Galau?

huuhuuhuuuu...

Semangaaaaatttt..!

Love your job and be proud.

Iyes!

Bekerja sambil belajar.

Masih galau lagi?

No! No! No! Be happy laahhh...!

Ayo ngeblog!

Masa kalah sama Babu Ngeblog?

Winter with Mr. Tarmedi

***Bear it! I wrote this post in broken English!

I am trying to write a note in every other day (though last night I have posted) to keep my self occupy. It has been very cold days. The blanket & pillow are seemed more interesting than a laptop or an android phone. The wind often blows hard. It goes through the layers of clothes and through our bones. And as a compliment, the rain makes the days even worst.

But my friends & I (note: we are domestic workers in Hong Kong) have got to be stronger than winter. We are playing a co-star in every daily movie. We are the lady behind the success man. Well, we have people depending on us, laying great help or hope (as well as burden) to us. And to do such a job, we've got to keep healthy as well as happy.

Our boss might be in the bedroom watching TV or having longer nap time. But just look at those piles of dirty clothes in the loundry basket and on the washroom floor or look at how messy the house can be. And how about breakfast, lunch & dinner to serve? Or clothes to iron and baby to feed? Also marketing and (not to forget) moping and grooming the dogs? We definitely are not entitled for having such a lazy day in any season and any reason. Be it rain or fall or summer or winter, the job must be done. It is the same amount of HK$ 3.920 in every month, means the same things to do every day, no less, but can be more.

To keep healthy, may be it's all about the food we eat. But one of the reasons to keep happy is sending messeges to a friend or multiple friends in one group under the generosity of whatsapp, line, BBM for Android etc. It is free (for now) and easy. It doesn't take much time also.

We often talk about our self, our boss, our "man", our holiday, future, business or married & family planning. Further more, we discuss about many different news, from Indonesian domestic worker's news to Jokowi, SBY and Mr. Tarmedi.

Ok, so this (Mr. Tarmedi) is the latest news that has inspired me to write in English (forgive my wrong grammar pls). And because of this news, my friends went crazy (but it is a good way of craziness of course). We write messeges in English. We hope that we'll be better one day, getting more fluently and confidence through wrongs and errors.

But there are two different confersations I have made with completly different type of friend. And both make my days brighter and lighter. It's...it's fun way of learning. With little bit of twist and little bit addition here and there (include mixing the language). It is bizare but hilarious! Check it out!



 




Did you find it funny? I did and still do! Lol...

note:
nganfen (bahasa Kantonis)=sleepy
codauu(bahasa Kantonis)=good night

Bila Emak Kirim Mangga ke Hong Kong

Jasa pengiriman barang BAI menggerutuiku karena aku gagal mengambil paketan pada hari Sabtu.  BAI juga mengkhawatirkan paketan yang berisi makanan itu akan busuk bila terlalu lama di gudang pengambilan. Berhubung Sabtu aku tak jadi libur, maka baru keesokan harinya aku sempat mengambilnya, itupun setelah berlari-lari menyerahkan pesanan online kepada kostumerku dari satu titik ke titik lain (masih di daerah Causeway Bay-untuk kisah jualan onlineku ini mungkin akan kutuliskan nanti).

Aku menggeret salah seorang kawan yang jarang banget libur. Menggeretnya, memegang erat tangannya hingga dia tak bisa menolak untuk berkata tidak untuk mengikutiku (sukurin Wiek, haha..!). Kemudian bersamanya aku menuju gudang pengiriman barang, menyeret sebuah kardus lalu membukanya persis di lorong apartemen.

455 dolar, pikirku.

"455 dolar," gerutuku.

"Iki apa wae ta Wiek kok sampek meh 500 dolar ki," kataku pada Awiek.

"Astagfirullah, akeh men. Gek paket pelem wae kok sampek 750 ewu lho, kaujo aaa...!" gerutuku.

23 buah mangga, 2 kilogram sambel pecel dan seplastik enjet (batu kapur yang sudah dilunakkan) terdapat di kardus bekas kardus Indomie itu. Saat kuterima pada Minggu (15 Des'13) lalu, kerdus itu sudah lembek, basah, bau dan berminyak. Tiga di antara mangga-mangga itu sudah busuk. Sebelas lagi gembuk, selebihnya tidak begitu ok tapi juga tidak begitu gembuk.

"Nyenengke wong tua, Mbak. Jenenge wong tua pengin ngirim anake lho. Piye maneh, ya ben lah," bujuk Awiek.

Aku masih membayangkan biaya pengiriman sebesar 455 dolar alias 750 ribu. Betapa besar uang itu bagiku. Aku membayangkan ketika aku butuh setidaknya 2x5 hari ngepel lantai, 5x5 hari ngosek WC ditambah belanja, nyuci pakaian, masak plus diomeli majikan. Aku membayangkan betapa aku akan kehilangan kesempatan ikut kursus ini dan itu dengan uang itu. Aku membayangkan betapa...

"Lha timbang dipakek buat mbayar biaya pemaketan, 750 ewu lho bisa buat tambah transfer dhuwit emak," gerutuku lagi.
"Di sini mau makan mangga lho tinggal ke pasar beli yang 30 dolar udah dapet guedhe. Itu lho buat beli di sini udah dapet 15 buah lebih. Lagian siapa yang mau makan mangga sebanyak ini? Pengin mencret apa? UUgghhh...!" tambahku.

"Mbaak...nyenengke wong tua, Mbaaakkk!" kata Awiek lagi, nadanya sedikit meninggi tapi dengan ujung bibir tertarik ke atas.

Aku tak habis pikir, apa sih yang emak pikirkan saat mengirim paketan ini? Aku geram, aku ingin marah pula. Tapi sewaktu aku dial nomer telpon bapak (bapak yang merawatku), beliau tak menjawab panggilan telponku. Dan saat aku menelpon mbak Titik, kakakku, dia sedang sibuk.Olala!

