Galau?

huuhuuhuuuu...

Semangaaaaatttt..!

Love your job and be proud.

Iyes!

Bekerja sambil belajar.

Masih galau lagi?

No! No! No! Be happy laahhh...!

Ayo ngeblog!

Masa kalah sama Babu Ngeblog?

Romantisme di 28 Oktober

Kami putra-putri Indonesia, berbangsa satu, bangsa Indonesia.
Kami putra-putri Indonesia, bertanah air satu, tanah air Indonesia.
Kami putra-putri Indonesia, berbahasa satu, bahasa Indonesia.

Delapan dasawarsa sudah kita mengulang-ulang sumpah yang sama, Sumpah Pemuda. Tepatnya di setiap tanggal 28 Oktober di setiap tahunnya. Namun masih adakah greget yang sama di setiap kali pelafalan sumpah tersebut? Ataukah hanya sekedar sebagai perayaan seremonial berlabel “Hari Sumpah Pemuda” yang seperti hari-hari bersejarah lainnya perayaannya tak jauh dari upacara, lomba-lomba, pidato-pidato dan orasi tanpa bukti?

80 tahun yang lalu Sumpah Pemuda adalah sejarah bangsa menuju kemerdekaan. Young Java, Young Sumatera, Young Ambon, Young Selebes, dan seterusnya melebur jadi satu dalam Indonesia. Melalui ikrar atau janji atau sumpah sakral, Sumpah Pemuda.

Sumpah Pemuda adalah kesadaran tentang adanya banyak perbedaan/kebhinekaan yang kemudian dipersatukan dalam wujud ke-Indonesia-an. Yang mengingatkan kita semua bahwa Indonesia ini adalah milik bersama, tidak peduli dari kalangan agama atau suku atau ras yang manapun, atau dari kalangan aliran politik yang bagaimanapun.

post signature



Perjuangan menuju kemerdekaan dilakukan bersama oleh semua pemuda/masyarakat yang berbhinneka. Ke-tunggal-ika-an sedemikian kental pada waktu itu. Pemahaman akan arti dan makna sumpah pemuda tersebut benar-benar di rasakan oleh semua. Bahwa janji bersama itu harus di wujudkan oleh dan untuk bersama.

Ibaratnya orang yang sedang jatuh cinta, maka saat itulah perasaan cinta pemuda Indonesia di ungkapkan. Dituangkan dalam sumpah yang amat terkenal di catatan sejarah Indonesia, sumpah untuk berbangsa satu, bertanah air satu, dan berbahasa satu. Sumpah yang merupakan sebuah kontrak politik dari para pemuda untuk bersatu demi bangsa Indonesia. Sumpah yang adalah bukti kongkrit sejarah kemesraan dan keromantisan pemuda-pemuda Indonesia.

Namun sayangnya setelah 80 tahun berlalu, Sumpah Pemuda sudah menipis maknanya. Kalau Sumpah pemuda di waktu pertama kalinya ibaratnya seperti mesra-mesranya orang yang sedang jatuh cinta, maka Sumpah Pemuda yang kini di peringati setiap tahun setelah pernikahan sakral pada tanggal 17 Agustus 1945 itu seperti halnya sebuah rumah tangga dengan pondasi rasa pengertian dan respect yang mulai keropos. Pemuda-pemudanya mulai memalingkan cintanya kepada bahasa-bahasa gaul demi kelancaran pergaulannya daripada bahasa persatuan negaranya. Pemuda-pemudanya lebih suka berselingkuh dengan budaya-budaya asing yang kadang menyesatkan daripada mendalami dan mencintai budaya negri sendiri. Agama dan aliran kepercayaan yang beragam yang cenderung berseteru satu sama lain, berusaha saling menjatuhkan. Gerakan pemuda yang ada dulu berorientasi pada civil society kini gerakannya lebih bernuansa pada praktek politik praktis, mengabaikan agenda-agenda kerakyatan. Sedang partai-partai politik yang telah ada dan menjamur hanya mampu, maaf, beronani politik, berpolitik sebatas gembar-gembor dan janji muluk ini-itu tapi miskin realisasi.

Pelbagai persoalan tersebut cukup memberi isyarat bahwa nation building kita belum selesai. Porak-porandanya bangsa dari disintergrasi, konflik sosial, sampai terorisme adalah “PR” yang harus serius ditangani. Substansi Sumpah Pemuda nyata-nyata telah diingkari generasi saat ini. Kita sadar, sejarah mencatat bahwa pemuda adalah agen garda depan dalam setiap perubahan. Sejak pra-kemerdekaan, dalam peristiwa yang monumental (Sumpah Pemuda, revolusi kemerdekaan 1945, dan gerakan reformasi yang berhasil menggulingkan rezim neo-fasisme Orde Baru), pemuda Indonesia menjadi pelopor dan penggerak perubahan. Gerakan-gerakan itu muncul karena kuatnya idealisme pemuda. Tak salah jika pemuda menjadi kebanggaan tersendiri di negeri ini.

