.

Artinya begini: "Kamu! Bisa nggak sih jangan masak dulu, baunya nyegrak. Tau gak sih!"

Dan jawabku: "Ngo ke dou tang em to wo. Ngo hou dongo a, kam tim sun a? Lei leh, samko leipai hou jou ngo tu emcut seng keh. Lei ci em ci! Ngo ke yicai yika yilung a! Lei hamai siong sei a dong ngo takau!" (Perutku enggak bisa nunggu. Lapar, trus gimana lagi? Kamu, tiga minggu juga bikin ribut aku pun enggak komplin. Tau gak sih kamu! Kupingku sekarang budeg aa! Kamu mau mati ya berani berantem sama aku!)

Hari ini yang diawali dengan hal yang mengenakkan maka selanjutnya adalah episode tidak mengenakkan sepanjang hari.

Dan entah apa lagi yang dikatakan, karena bahasa Kantonisku tak begitu fasih di bahasa kasar (bahasa orang marah aku gak ngerti blas), jadi kubiarkan saja kepalanya melongok ke jendela dapurku dan mengumpat seribu umpatan, toh di jendela dapur itu ada grill-nya jadi dia gak bakalan bisa masuk dapurku. Jendela kubuka lebih lebar lagi, semua uap menuju ke wajahnya. Si tukang yang sedang membawa kuas itu, entah dengan sengaja atau tidak, mencipratkan cat putih. Cat putih  menempel di jendela.

Aku pergi. Dia pergi.

oseng terongnya gak kepoto, hiks
Sejam kemudian aku kembali masak oseng pare. Dan kembali si tukang marah-marah.

Biarin.

Untung cat putihnya bisa aku bersihin, kalau tidak maka dia akan berurusan dengan bu bosku, yang tentunya adalah petaka buatnya.


Where is My Bra?

Pagi ini, sepagi pukul 7.20 AM, bu bos sudah berteriak. Riuhnya melebihi suara vacuum cleaner lima biji yang dihidupin bareng-bareng. Di saat aku lagi disibukkan dengan kegiatan rutin di pagi hari untuk mempersiapkan lunch box dan sarapan buat momonganku yang jadwal bis sekolahnya jam 7.42 AM, seringkali adaaa saja hal-hal kecil yang ditanyakannya. Dari bajulah, celana panjanglah, celana dalamlah hingga BH. Dan pagi ini adalah giliran BH alias kotang alias bra.

"Cece, where is my bra? The peach colour, the one that has 4 hooks, the one that I used to wear, the one that I asked you to wash couple of days ago, the one that...

"I don't know," jawabku pendek.

Lha iyalah, semua BH warnanya peach, hampir semua dengan empat pengait, jadi yang mana satu mana aku tahu?

Aku tak menatap wajah jengkelnya ketika menjawab pertanyaan bertubinya. Tanganku masih disibukkan dengan makaroni dan api nyang menjilat pantat panci, sibuk masak untuk sarapan momonganku. Dan kalau aku tak mengindahkannya begitu, bisa dipastikan wajah bu bos akan berubah seperti buah delima, merah marah.

"Look at my face when I am talking to you!" bentaknya.

"Fine," jawabku sambil mematikan kompor.

Di ruang tidur momongan, terdengar pak bos berteriak-teriak, tak kalah kencangnya memanggil si Katelyn alias Pompi untuk segera bangun. Oh man, kenapa sepagi ini sudah diawali dengan masalah, pikirku.

Obrolan pedes, eh, lebih tepatnya mocking pagi ini berujung pertengkaran. Lagi. Aku ngeyel telah menyimpan kotang itu pada tempatnya sedang bu bos ngeyel bra itu tak ada. Pertengkaran antara bos dan pembantu mengawali hari. Bos yang demanding dan pembantu yang keras kepala.

Sewaktu aku masuk ke kamar bu bos, dua laci sudah diodol-odol isinya. Antara BH, celana dalam dan legging juga kaos kaki jadi satu anakan gunung Bromo. Masih pun si BH yang dimaksud tak juga ditemukan. Dan sewaktu aku odol-odol isi keranjang baju kotor, ternyata BH yang dimaksud ndlesep di sana. Jadi? Ya, rupanya BH itu sudah dipakainya lagi kemaren dan dimasukkannya ke dalam keranjang baju kotor semalam. Oh gosh!

Di kamar lain, Pompi menjerit protes karena diseret turun dari ranjangnya oleh papanya.

Pukul 7.30, lunch box sudah siap tapi sarapan belum siap. Pompi menangis. Bu Bos mendongkol. Pak Bos geram.

Pusing.

....aku pengin pulang....