Lalu kulimpahkan marahku pada Awiek. Kupasrahkan empat buah mangga padanya dengan harapan bisa mengurangi bebanku, ternyata paketan itu berat, seberat 13 kilogram, belum ketambahan paketan lainnya dan barang daganganku dan berkah hujan pada hari itu. Dan kembali harus kurayu-paksa Awiek untuk membantuku membawa pulang (ke rumah bos) barang-barang itu.

Lalu...

Hari Selasa (17 Des'13) aku baru berkesempatan menelpon bapak. Dan sewaktu kukatakan bahwa paketan itu telah sampai dan telah aku nikmati, beberapa cerita mengalir lancar tanpa aku mempunyai kesempatan untuk memenggal atau menyela.

Beliau bercerita bagaimana emak membeli kacang langsung dari petaninya kemudian dikupasnya lalu menungguinya saat kacang-kacang itu dijemur. Menggorengnya lalu membawanya ke pasar untuk diselep (dan harus satu jam menunggu giliran). Beliau menceritakan bagaimana beliau mengambil mangga. Mangga itu setelah dipetik langsung dimasukkan kardus. Dipilih yang bagus-bagus, besar-besar dan yang paling tua. Bapak yang biasanya mengunduh mangga dengan gotek mendadak harus memanjat pohon mangga yang penuh dengan semut krangkang. Lalu beliau juga menceritakan kehebohan saat mangga-mangga dan sambel pecel itu dikemas dalam kerdus.

Aku tersenyum, ternganga, terpana dan entah ter-ter apa lagi. Yang jelas cerita-cerita itu kurasakan lebih hebat dari pada kehilanganku atas 455 dolar atau 750 ribu. Cerita-cerita itu begitu penuh dengan cinta dan ketulusan dari orang-orang yang mencintaiku (dan kucintai). Cerita-cerita itu begitu penuh tenaga, penuh semangat dan membuatku hangat.

"Takkirimi akeh, ben awakmu isa melu ngrasakne, ben kancamu ya isa melu ngincipi," kata bapak.

O, jadi itu toh alasan bapak dan emak mengirim sedemikian banyak mangga dan sambel pecel. Katanya kalau yang 10 buah busuk, masih ada 13 buah yang baik yang bisa aku makan bersama kawan-kawanku (dan memang juga aku bagi-bagikan kepada kawan-kawanku).

Pribadi-pribadi yang sederhana itu entah berapa kali telah membuatku kalah. Betapa cara pikir mereka yang simple, melihat sesuatu dari sisi lain, membuat sesuatu yang kurasakan berat sebenarnya/menjadi tak terasa.

Dan sewaktu telpon itu kuakhiri, tak sedikitpun aku menyinggung besarnya biaya pemaketan yang harus kubayarkan. Bukankah semua sudah terbayarkan lunas dengan cerita-cerita itu? Sudah tak membebaniku lagi.

breakfast, lunch, dinner: sambel pecel plus dessert mangga selama seminggu!



***pesan moral: cinta itu mahal maaakkk...!


Dikira Memplagiat Cerpen Anak

Cerita lama...terulang lagi...
Kalau sebagian dari konten di blog ini dicopy dan dikirim ke media itu sudah sekian kali, sekian lama pula. Padahal bagiku apa yang aku tulis di blog ini cuma umuk, wadul atau rasan-rasan. Kalaupun ada sesuatu yang lain yang berupa opini atau fiksi sebagian pernah dimuat di buletinku (yang aku buat bersama kawan-kawan organisasiku). Atau fiksi (puisi/cerpen) yang kebetulan laku nangkring di majalah/koran di Hong Kong. Atau mungkin sebagian tulisan dalam bahasa Jawa yang kebanyakan pernah dimuat di majalah Jaya Baya dan Panjebar Semangat.

Ada satu cerita lucu yang ingin aku tulis di sini. Ketika aku mudik pada lebaran kemaren ada seseorang yang mengirim inbox di FB-ku. Inbox tanpa kata-kata itu hanya berupa dua gambar. Ini pun aku ketahui setelah aku kembali ke Hong Kong (enggak internetan selama cuti sebulan di rumah).

Awalnya enggak begitu mudeng dengan apa yang dimaksudkan beliau. Dua foto tentang cerpen anak dalam bahasa Indonesia dan cerpen anak dalam bahasa Jawa, apa maksudnya? Hari berikutnya baru aku sadari ada "sesuatu" dari maksud pengiriman dua foto tersebut. Bahwa secara halus beliau sedang mempertanyakan keaslian dari tulisan cerita anak berbahasa Jawaku. Untuk lebih jelasnya simak dua gambar berikut:

Pada gambar pertama adalah cerpen anak berbahasa Jawa yang berjudul "Coro Boyongan" karyaku yang dimuat di majalah Jaya Baya pada JUli 2013 sedang pada gambar kedua adalah cerpen anak berbahasa Indonesia yang berjudul "Setelah Kamar Bersih" (tertera) karya Umi Kulsum yang dimuat di Kedaulatan Rakyat pada April 2013.

Coba sekarang cermati dua cerpen tersebut. Apa yang Anda temukan?
Ya! Cerpen anak itu sama persis! Hanya bahasa dan nama tokohnya saja yang berbeda.

Ok, sampai di sini mungkin Anda akan beranggapan sama dengan seseorang yang mengirim inbox di FB-ku kemaren dulu, iya khan? Beranggapan bahwa aku meniru cerpen di koran itu kemudian cuma mengalihbahasakannya saja, khan? Ya wajar saja. Itu karena bulan terbitnya beda. Cernak "Setelah Kamar Bersih" terbit tiga bulan lebih awal dari pada cernak "Coro Boyongan".

Lalu coba bandingkan dengan cernak saya dengan judul "Kecoak Pindah Rumah" yang ada di http://babungeblog.blogspot.hk/2012/12/cerita-anak-kecoak-pindah-rumah.html.

Bagaimana?

Sama persis ya?