Realitas perjalanan bangsa yang melanda negeri kita dalam beberapa tahun terakhir ini rasanya berjalan terbalik. Jika dulu orang rela dan berani berkorban demi bangsa dan tanah air, kini justru makin banyak yang justru mengorbankan bangsa dan tanah air demi kepentingan golongan saja. Kemenonjolan yang kini ada adalah kemenonjolan berbhinneka, tanpa tunggal ika,yaitu penonjolan kekuatan golongan atau kelompok.

Realitas masyarakat kita yang bhinneka belum banyak dipahami sebagai realitas yang telah membangun kita menjadi sebuah negara-bangsa yang satu. Padahal, Sumpah Pemuda yang terdiri dari tiga ikrar pada hakikatnya adalah sumpah untuk membangun Indonesia dalam kebhinnekaan/keragaman, baik keragaman agama, suku, golongan, partai, ras, adat, budaya, bahasa, dan lain-lain.

Apakah kesimpulan terakhir dan tercepat yang bisa di tarik adalah bahwa karena yang bersumpah adalah pemuda-pemuda di jaman dulu, di jaman penjajahan, jadi guna sumpah itu hanya sebatas untuk menghalau penjajah dari Indonesia, sehingga kewajiban untuk meneruskan sumpah sudah tidak ada lagi? Wah kalau begitu sumpah Pemuda itu hanya sebuah sejarah keromantisan saja, sejarah keromantisan yang entah kapan lagi bisa terulang lagi

Ironis sekali, bahkan terakhir sempat terdengar seorang pelajar mengeluhkan, “Kok hari Sumpah Pemuda bukan bukan tanggal merah ya? Nah lho??!!!

Sadisme Ala Rie Rie

Wahai kawans, katakanlah aku adalah orang sadis. Biar bertambah koleksi orang-orang yang mengataiku dengan perkataan itu, sadis. Hanya karena sebuah sikap tegas yang ingin aku tunjukkan kepada orang lain. Agar aku tak gampang di permainkan atau di kibuli dan di bohongi atau di tipu ataupun di rayu sekalipun.

Minggu itu aku terlalu lelah, lelah selelah-lelahnya tubuh. Pekerjaan yang menumpuk karena bos yang berencana untuk boyongan rumah minggu depan itu menyita banyak waktuku termasuk hari minggu tgl 12 okt kemarin yang seharusnya menjadi hakku untuk libur. Dan adakah tempat untukku untuk mengadukan kelelahanku?

Sepulangku dari HAppy Valley, rumah baru bosku, aku mampir ke Cousewaybay untuk makan bersama 2 orang kawan karibku, Hindun dan Chamid. Setelah selesai makanku aku beredar meninggalkan kawan2ku dan berdiam sejenak di Cousewaybay di depan warung Sedap Gurih di bawah jembatan. Hari itu ramai seperti biasa, lalu lalang wanita2 cantik yang seprofesi denganku sedikit menghiburku, tetapi beberapa orang yang menghampiriku dengan senyum menawan dan tepukan lembut di pundakku membuatku marah. Kenapa?

post signature



Beberapa wanita yang membawa kotak menghampiriku. Sebuah kotak bertuliskan "Sumbangan Untuk Anak Yatim di Jatim" kemudian sebuah kotak lagi bertuliskan "Amal Jariah" sebuah lagi bertuliskan bismillah dan ayat2 lain yang kurang aku pahami, sebuah kotak lagi, lagi, lagi, dan lagi...lagi....
Aku marah!!

Wanita terakhir yang menghampiriku bernasip teramat sial hari itu, lepas dari entah berapa puluh dolar yang telah dikumpulkannya dari aksi penipuannya itu.

"Mbak sumbangannya," katanya.

Aku menggelengkan kepalaku dengan mata menatap tajam padanya. Masihpun dia bertahan di sekelilingku menyodorkan kotaknya dan meminta sumbangan kepada yang lain untuk kemudian kembali lagi padaku. Perlakuan yang sama diterimanya, aku masih menggelengkan kepalaku dan menatap tajam kearahnya. Dan kali ketiga dia datang padaku aku tak menggeleng lagi tapi diam. Dia mengulangi lagi kata -katanya 3 kali.

"Mbak sumbangannya,".

Sepi jawaban.

"Mbak sumbangannya,"

Kudiamkan saja.

"Mbak sumbangannya,"

Sungguh kawan, bersiaplah untuk mengatai aku dengan perktaan "sadis" atau kata lain yang mungkin kau anggap lebih tepat, silahkan saja.

Aku gak sabar lagi, kupegang tangannya. Aku bersiap untuk mempermalukannya.

"Sumbangan untuk siapa mbak," tanyaku.