Coba perhatikan tanggal posting cernak "Kecoak Pindah Rumah"

taraaaaaaaaaaa....!

14 Desember 2012 !


Masihkah Anda beranggapan sama? Hehehe...

Cerpen Kecoak Pindah Rumah pernah aku ikutkan lomba menulis cerpen ala Bobo tapi di-diskualifikasi karena dinilai temanya sudah umum. Aku pikir sih dari pada mubazir khan mending dipajang di blog gitu. Dan baru setahun kemudian kepikiran mengalihbahasakannya dalam bahasa Jawa lalu mengirimkannya ke majalah berbahasa Jawa, Jaya Baya, yang ndelalah kok ya laku dan dimuat. Lha mana aku tahu kalau ternyata cernak yang sudah di-reject itu bisa didaurulang kemudian dilempar ke koran dan kemuat? Lha wong lihat koran Kedaulatan Rakyat aja belum pernah je, gemana mau niru coba?!

Belum rejeki kali ya? Hehehe...
Eh rejeki nomplok juga sih karena udah dirasanin (jelek) dan disangka "anu" sama redaktur majalah dan seorang bapak yang menginbox aku. Udah gitu mau membela diri juga siapaaa yang bakal percaya, secara profesiku aja enggak meyakinkan, haha....!


**pesan moral yang aku dapat: Kembali ke tujuan ngeblog: wadul, rasan-rasan & umuk. Jangan posting fiksi :D


Malpraktek Salon

Foto di toilet setelah rambut dibabat.
Kejadiannya pada Minggu, 17 November 2013. Hal berbau wanita yang aku benci adalah masuk salon. Selain karena bau obat-obatan rambut yang menyengak, aku selalu dinomorsekiankan lantaran aku cuma mau potong rambut. Lhah mau apa coba? Aku bukan golongan wanita yang sabar duduk berjam-jam menunggu hairdresser menggarap rambut.

"Mau lurusin ya, Mbak?" tanya mbak yang lagi promosi di depan salon ketika aku menekuni price list di depan salon.

"Potong," jawabku pendek tanpa menoleh.

"Murah kok, Mbak. Potong cuma 78 dolar," katanya dengan sedikit mendorongku masuk ke salon itu.

Satu menit setelah itu sang pemilik salon menghampiri sambil membawa jubah, dikenakannya padaku dengan sedikit rayuan.

"Lei yiu tim a, Leng loi (kamu mau apa, cah ayu)?" tanyanya.

"Cin daufat. Canhai cin ka (potong rambut. Cuma potong saja)," jawabku menegaskan.

"Kok yau hou tik kepo. Lei ko daufat tapik kon a, Leng mui (disteam minyak lebih bagus lho. Rambutmu agak kering, cah ayu)," jurus bulus dimulai.

"Enggak ada waktu, enggak cukup uang.Cuma potong rambut boleh nggak?" tanyaku yang lebih tepatnya menegaskan kepentinganku.

"Taaak. Boleh! Sini, duduk sini dulu ya," katanya sambil menggiringku ke pojok salon.

"Hamai 78 man a (78 dolar khan?)" tanyaku.

"Haiya, haiyah. Mo jo (Iya, iya. Gak salah)," jawabnya meyakinkan.

Sepuluh menit aku berada dipojok sambil mendengarkan lagu-lagunya Jangan Asem & Rotra yang lucu menggelitik. Biasanya aku orang yang sabar. Tapi kebiasaan itu tidak berlaku di salon. Aku berdiri lalu mengamit lengan wanita yang adalah supervisor salon itu.

"Cece, kapan giliran saya? Masih lama? Kalau lama saya pindah salon depan aja deh, mumpung belum diapa-apain," kataku.

"Ok, ok, ok. Ini giliranmu kok, yuk naik," katanya menunjukkan jalan ke lantai satu. Kemudian aku disuruh duduk di tempat nyuci rambut (apa tuh namanya?). Dan duduklah aku di sana.

....lima menit, enam menit, delapan menit, sepuluh menit...

"Tak me aaaa (udah belum sih)?" tanyaku lagi pada supervisor yang kebetulan nyliwer di depanku.

"Tak tak tak... (ok, ok, ok)," jawabnya. Dia sendiri yang kemudian mencuci rambutku.

Setelah itu aku kembali digiring ke tempat eksekusi potong rambut.

 Wanita-wanita duduk berderet-deret. Di tangan mereka tampak sebuah HP touchscreen dengan merk ternama (entah asli, entah KW). Wanita-wanita yang desperate untuk tampil lebih cantik itu duduk di samping kanan-kiriku, tak sedetik pun menoleh padaku.Wanita-wanita yang aku tahu adalah seprofesi dengan aku, babu kualitas ekspor.

...rebonding, colouring, perming, highligting...

Bau obaat-obatan campur aduk.

"Klik, ceklik, klik, ceklik, klik," suara gunting dan suara kamera beradu.

Asap mengepul dari rambut yang disetrika.

Uap mengepul dari steamer yang sedang mengkondisi rambut (yang katanya) supaya lebih sehat.

"Hihihihi..hehehe...wkwkwkwk," tawa kecil dari mbak-mbak yang melototin HP.

...lima menit, enam menit, sepuluh menit...

"Koko, pingko pong ngo cin daufat a (mas, siapa yang akan memotong rambutku)?" tanyaku pada haidresser sebelah.

"Sabar ya, itu Koko sebentar lagi selesai kok. Hari ini ramai banget sih," katanya.

Ya iyalah. Minggu gitu loh! Semua TKW di Hong Kong rata-rata libur hari Minggu. Dan salon ini berada di jantung Kampung Jawa-nya Hong Kong di ruas jalan Sugar street, Causeway Bay. Coba kalau hari biasa.

....sepuluh menit kemudian....

Cute ya,xixixi...
Seorang hairdresser mendekatiku lalu mengajakku pindah kursi.

Damn it!

"Siong yiu tim a (Ingin gimana)?" tanyanya ramah.

"Cin daufat. Potong rambut. Cuma potong saja, enggak pakek lain-lain. Potong pendek seperti ini," kataku sambil menunjukkan gambar yang aku buat di HP dengan bantuan aplikasi momentcam.

"Tak em tak a (bisa nggak ya)?" tanyaku.

"Bisaaa. Yang penting khan ada rambut," jawabnya sambil ketawa. Aku tertawa.

lho kok jadi gini???
mbak-mbak sebelahku

...klik, klik, klik..kress...

Mbak disebelahku mempunyai rambut panjang yang subur. Dia sedang diwarnai rambutnya, maroon.

Pemilik salon naik lantai satu, mungkin lagi menilik. Hairdresser mbak sebelahku berbisik pada pemilik salon.

"Yatko emkau a (satu saja enggak cukup)," katanya.

"Kaulah. Siong yiu keito cek (Cukuplah, mau segimana sih)!" jawab pemilik salon kemudian keduanya berbisik-bisik lebih lembut lagi, aku hampir tak kedengaran tapi aku tahu inti permasalahan mereka. Bahwa obat rambut yang digunakan untuk mewarnai rambut mbak sebelahku sepertinya kurang tapi pemilik salon bilang cukup atau disuruh nyukup-nyukupin. Bah!

Payahnya dua orang mbak di sebelahku ini enggak bisa berbahasa Kantonis. Yang mbak lagi mewarnai rambut maroon itu komunikasi dengan majikan dalam bahasa Inggris sedang mbak sebelahnya lagi, yang mau nglurusin rambut dan mewarnai itu berkomunikasi dengan majikannya dengan bahasa Mandarin. Olala! Ini aku ketahui dari si mbaknya sendiri yang sedikit ngobrol denganku setelah aku sedikit eyel-eyelan dengan hairdresser.

Setelah pemilik salon turun hairdresser sebelah memasukkan rambut mbak ke dalam mangkok isi obat pewarna, padahal mangkok itu sudah kosong. Aku menyeletuk, "Ih kayaknya kurang deh obatnya."

"Enggaklah. Ini namanya pas. Cuma jangan memboroskan aja, jadi rambutnya aku masukin sini biar semua obat kepakek," jawabnya enteng.

"Tanhai dausin tu o dengto lei dong lei lopan kongye kepo (tapi tadi aku dengar kamu sama bosmu ngomong lho)," kataku.

Spontan wajahnya memerah.

Hairdresser yang lagi memotong rambutku menimpali, "Kalau menurutmu enggak cukup ya protesnya sama bos lo, sama pemilik salon. Lha kamu tadi denger sendiri dia bilang cukup khan?" katanya.

"Waah...kita ngasih segitu banyak uang lho, itu khan persetujuan awal, sesuai price list," kataku.

"Lhah protes sama pemilik salon aja lo," kata hairdresserku.

Lucu. Aneh. Menggeramkan. 

Apakah aku nosy? Mungkin.

Lalu ini kasus mbak sebelahnya (yang mau nglurusin dan mewarnai rambut). Lhah di sini aku dimintai jadi penerjemah (karena mbaknya gak bisa ngomong pakek bahasa Kantonis). Rambut si mbak ini banyak dan dulunya dikriting dan diwarnai coklat. Sekarang dian mau ganti mode, mau direbonding plus diwarnai warna lain. Oleh supervisor, si mbak ini disarankan untuk memberi hair lotion plus merapikan rambut (ya dipotong dikitlah) plus diwarnainya pakek warna yang sama. Jadi total pembayaran 699 dolar, ya karena plus di-hair treatment & lotion dan plus potong (padahal di price list-nya cuma 299 dolar untuk mewarnai dan meluruskan dan sebenernya si mbak itu ya cuma mau nglurusin sama mewarnai doang). Sebagai penerjemah, aku menjelaskan kepada mbaknya. Mbaknya mudeng tapi ngedumel dengan harga akhir yang lebih dari dua kali lipat, terlebih tentang warna rambut yang enggak boleh ganti warna lain.

Walhasil menggerutulah dia dengan pemilik salon. Eh saat si mbak menggerutu, mbak yang sebelahnya lagi nyeletuk, "Aku iya a. Tadi di bawah katanya 299 tapi trus katanya tambah ini itu, jadinya ya 699 dolar."

Whaaaatttt???? Buseeetttt! Malpraktek salon nih!

Kasus-kasus di atas sering kali terjadi. Yang menjadi pemicunya adalah misscommunication dan kurang tegasnya kostumer salon. Kendala bahasa ini bisa menyebabkansi mbak tidak mengerti akan apa yang dimaksud dengan hairdresser. Sewaktu hairdresser bilang ini itu maka si mbak mengangguk saja (padahal gak mudeng sepenuhnya). Ya hairdresser sih enak aja karena dengan semakin banyaknya hair treatment semakin banyak pembayaran. Dan sebagai hairdresser yang dinilai mempunyai kemampuan dan pengetahuan tentang rambut, apa yang disarankan olehnya terdengar rasional. Padahal itu adalah cara mereka menambah income. Itu namanya "glembuk Solo".

Pun ketidaktegasan si mbak dalam mengatakan keinginannya sesuai harga price list sering menyebabkan pembengkakan pembayaran. Khan tidak lucu kalau pada akhirnya harus nelpon teman untuk utang duit karena uang di dompet tidak cukup untuk membayar bill.

Di Hong Kong ya seperti itu. TKW adalah sasaran empuk untuk dibujuk. 

Enggak mau kena malpraktek salon di Hong Kong? Ya harus tegas sejak awal masuk salon. 

Di Indonesia kayak gini juga gak ya?