"Sumbangannya mbak," katanya lagi.

"Iya, sumbangan untuk siapa? Bencana apa? Atau kalau untuk mendirikan masjid, masjid yang mana, dimana?" tanyaku beruntun masih memegang erat tangannya.

Dia diam tak bisa menjawab, tentu saja karena tak satupun dari kata-kataku yang di pahaminya. Dia bukan TKW dari Indonesia.

"Sekarang aku siap ngasih sumbangan mbak, tapi katakan dulu untuk siapa? Bencana apa? Masjid mana? Mbak ini dari mana? Organisasi apa yang mbak ikuti?" buruku.

Dia tidak bisa menjawab, ketakutan juga berada di wajahnya karena kerumunan segera saja berada di sekeliling kami. Aku mengulangi pertanyaan-pertanyaanku lagi, dan dia tidak menjawab juga. Bahkan berusaha lepas dari pegangan erat tanganku.

"Ooo..cah PL(philipine) kuwi mesti, lha ra isa ngomong Indo ngono," kata mereka yang mengerubuti.

"Iyo paling, pura-purane njaluk sumbangan, pura-purane kaya cah Indo wae, dasarr!!"

"Penipu kuwi!"

"Iyo saiki akeh sing njaluk sumbangan nipu-nipu thok,"

"Dasar ra duwe isin......"

Dan sebagainya, yang jelas dia tidak akan punya nyali lagi untuk menipu meminta sumbangan, setidaknya untuk hari itu. Tapi yang jelas dia telah mendorongku keras hingga aku terjengkang jatuh. Sakiiitttt banget, tapi aku puas bisa mempermalukan seorang penipu.


Masalah menyumbang adalah tentang keikhlasan dan aku benar-benar tidak ikhlas untuk memberikan sumbanganku kepada PENIPU.

Antara Apartemen Baru dan Jablay

"Oh My God?" kataku kaget.

"What? What happen?" tanya bosku.

Hari ini pertama kalinya aq memasuki apartemen baru bos yang rencana akan di tinggali mulai 21 okt ini. Apartemen yang kecil, ukurannya separuh dari apartemen yang kami tempati, hanya 1000 square feet. Ruang tamu dan ruang makan menyatu, 3 kamar lainnya tidak begitu besar, dapur yang mungil, dan kamarku sendiri amat sangat unik. Kasurku mlangkring diatasnya kulkas dan mesin cuci. Dibutuhkan tangga yg tingginya 1 stengah meter untuk dapat naik ke atas kasurnya. Tapi terlihat nyaman dengan rak2 buku, jendela, kipas angin dan AC/heater. Lampunyapun ada 2 macam, lampu besar dan kecil. Ada juga sebuah meja yang bisa di lipat ke tembok. Uiyah, kasurnyapun baru. Dalam hati dan dalam ucapan, aku berterima kasih sekali. Bosku pengertian banget dengan kebiasaanku menumpuk buku dan belajar(ngenet & ngeblog, hehehe...). Kemudian pertanyaan pertamakupun muncul, serta merta saja. Pertanyaan terlugu yang keluar dari dasar hatiku

"Where will you put the router? I mean, my router? Can I connect the Internet from my room?" tanyaku.

"Ce ceeee....," kata bosku.
"I know, I am expecting this question from you," katanya sambil ketawa.

Malu juga rasanya sewaktu sang Bos menertawakan aku seperti itu.

"We'll arrange that later, I don't want you to lose your liking also. Don't worry," katanya.

Sungguh pernyataannya tadi membuatku legaaa...

"So I leave you know, I'll come back around 6 o'clock to pick U up for dinner," katanya sambil menyerahkan kunci rumah dan uang 500 dolar padaku. Ups, itu uang bukan untukku tapi buat beli perkakas dapur dan peralatan buat ngantor(ngantor=mbabu) yang kubutuhkan saat itu.

Sang bos akhirnya meninggalkanku, sepi sekali rasanya. Kuhidupkan tape recorderku. Ah, aku termasuk orang terndeso, di jaman MP3 dan MP4 gini aku masih bangga dengan tape recorder cilik merk panasonic yang sudah kumiliki sejak 2 tahun yang lalu. Segera saja lagu dari kangen band, matta, janice, manthous, iwan fals, teresa teng lalu lalang mengiringi tugasku. Fuih...sempet nyesel juga karena gak bisa nemuin kaset lagu yang menjadi kegemaranku. Pasalnya antara aku dan Katelyn(anak asuhku) sama-sama menyukai kaset itu, sampai-sampai Katelyn hafal 3 buah lagu di antaranya. Dan setiap kali lagu itu di putar tentulah dia langsung lari mengambil microphone palsunya dan berjoget abis. Dan pastilah si monyet kecil itu sudah mencuri dan menyembunyikannya dari kamarku. Karena semaleman waktu aku ngubek2 kamar ga ketemu juga tuh kaset.