**percakapan antara aku dan pemilik saloa, supervisor salon dan hairdresser dalam bahasa Kantonis.



Babu Dilarang Sakit Gigi

Bosku itu akan merasa aneh kalau aku diam. Karena aku biasane cerewet bukan main. Sejak semalam aku cuma mengangguk atau menjawab "ok" saja. Enggak bercanda, enggak menanya-nanyain tentang liburan mereka di Phuket, enggak complaint tentang cucian dua koper. Sakit gigi gini aku jadi males ngomong. Dan pagi ini, sebelum Nyonyah bos pergi ke kantor, ada percakan singkat yang nyebelin.
 
Nyonyah: "Why are you so quiet?"

Babune: "I am having a toothache."


Nyonyah: "Why are you having a toothache again?"


Babune: "Because I have teeth."


Nyonyah: "Do you know how to brush teeth properly? Do you brush your teeth at night before you sleep?"


Babune: "I know, I do."


Nyonyah: "But why are you having a toothache?"


Babune: "I have teeth."


Nyonyah: "Do you remember last time when you had root canal infection? Do you remember how much does it cost? I have told you, you can not get sick. I need you to look after Pompi and cook and clean the house and iron and talk and alot of other stuff."


Babune: .....mlaku menuju dapur lurus ke toilet dan... "Braaaakkk!!" Kututup pintu dengan kerasnya.


Nyonyah: "I am not done yeeettttt...!!"


Babune: "To be continue toniiightttt. The nature is calling me to poopoooooooo...!!" (padahal ngutek-uthek hp ndek toilet)

Pasal-pasal:
Pasal 1. Babu dilarang sakit.
Pasal 2. Kalau babu sakit lihat pasal satu.


-----------------------

Ditulis di toilet pada Kamis, 24 Oktober 2013, jam 09.01, post by phone. 
Alcatel one touch 5030D

Kartika Puspitasari, Hong Kong Kecolongan, & Indonesia yang Gagal

Foto dari sini
Kartika Puspitasari, wanita yang berasal dari Cilacap ini mempunyai mimpi yang sama dengan rekan-rekan sekampungnya, kehidupan yang lebih layak. Untuk meraih mimpi tersebut wanita 30 tahun inipun rela meninggalkan keluarganya. Singapura menjadi negara pertama yang dijajalnya selama tujuh tahun. Namun setelah tamat dari Singapura dan bermaksud mengupgrade universitas kehidupannya di Hong Kong, ternyata neraka yang didapatinya.

Terhitung sejak 12 Juli 2010 Kartika resmi menjadi TKW Hong Kong dan bekerja pada keluarga Tai Ci Wa (majikan laki-laki, sales peralatan listrik, 42 th) dan Chaterine Au Yuk San (majikan perempuan, cleaning service Rumah sakit, 41 th).

Tiga bulan pertama dia mendapat perlakuan baik namun tidak setelah itu. Siksaan demi siksaan diterimanya. Tamparan di wajah dengan tangan atau hak sepatu kerap diterimanya juga sabetan rantai sepeda di punggungnya. Kartika yang hanya diberi makan sekali dalam tiga hari dengan makanan yang tidak layak ini juga mengaku pernah disetrika pada wajah dan pundaknya. Tinju di rahangnya juga menyebabkan beberapa giginya rontok. Tak hanya itu siksaan lain seperti dibenturkan kepalanya pada westafel, disayat tangannya dengan cutter juga diterimanya.

Lalu kenapa seorang yang pernah bekerja ke luar negeri selama tujuh tahun tidak juga sanggup memberontak?

Tekanan

Pada sebuah buku berjudul Mathilda karangan Roald Dahl, mengisahkan seorang kepala sekolah yang akan menghukum murid jika seorang murid melakukan kesalahan. Hukuman yang diberikan kepada murid itu seolah-olah tidak mungkin dilakukan oleh kepala sekolah karena dinilai mustahil. Hukuman yang teramat berat seperti membenturkan kepala anak SD ke tembok atau melemparkan anak SD tersebut dari jendela. Ya, seseorang tak akan langsung mempercayai bila seorang anak bercerita tentang sebegitu bengisnya kepala sekolahnya di sekolahan. Ditambah wajah angker kepala sekolah dan ancaman untuk tidak menceritakan kepada siapapun, hal ini menjadikan anak jadi takut bercerita, padahal kisah penyiksaan itu benar-benar ada.

Tai & Au, foto milik Mega Vristian
Seperti halnya dalam kasus Kartika. Saat majikan melarangnya untuk berbicara dengan orang lain dan tak segan-segan akan menghajarnya (dan benar-benar menghajarnya) kalau ketahuan berbicara sepatah katapun dengan orang lain atau saat majikan mengancam akan merontokkan giginya (dan sudah beberapa gigi rontok), maka ketakutan demi ketakutan akan tumpuk menumpuk. Dan tak sedikit orang akan meragukan kebenaran dari cerita tentang penyiksaannya. Belum lagi bayangan keluarga yang kelaparan karena menunggu kiriman uang. Sudah takut dengan ancaman dan tekanan dari majikan ketambahan pula dengan takut emak tidak bisa makan. Walhasil manut dengan majikan adalah jalan satu-satunya dengan harapan majikan akan memberikan hak atas gajinya.

Terlebih dengan ketiadaan passpor. Passpor yang menjadi identitas sekaligus nyawa dari Kartika selama di luar negeri disita dan disembunyikan majikan juga menyebabkan Kartika takut untuk memberontak.


Tak Berbekal

Ketakutan untuk memberontak ini juga kemungkinan disebabkan oleh minimnya bekal yang diperolehnya ketika masih berada di Indonesia. Lalu siapakah yang bertanggung jawab untuk membekali calon TKW? Ya seharusnya pemerintah dong!

Ketika seseorang memutuskan untuk bekerja di luar negeri sepertinya segala apa yang akan terjadi adalah tanggung jawabnya sendiri. Kurangnya kepedulian pemerintah dalam hal pengeksporan tenaga kerja ini tak urung berdampak pada kurangnya daya tawar/nilai TKW asal Indonesia.