"Ce ceee....!" teriak Katelyn, si monyet kecil mungil yang imut dari dalam BMW warna biege milik bosku. Waktu itu sang bos sudah menungguku di dalam mobil untuk mengajakku keluar makan malam.

"Ce ce, you forgot something," katanya. Tangan kecilnya menyerahkan padaku sebuah kaset dengan gambar Titi Kamal yang memakai baju biru yang sedang membawa microphone. Jah....jablay ku, kenapa baru sekarang kau kembalikan padaku? Dasar monyeeeeeeeeetttttttttttt!!!


post signature


Srinthil 7: Baju Lebaran Menghebohkan


Peluh bercucuran dari setiap pori-poriku. Rasanya seperti habis mandi saja. Sekujur tubuhku basah, bajuku yang berwarna biru tua ini bertambah gelap warnanya. Keranjang belanjaan yang gemuk padat berisi kutarik dengan tangan kananku, sedang sebuah wanpo toi(tas belanja) berat tergantung di pundak kiriku, aku tak mampu lagi berlari kecil ataupun berjalan cepat. Terengah, hampir saja aku menabrak sesosok jangkung yang tampan didepanku.

“Canhai muisi a, sorry,” kataku.

“Em kan yiu lah, it’s Ok,” jawabnya dibarengi dengan senyum menawan.

Waduh, hatiku tratapan ga karuan. Segera saja aku membayangkan dia menjadi sahabatku yang bisa mengerti, memahami, menghormati sekaligus bisa diajak berbagi. Ah, bukankah ini suatu pemikiran yang biasa saja? Aku tak bermuluk-muluk membayangkannya menjadi kekasihku, seperti yang biasa dilakukan oleh Hindun saat dia melihat cowok cakep sekalipun itu cuma setakat cakepnya PKS(orang pakistan) yang notabene adalah serigala berbulu wedus saja.

post signature


Tiba-tiba saja HP bututku melantunkan sebuah lagu favoritku, caping gunung. Di sana di Cousewaybay di dekatnya central Library, Srinthil sedang mengelus-elus lantai dengan dengkul mengadu lantai, satu tangan memegang HP dan tangan satunya lagi memegang jimat kain pel. Dia berteriak-teriak di antara nafasnya yang ngos-ngosan karena kerajinannya menjadi peneliti kebersihan satu demi satu ubin di rumah bosnya.

"Mbak Riii, mbak, sampeyan lagi di pasar North Point khan? Tulungi aku po'o. Aku ra duwe klambi buat lebaran besuk. Beliin rok putih panjang yang di pasar itu ya mbak, pliiiiss..!" ujarnya merajuk.

"Sri, blanjaanku aja beratnya seperti fei cuiyuk(babi gemuk), gek ora gawa duwit pisan. Tinggal 50 dolar, itupun duwitte lopan(bos) je, piye tho dirimu kih. Mbok kamu lain kali pesennya pagi-pagi gitu, canhai muisi a(maafkan)," kataku berargumen.

"Mbak Ri, sudah cukup uang itu mbak. Lha mosok aku lebaran suruh pakek baju kadaluwarsa gitu. Ga ada rok mbak, sampeyan khan ngerti nek bos baruku ini gak suka aku pakai rok khan mbak,"

Yah, bos baru Srinthil memang rada aneh, walau tidak bisa di golongkan dalam kategori nyleneh. Dia yang kebetulan adalah adik dari bosku itu, paling tidak suka melihat Srinthil pakai rok. Maksudnya dia gak mau Srinthil ribut dengan rok yang bisa merepotkan kerjanya. Payahnya larangan untuk memakai rok juga berlaku kalau dia lagi libur. Walhasil si feminin Srinthil yang paling demen pakai rok ini harus menitipkan semua roknya kepadaku.

"Sri, aku kabotan tenan iki, gek rok itu hargane berapa?" tanyaku.

Aku berhenti di lampu merah hijau yang ada di sebelah terminal bis. Kuletakkan semua barang-arangku di pinggir trotoar, dan berkonsentrasi sepenuhnya mendengarkan suara Srinthil yang hampir pecah menjadi tangis.

"Cuma 49 dolar saja kok mbak, minggu kemaren aku dah mau membelinya tapi ternyata pas waktu itu aku harus nyaur utang kartu(pulsa) sama budhe Sari. Plis ya mbak, beliin ya mbak,"

"Semprul tenan Srinthil iki!" batinku mengumpat.

Kembali aku memasuki warung jagal babi yang menjadi langgananku dan menitipkan barang-barang belanjaanku disana. Dengan bergegas aku menuju ke Malioboro-nya North Point. Yupz! Di North Point mereka menjajakan pakaian persis di pinggir jalan berderet-deret seperti layaknya yang bisa kita lihat di Malioboro itu. Pakaian yang di jajakan di sanapun tergolong hou beng alias murah banget. Bayangkan selusin CD saja cuma 20 dolar, trus baju pesta ala Britney Spears hanya 80 dolar, trus baju renang atu suwim suwit yang seutas-utas nek kalo di beri merek trium atau wakul biasane hargane 300 dolar keatas, disini dijual dengan harga 29 dolar saja. Bayangkan!!