Kata SBY, TKW dibekali dengan HP saat berangkat agar bisa melaporkan derita yang dialaminya. Ok, HP itu dibutuhkan. Untuk sms dengan emak atau suami atau telpon anak. lalu untuk melaporkan atas derita yang dialami TKW? Kendati HP sudah masuk dalam nota kesepahaman namun bagaimana bila saat masuk rumah majikan si TKW ini dilarang memakai HPnya? Nah presiden kita memang bukan pelawak tapi guyonan SBY yang telah lalu itu kalau dijabarkan bisa jadi tujuh hari tujuh malam bahkan tujuh tahun sekalipun masih bisa menimbulkan gelak tawa, ejekan.

Lalu bagaimana dengan pembekalan selama TKW berada di PJTKI (atau apalah sekarang namanya)? Pelatihan yang ada hanya setakat pelatihan memasak dan bahasa. Hal yang diajarkan hanyalah mengenai kewajiban seorang pembantu. Lalu pengetahuan mengenai haknya? Bagaimana? Oh, itu mah gak perlu diajarkan. Lhah kalau diajarkan bisa-bisa pembantu jadi pinter dong, gimana kalau semua pembantu ngeblog dan protes kepada pemerintah, hayo! Lagian khan pembantu pinter enggak cepat laku. Nah, inilah yang saya maksud dengan tidak mempunyai daya tawar/nilai. Pengetahuan tentang budaya lokal tidak ada, padahal ini penting sekali agar pembantu yang baru datang ke negara penempatannya tidak mengalami kejut budaya. Pengetahuan tentang apa yang harus dilakukan TKW ketika mendapati masalah di tempat kerja juga tidak diajarkan. Lhah cuma dikasih HP tadi lho!

Budaya Manut, Budaya Diam

Foto dari sini
Wajah-wajah TKW ditempel di pintu agensi di Hong Kong. Dijajakan seperti gorengan. Poster-poster juga disebar, ditawar-tawarkan seperti sabun colek.
"Get Indonesian Maid to do your daily needs! Cantonis speaking fluently, obidient, deligent, honest, cheap!"
atau seperti ini:
"Yannei kungyan a. Yau bheng leng cheng!" (Pembantu dari Indonesia. Murah, bagus dan memuaskan!)

Pembantu Indonesia itu dikenal manut, rajin, nurut dan murah. Manut kalau disuruh apapun hingga cuci mobil lima biji dan beres-beres rumah tiga tingkat juga manut saja. Disuruh memakai baju transparant dan pempers seperti Kartika juga manut saja. Nurut dan tidak pernah complaint, walau pinggang seperti mau putus dan mata berkunang-kunang setelah mengelap jendela yang tingginya dari lantai ke atap juga diam saja. Murah karena enggak usah nambah uang lembur, kerja 16 hingga 20 jam pun gajinya tetap sama.

Terlebih dengan masyarakat kita atau pola pikir kita yang sudah terdoktrin bahwa menjadi pembantu itu harus manut. Sebagai kelompok minoritas di negara penempatan yang disubordinasikan dan mempunyai pola pikir patuh dan manut ini pengkastaan/pengkelasan terhadap TKW tentu ada. Seperti majikan Kartika, mereka (Tai Ci wa & Au yuk Shan) yang merasa pada kasta lebih tinggi akan berpotensi untuk menyetir hidup pembantu yang berada pada kasta lebih rendah. Dan Kartika yang merasa berada pada kasta lebih rendah tertundukkan. Dia manut dan patuh. Apalagi dengan kondisi tangan dan kakinya terikat. Ya, Kartika akan didudukkan di kursi dan diikat tangan dan kakinya ketika majikan tak membutuhkannya dan akan dibuka talinya hanya saat majikan membutuhkannya.

Selain budaya manut, budaya diam juga melekat pada masyarakat (apalagi pada mereka yang merasa berada pada kasta rendah). Eh jangankan mereka yang merasa pada kasta rendah, lha banyak mahasiswa juga lebih memilih bungkam, enggan bertanya pada dosennya atau enggan mengeluarkan pendapat (aku yakin tiap orang mempunyai pemikiran yang berbeda atau setidaknya sedikit berbeda). Akhirnya diam itu ya bungkam, diam itu ya pembodohan pada diri sendiri. Seperti Kartika yang setelah dua tahun baru bisa minggat dan mengadu ke KJRI-Hong Kong.

Doktrin: Jadi TKW itu Gampang dan Banyak Duit

Ketika aku pulang cuti bulan lalu, tetangga-tetangga pada ribut tentang seberapa banyak uang yang aku dapat. Menurut mereka jadi TKW itu sudah gampang, enak, banyak duit lagi! Ibaratnya dihitung pakai kalkulator saja sampai enggak cukup digitnya. (Duit moyang lo!)

Doktrin seperti ini (heran deh banyak banget doktrinnya) membuat aku gerah juga. Apakah sulit membayangkan dua tahun pertamaku di Hong Kong? Saat itu ibaratnya saat aku babat tanah leluhur sebelum mendapatkan kepercayaan dari bos. Atau tahukah mereka bagaimana perasaanku saat majikan memaki-maki aku dengan alasan yang tidak kumengerti? Atau bagaimana aku harus berjumpalitan mengatur waktu belanja, bersih-bersih rumah, memasak, momong anak, jualan online dan nyolong waktu buat ngeblog? Hong Kong itu keras, hanya mereka yang bekerja keras dan bisa memanage waktu saja yang bisa bertahan. Tak pernahkah mereka berpikiran tentang itu?

Tapi kemungkinan juga doktrin bahwa jadi TKW itu gampang dan banyak duit itu juga yang tertanam di otak kami ketika kami memutuskan untuk mengadu nasib di luar negeri. Juga seperti Kartika, yang tak cukup dengan tujuh tahun di Singapura itu. Atau seperti saya, yang tak cukup dengan 8 tahun di Hong Kong ini.