Bergegas aku menuju ke toko pakaian yang dimaksud Srinthil, membeli satu rok warna putih dengan tali di bagian pinggangnya dan renda-renda di bagian bawah. Dan pas banget sesuai apa yang di katakan Srinthil, harga matinya adalah 49 dolar.

...............

Kuserahkan rok putih itu kepada Srinthil yang tinggal satu lantai di bawah rumah bosku, segera saja rok itu disambut dengan suka cita.

"Toce sai, makasih mbak Ri, tak cobane sik, mbayare besuk ya," katanya seraya menutup pintu dan membiarkan angin menampar mukaku dengan kasar.

Dari jendela di dapur bosku aku bisa melihat kamar Wai Wai yang di hiasi dengan boneka-boneka kecil dan wallpaper gambar princess ala karakter Disney. Oh ya, Wai Wai adalah anak asuh Srinthil yang berumur 3 setengah tahun, keponakan dari bos lakiku. Dan bisa juga kulihat Srinthil sedang melenggak-lenggokkan diri, melihat pantatnya yang agak bulat tertutup rapat dan tampak lumayan seksi dengan rok putih itu.

"Gusti Allah nyuwun pangaksami! Ciloko pitulikur tenan Srinthil iki!" bathinku.

Segera saja kuraih Hp ku dan ku dial nomor HP Srinthil serta merta. Begitu HP tersambungkan aku bahkan gagap gugup sekali karena Srinthil menguasai pembicaraan.

"Mbak Ri, bisa lihat khan? Rok ini terlihat bagus baget sama aku ya mbak, pas banget, cocok banget. Gimana mbak kalau aku pakai kaos merah ini sebagai atasannya? atau yang putih ini yang lebih cocok? atau malah yang merah muda itu mbak? Mbak Ri besuk keluar rumahnya jam berapa? Aku tunggu di lantai bawah ja...

"Kringgg....Kriiiiiiiingg...kRiiiiiiingggggg...," teriak telepon rumah bos Srinthil keras sekali memutuskan celotehan Srinthil barusan. Dengan satu HP di kuping kiri dan satu telepon di kuping kanan, jelas sekali Srinthil gugup sekali.

Di seberang sana suara bosnya Srinthil terdengar melengking-lengking dan menggemuruh juga memanaskan telinga, bisa kudengarkan juga karena HPku ada di kuping kirinya Srinthil. Persis seperti suara halilintar tanpa hujan, persis rasa sambel lombok jempling tanpa garam, persis seperti tawanya Farida Pasha dalam film mak lampir, persis seperti teriakan klakson mobil yang bersahut sahutan disaat kemacetan.

"Lei comat ye a(kamu ngapain?) Kurang gaweyan ya? Mau blajar akting jangan di rumahku, mau belajar jadi fotomodel juga jangan di rumahku! Lupa apa sengaja kamu itu ha? Di kamare Wai Wai khan ada kameranya, yang tersambungkan ke HP dan komputer kantorku. Pakek ganti baju di kamar anakku lagi. Nyedit-nyedit pamer bokong sama siapa? Muter-muter kayak gasing, kok gak nyungsep aja sekalian? Beresin rumah kek, ngepel kek, ngosek WC kek, ngelap kaca kek, lha iki kamu jadi babu baru seminggu aja kok sudah bertingkah....bla bla bla.....

.....................sudah kututup HP ku, tak sanggup aku mendengarkan celotehan bosnya Srinthil...pedes des des.
Oalah Sri, Sri mau lebaran pakek rok baru aja kok menghebohkan bosmu.

Srinthil 6: Ejakulasi Dini Karena Levy

"Blaik! Kojur tenan mbakyu-mbakyuuuu!" teriak Srinthil dengan mulut mangap, megap-megap.

Berlari dia, seperti kesusu sekali untuk segera menyampaikan berita maha dasyat yang dimilikinya hari ini. Yah, Srinthil selalu tak lepas dengan berita setiap kali dia libur. Mulai dari berita tentang bosnya yang suka ngupil, tentang selusin celana dalamnya yang terbang ditiup angin, tentang kebiasaan dia cebok pakai air di negaranya Aaron Kwok ini, tentang wedus gibas Arip, tentang gajinya yang disunat, dan sekarang?? Berita tentang kiamatkah yang dibawanya?

"Blaik! Kojur tenan! Tobaaat-tobaaat!!"

"Nyapo tho Sri?" tanyaku heran.

"Mbak Ri, iki njur kepriye? Gimana neh?" Srinthil tampak kebingungan.