Perlindungan Separuh Hati

Pemalsuan dokumen yang dilakukan oleh PJTKI sudah bukan rahasia lagi. Kendati demikian, belum ada itikad baik dari pemerintah untuk menata dan memperbaiki sistemnya sekaligus memperketat peraturan dan pengawalan terhadap PJTKI. Alih-alih melakukan itu, pemerintah malah memaksa TKW/TKI untuk membuat kartu KTKLN yang katanya sebagai alat untuk mempermudah dokumentasi. Bahkan pemerintah juga mengancam TKW/TKI untuk tidak bisa kembali ke negara tujuan bekerja tanpa mempunyai kartu KTKLN tersebut (padahal pembuatan kartu itu membutuhkan waktu dan biaya yang tidak sedikit).

Tindakan pemerintah semacam ini (memaksa & mengancam) tak beda halnya dengan majikan Kartika. Kalau Kartika berhasil melarikan diri dari majikannya kemudian melapor ke KJRI, memeriksakan diri ke dokter sekaligus melaporkan ihwal penyiksaan terhadap dirinya ke polisi. Yang kemudian ditindaklanjuti dengan tiga sidang yang digelar di lantai 7/F District Court, Wanchai Law Court, Wanchai tower, maka kepada siapa TKI/TKW akan melarikan diri ketika negara tak becus melindungi?

Dengan hasil dari sidang ketiga, Au dianugrahi 5 tahun 6 bulan penjara sedang Tai mendapatkan ganjaran 3 tahun  tiga bulan penjara, Kartika mungkin sudah mengikhlaskan putusan hakim tersebut. Namun selama 2 tahun tiga bulan, Kartika tak sekalipun mendapatkan haknya. Gajinya tak terbayarkan, liburnya tak terbayarkan, cutinya tak terbayarkan. Lalu bagaimana kelanjutannya? Siapa yang akan bertanggung jawab?

Tuntutan Kartika sebesar HK$117,272 (sekitar 175 juta rupiah) tak juga disinggung pada sidang akhir. Padahal uang itu sekiranya dapat menutup hak Kartika (sakit, siksa, trauma-tidak masuk hitungan). Kalaupun pemerintah atau KJRI Hong Kong (yang menjadi kepanjangan tangan dari pemerintah Indonesia) bisa membantu kasus Kartika hingga tuntas, itu akan menjadi prestasi yang sudah sewajarnya (ya wajarlah kalau negara melindungi warganya). Tetapi kalau tidak, sekiranya perlu jawaban atas tanda tanya besar ini: “Apa yang bisa pemerintah/negara berikan kepada warga negaranya yang sedang dalam masalah setelah sekian trilyun berhasil dikeruk melalui remittence?”

Seneng dan Sumpeknya di Blora

Sekian hari hidup tanpa internet biasa-biasa saja sih. Cuma emang blog jadi lumuten. Gak pernah BW, menjadikan aku seperti orang yang introvert pakek banget.

Tak berpengaruhnya dunia maya mungkin karena  seabrek kegiatan yang memenuhi jam ke jamku. Rumah yang kutinggal 2 tahun aja sudah seperti sarangnya Mak Lampir eh atau pula seperti kebun binatang liar. Kalong atau kelelawar berterbangan bebas di dalam rumah trus paginya tanpa sungkan meninggalkan tahi dan sisa-sisa buah-buahan yang sudah digerogoti di lantai rumah, ular menggeliat di lantai dapur, tikus-tikus seperti penghuni penjara yang dilepaskan tanpa syarat, bebas jungkir balik dan menghabiskan sofa dan tempat tidurku, kala jengking dan entah kala-kala yang lain berkeliaran tak punya sopan. Yah...kalau di Hong Kong kerjaanku bersih-bersih, maka sama pula denganku di rumah. Bahkan tidurpun aku mimpi nguras kamar mandi...uugghhh babu banget!

Keponakan kecil yang imut juga menyita perhatianku. Aku yang menolak tua ini menolak pula dipanggil budhe. Walhasil tiap hari harus brain wash si kecil dengan mengajarinya untuk memanggilku dengan sebutan "mbak", mbak i'i.

Aku juga mendadak menjadi banyak berhutang pada banyak orang. Orang-orang yang aku tak pernah mengetahuinya dalam silsilah keluargaku mendadak mengaku sebagai bulik dari bapak yang bapaknya mendiang bapakku atau simbah dari ibunya siapa yang masih sepupuku dan atau entahlah. Orang-orang mendadak menjadikan aku sebagai saudaranya. Orang-orang mendadak mengatakan betapa mereka telah berjasa padaku semasa aku kecil. Hal yang aku tahu persis adalah aku dibesarkan oleh bulikku dan simbah dan tak seorangpun tak mau mendekatiku karena saat kecilku dulu aku gudiken dan boroken. Apa karena aku mudik ya? Apa karena aku baru dari Hong Kong ya? Apa mereka mengira duit Hong Kong itu lebih lebar dari pada duit Indonesia ya? Entahlah.

Hal lain yang menyita perhatianku adalah acara belanja. Aku selalu pengin nangis dan marah. Bener lho. Ok, sekarang bayangkan aku yang sudah terbiasa memegang uang di Hong Kong dengan nol yang tak lebih dari dua, sekarang mendadak ada uang yang udah bentuknya lecek, nolnya banyak pula! Kalau urusan tawar-menawar mah jagonya, tapi pas urusan membayar terpaksa itu dompet diserahin ke bakulnya, nyuruh dia ngambil sendiri, sungguh!

Dan belanja yang adalah buat persiapan bancaan tentunya beratnya gak ketulungan. Tangan kanan kiri bawa tas kerdus-kerdus dan kalau bisa pungguh pun harus ditambahi dengan dunak/keranjang bambu yang nggendongnya pakek jarik tenun, persis kayak bakul pindang!