"Nyapo Sri? Ga jadi ketemu ma bintang idolamu Lola Amaria kuwi?" tebak Hindun.

post signature


"Lola...olala.... Jadi Srinthil ngefans sama Lola?" tanya Chamid dalam herannya.

"Semprul! Lha sing ngefans sama dia kuwi sapa? Aku ini masih fans beratnya mbak yu Yati Pesek," sanggah Srinthil.

"Madakke pesekmu ye? Hehehhe..," tanya Suzy yang di barengi dengan gelak kami. Maaf gelak ini bukan karena mbak Yati yang jelas-jelas adalah tokoh favorit kami, tapi gelak kami lantaran hidung Srinthil yang ndlesep dan dia tetep PD saja pakai kacamata walau tidak ada hidung buat tatakan kacamata itu.

"Bapakku, bosku...," kata Srinthil dengan nafas tertahan.

"Bapakmu nyapo Sri?" tanyaku.

"Bapakku ya lopanku ya bosku itu, ujug-ujug tiba-tiba semalam ejakulasi dini," kata Srinthil. Kepalanya menunduk sewaktu kalimat itu terucap.

"What?"

"Apaa??"

"Come a?"

Mendadak kami bertujuh(aku, Suzy, Chamid, Hindun, Anez, Miya, dan Liya) tersentak. Srinthil yang ndeso bin lugu itu mengenal kata ejakulasi dini? Sejak kapan? Gek lha kok yang di omongin adalah bapaknya alias bosnya?

"Ah, Sri...kamu...
"Kamu gak lagi kelonan ma dia khan Sri? Ingat Sri walau gaji kita cuma cukup buat bayar pulsa ma sekolahnya adik-adik kita dan nyaur utang berasnya simbok di Indo saja, tapi jangan sampai berbuat yang aneh-aneh hanya untuk mendapatkan uang lebih. Eling Sri, eling.... Kowe iki isih prawan," nasehatku padanya.

"Piye tho sampeyan iki mbak Ri, kebangeten banget. Lha emange aku di padhakno sama cewek gampangan ye? Lha emange aku iki cewek jajanan ye? Lha emange aku iki cerek(cewek experimen) ye? Tega men sampeyan iki mbak Ri...,"

"Sepurane Sri lha ujug-ujug juga kamu ngomongin tentang ejakulasi. Gek apa tho maksudmu sebenernya?" tanyaku.

"Bapakku kuwi mbak, kemaren baca koran. Bukan koran Suara atau Apakabar, lha wong dia gak bisa baca bahasa Indonesia. Pokok e koran dalam bahasa singkek gitu,"

Srinthil menarik nafas, kami merasakan hawa panas, kekecewaan dan kemarahannya meletup-letup kembali.

"Singkatnya mbak Ri, gara-gara Levy dia terminit aku."

"Ha?? Jadi ada babu baru gantinya kamu yang bernama Levy gitu ya? Jenenge apik men, anak PL(Philipina) ya?" buru Liya.

"Liya, nek katrok ki aja nemen-nemen tho! Masak kamu gak denger adanya isu levy di Hongkong sini?" kata Miya menyela.

"Isu levy apa mbak Ri?" tanya Liya padaku.

"Keputusan pemerintah Hongkong yang memungkinkan majikan untuk tidak perlu membayar levy atau pajak hingga 47 bulan, ini berlaku mulai 1 Agustus 2008," jawabku. Ada tuh beritanya di koran-koran," tambahku pula.

"Hai meh? Ada berita kayak gitu? Kok aku gak ngerti ya," kata Liya malu.

"Lha wong Liya ki nek entuk koran gratis cuma buat alas duduk saja kok mbak yu, makanya ada berita tentang bapaknya yang menyanyikan lagu cucak rowo juga dia gak ngerti blas," komentar Srinthil.

Wajah Liya semburat merah menahan malu akan kegagapan informasinya. Melirik ke bawah kakinya dan malunya bertambah seketika demi dilihatnya berita utama yang bertajuk "Di Ujung Tanduk" tulisan dari mbak Santi, penulis hebat itu. Koran yang tertanggal 9 agustus itu di dapatnya dariku pagi tadi. Kini halamannya pun tak lengkap lagi, sedangkan gambar wajah seorang bintang film merangkap sutradara yang berada di pojok kanan halaman itupun sudah hilang jidatnya karena koran tersobek di bagian itu.

"Lha nek aku di terminit hanya gara-gara levy itu khan sama aja ma bapakku terkena ejakulasi dini tho mbak. Dia pikir dengan terminit aku trus ngambil babu baru, dia jadi terlepas dari levy, ngirit gitu. Gek aku di pecat kuwarasan aliase tanpa pesangon mbakyu, aku jadi korbane levy iki mbakyu," mata Srinthil terlihat diantara rasa kecewa dan sedih tak terhingga.

"Golek maneh tho Sri, lha dirimu khan wes pengalaman ngosek WC dan ngelus-elus lantai gitu. Kamu jaga anak juga bisa khan?"

"Golek bos anyar wae Sri. Wong bos mu pelit medhit mecukil gitu aja kok. Paling-paling nek dirimu bertahan kerja ma dia, gajimu ya di sunati terus," khidmat Chamid.

"Cik gampang men olehmu ngomong? Lha nek agennya nanti motong gajiku lagi piye?"

"Laporke nuh, katane KJRI menjamin nek yang korban terminit karena levy gak bakalan mbayar apapun. Njajal bener pa nggak itu," Hindun menimpali.

"Njajal?? Lambemu kuwi!! Wes jan nasip...nasip... Lha kok Levy gawe gara-gara," gerutu srinthil mengakhiri ceritanya.



Simbah dan Rambut Hitam Putih

Simbah saya yang buta bertanya tentang warna rambut saya.

Saya tak pernah berpikiran untuk mempunyai warna rambut lain selain hitam, tidak juga putih. Bukan berarti saya menolak untuk menjadi tua, karena untuk menua bukankah sudah takdir bagi sesiapapun juga? Bapak saya yang waktu saya SD dulu masih terlihat muda dan gagah sekarang sudah membungkuk, keriput, tua dan berambut putih. Tidak juga Elizabeth Taylor berhasil menyembunyikan diri bahwa dia menua. Tidak seorangpun!

Tapi budaya pengeyelan saya mengatakan bahwa warna rambut itu ya hitam, dan hanya hitam.

Lalu ketika simbah saya yang buta lewat telpon tadi bertanya kepada saya tentang warna rambut saya, kenapa saya tiba-tiba gugup?

Pertanyaan simbah yang wajar saja, termasukpun dalam kategori pertanyaan yang lugu kalau ditanyakan pada kebanyakan orang, tetapi berbeda arti kalau pertanyaan itu diberikan kepada saya. Mungkin banyak orang menganggapnya sebagai pertanyaan yang konservatif tetapi tidak sedikitpun saya menganggapnya demikian, tidak sama sekali. Walaupun si empunya pertanyaan adalah sosok kuno yang kolot. Yang masih percaya kalau setiap daerah mempunyai danyang(penunggu), yang masih percaya kalau dia adalah cucu dari cucunya ki ageng Selo(tokoh jawa yang terkenal karena berhasil menangkap petir), yang masih percaya pada jampi-jampi dan rapalan, yang masih percaya bahwa suwuk tolak angin dan tolak belek(doa penolak angin & penolak sakit mata)-nya masih ampuh.

"Rambutmu ndak isih ireng nduk? Rambutku wis putih memplak, sepurane sing akeh yen tho ana rambut putihku sing ora mutihi(Rambutmu apa masih hitam, nduk? Maafkan kalau rambut saya yang putih ini tidak sebenarnya putih)," kata simbah.

"Degg!"

Jelas sekali simbah ingin mengajak saya untuk berfikir. "Rambutmu ndak isih ireng" dan "Rambut putih sing ora mutihi" tentu mempunyai arti kiasan bukan sekedar melulu sebagai pertanyaan atas warna rambut saya dan permintaan maafnya atas warna putih pada rambutnya tidak seputih warna putih.

Dulu, ketika saya masih SD simbah saya pernah memberi wejangan yang membekas sekali di hati saya, bahwa warna rambut adalah simbol dari keserderhanaan dan kearifan(hitam dan putih). Menjalani hidup dengan kesederhaan. Dan sejalan menuanya umur, kearifan dan kebijaksaan kita dituntut untuk memilih dan memutuskan hidup.

Nah, yang berat adalah yang bagian kedua(kearifan dan kebijaksanaan). Sampai sekarang saya belum merasakan itu ada pada saya. Emosi lebih sering menguasai.
Mungkin itulah dasar saya untuk beranggapan bahwa warna rambut itu hitam.

Dilain makna tentang warna rambut...
Tidak saya pungkiri kalo saya mengagumi warna rambut dari Tamara Blezinky ataupun punkers dari Jerman yang posternya melekat di pintu kamar saya.

Memiliki warna rambut lain selain hitam juga tampak bagus bagi beberapa orang kawan saya(TKW-HK). Asal tidak sekedar terlalu memaksakan diri karena trend mode saja. Tapi setidaknya disesuaikan dengan karakter wajahnya. Tapi bukan untuk Rie, karena bagi Rie warna rambut ya hitam.



Lagu-lagu di Puasa dan Lebaran

Puasa dan lebaran selalu membawa kerinduan yang membuncah padaku. Aku merindukan suasana puasa dan lebaran di desaku bersama keluargaku.

Sebulan telah kulalui dengan indahnya. Kebiasaan makanku yang seperti kalong/kelelawar yaitu makan di malam hari saja membuat bosku membiarkanku melakoni puasa. Namun satu hal yang yang selalu menjadi ganjalan hatiku adalah selama tiga tahun bekerja dengannya tak sekalipun aku mendapat libur di bulan puasa atau bulan lebaran. Segala alasan dan kesibukan bos seakan bertumpu di kedua bulan tersebut. Selalu saja ada kawan-kawan bos yang datang ke rumah di setiap hari sabtu dan selalu saja ada acara di setiap hari minggu. Kesemuanyanya itu membuatku praktis tidak bisa libur dan atau merayakan lebaran bersama kawan-kawanku. Ah jangankan merayakan lebaran bersama mereka, menelpon ataupun sms saja aku hampir-hampir tak punya kesempatan.

Dan sungguh malam ini aku tak bisa tidur. Jarum panjang berkali-kali mengitari jarum pendek di dinding kamarku, berdetak setiap satu kali satu detik atau enam puluh kali setiap satu menit. Hingga menit ke seratus dua puluh di hari pertama belas bulan kesepuluh tahun 2008 itu, mataku tetap terbuka lebar meski tubuh telah penat nian menahan letih.

Dan bagaimana mungkin aku berterimakasih kepada langit yang telah memberiku malam kalau malam yang ada waktu itu aku hanya meringkuk sendiri di tengah pilu dan galaunya hati, tak berteman.

Puluhan sms berupa ucapan selamat lebaran dan minta maaf terkirim padaku namun giliran aku hendak membalasnya tak satupun dari smsku yang terkirim, semua pending. Malam lebaran juga hari lebaran pastilah lalu lintas pertelekomonikasian antara Hongkong-Indonesia teramat sangat padat. Berjuta-juta sms pasti hilir mudik Hong Kong-Indinesia, Hong Kong- Korea, HongKong-Malaysia, Hong Kong-Jepang.

Aku membolak-balik tubuhku, gelisah. Hari itu laptop pinjaman dari bos yang biasanya menjadi penghiburku itu justru menambah pilu dan nelangsanya hatiku. Dimana-mana ada berita tentang takbiran, mudik, santapan lezat, semuanya berbau lebaran. Sedang aku sudah dipastikan tak akan mendapat libur di keesokan harinya, padahal rabu ini adalah pas di hari lebaran dan kebetulan juga hari libur di Hongkong.

"Ya Allah turunkanlah keajaiban padaku," doaku sendiri.

............

Hey! Apa ini? Bantalku basah sekali, iler atau tangisku yang semalamkah? Aku gelagapan bangun mendengar pintu yang diketuk keras, waktu itu sudah jam 8 pagi, dan aku belum membuat susu untuk Katelyn, alamak!!

"Cece, make nai nai(susu) please?" perintah bos lakiku sambil mengetuk pintuku.

"Oh sorry," jawabku.

Bosku menungguku membuat susu, aku malu. Malu karena bangun kesiangan dan malu karena belum sempat cuci muka. Entah bagaimana gambar wajahku saat itu, mungkin juga sebuah garis putih bekas iler tergambar di pipiku, duh.

"Why? Your eyes swollen, why?" tanya bosku dalam herannya.

"Nothing. Couldn't sleep last night. You know, today is my new year," jawabku.

"Oh Happy New Year," kata bosku.

Aku hanya tersenyum kecut.

"Are you not happy?"

"I am OK," jawabku ragu.

"OK, let me talk to Mrs. Wong, may be you can get your day off today coz' we are going to Disneyland with Adelle, not using our car. So maybe it'll be too many people," katanya kemudian berlalu meinggalkanku membawa sebotol susu bersamanya.

Ada sedikit kelegaan yang mengalir di dadaku. Oh seandainya aku nanti diijinkan libur....oh semuga.

Aku teringat sms Chamid, temenku, semalam," SLI, nek km lbr pakek rok ya, awas kalo pakek jeans! Dan aku menjawabnya, "Kaeknya aq ga lbr, tp nek lbr nnt aq janji pakek rok deh."


"Cece!" panggil Mr. Wong, bos lakiku.

"You can have your holiday today," katanya.

"Oh thank you, can I go now? Because
hari ini kami sembahyangan," pintaku.

"Oh sure, enjoy your holiday, be happy, Ok!" kata Mr. wong.

"Ya, thanks," jawabku.

Segera saja aku sambar Hp ku mengirimkan sebuah sms pendek kepada teman-temanku, untung saja sms itu myampai.

Dan hari itu aku bertemu dengan sekian banyak teman-temanku, bercerita, berbagi ridu juga bermaafan. Tapi payahnya mereka menjahiliku karena hari itu adalah hari pertama kalinya aku memakai rok, hehehe...

Jugapun berhasil menelfon kakak dan emakku di desa sana.

Minal Aidzin wal faidzin, maafkan lahir dan bathin ya...



post signature