Ya bancaan. Suasana puasa yang selalu dipenuhi dengan berbagai "bancaan". Umumnya bancaan adalah acara doa bersama dan berterimakasih kepada sang Pencipta. Namun bancaan yang diadakan di bulan puasa ini dimaksudkan untuk menyambut datangnya puasa, Lailatul Qadar, dan penutup puasa. Bancaan itu dilakukan dengan menyiapkan makanan beserta lauk-pauknya untuk mereka yang berdoa. Kalau jaman dahulu sih makanannya ditaruh di atas tampah yang dilapisi daun jati atau daun pisang kemudian setelah baca doa usai, makanan tersebut akan dibagi-bagikan menurut jumlah orang yang sedang berdoa.

Sekarang, seiring jaman plastik dan kertas mika juga kerdus, maka makanan tersebut diletakkan di dalam kardus ataupun bakul plastik.

Dulu, saya menikmati sekali acara bancaan. Iya, walau wanita tidak diijinkan untuk berdoa bersama di acara bancaan, namun sekedar berada di dalam dapur sambil turut berdoa menimbulkan getaran tertentu, hati ini ayem tentrem dibuatnya. Tapi makin ke sini acara bancaan semakin memudar maknanya. Dulu lauk-pauk yang ditumpangkan di atas nasi seperti mi goreng, urap, peyek teri, bacem tahu, lodeh tempe dan sayur nangka muda, hanya sedikit saja yang menambahkan ayam panggang di atasnya. Mereka yang biasanya menambahkan ayam panggang itu adalah orang-orang berpangkat atau punggawa desa. Kini semua orang seperti diwajibkan meletakkan sepotong ayam sebagai pelengkap kerdus bancaannya. Bahkan orang akan mengolok-olok bila tak ada sepotong ayam di dalam berkat (makanan bancaan yang dibawa pulang oleh orang yang berdoa) yang dibawanya pulang.

Pun tradisi yang kini mewabah adalah bahwa acara doa bersama yang hanya diwakili oleh seorang saja (yang berdoa cuma satu orang di hadapan berkat bancaan) setelah itu berkat dibagi-bagikan ke tetangga kiri-kanan. Ya, itu pula yang dilakukan oleh bulikku kemarin. Hal yang kutentang keras dan aku perdebatkan hingga urat leherku menjelantir kentara. Betapa tak bijaknya. Betapa simplicity desa ini membuatku malu kepada Tuhan dan diri sendiri, rasa bertetangga kian memudar. Aku tak lagi mencium lezatnya bau berkat setelah didoakan sekian puluh orang, semuanya hambar. Menjadi semacam ritual menghambur-hamburkan uang saja, yang tentunya lebih dari angka enam dengan lima nol dibelakangnya!

dan...to be continue

(belum bisa upload foto)



Meng-meng Tei

Aku tersenyum-senyum sendiri. Eh, bukan tersenyum lagi namanya. Ada sedikit suara "hehe" yang keluar berbarengan dengan tertariknya pojok bibirku ke atas. Sedikit tertawa namanya. Sedikit tertawa sendiri di dalam bis.

Perjalanan menuju Mongkok (ke rumah nenek, ibunya pak bos) terasa panjang dan lama sehingga menghabiskan berpuluh-puluh cerita. Itulah yang membuatku sedikit tertawa. Cerita-cerita itu silih berganti, berkelebatan di layar pikiranku. Dan cerita pagi ini berkelebat lebih dari dua kali. Mungkin tiga, empat, atau mungkin juga lebih, aku tak sempat menghitungnya. 

Pagi ini pak bos baik sekali. Sebenarnya beliau selalu baik, saat memarahiku sekalipun. Ya iyalah, beliau hanya akan marah kalau kesalahan yang aku lakukan sudah tidak bisa ditolerir lagi. Dan itu petaka bagiku karena berpotensi membuatku menangis (What??!!). Sungguh!

"Why didn't u buy two packs? Lei baitoi kem sanfu," kata pak bos yang heran dengan apa yang aku lakukan kemarin.

Kemarin, saat Sogo departement. store sedang "sale", aku ditugasi membeli telur, daging dan saos kikkoman. Semuanya organik dan diskon 30% di Sogo. Aku cuma membeli satu pak telur dan satu botol saos, dagingnya sudah habis. Cuma beli dua barang itu. Padahal butuh waktu satu jam untuk baitoi, antri mbayar.

"It has expiry date, won't last for one week," jawabku dari dalam dapur yang berdekatan dengan meja makan, tempat pak bos menikmati sarapan mi rebus dan telurnya. 


Nyonyah yang sedang membaca majalah di samping pak bos, menimpali percakapan kami dengan bahasa dan intonasi yang aneh.

"Come lei lei goi kem to cek!" kata nyonyah yang artinnya mungkin seperti ini: "Peduli amat sama dia."

"Ngo kong cek, lei come si a? (=Aku cuma ngomong, kamu ini ada apa sih?)," jawab pak bos.

Di dalam dapur aku nyengir, menggeloyor pergi, pura-pura menuju kamar mandi, pura-pura tak mendengar percakapan mereka.

Aneh sekali nnyonyah pagi ini.


________________________

*meng-meng tei:  sedikit mengerti, enggak paham-paham banget

Punakawan Mbeling: Gareng Nglewang


GARENG NGLEWANG

foto dijupuk saka kene
Sakwise mertapa ana pojok kawah Candradimuka lan pinaringan sipat kandel saka eyang Pikulun Bathara Narada, Gareng dadi gedhe endhase. Gemagus lan kemlinthine saya ndadra. 

Sipat kandel tetenger "Cundhuk Gudal" kuwi arupa biting werna ijo. Dene khasiate isa ndadekake sekti, kuat lan awak ora tedas gegaman. Bebasan otot kawat-balung wesi, tandhing kalawan kasektene Raden Gathotkaca utawa Raden playboy junior, Abimanyu. 

Sepedha montor sing ntes dituku Rama Semar diprotholi nganti kaya pithik trondhol, seksi sing ora wangun, ora umum. Knalpote ditambahi lespeker nganti swarane kaya bledheg pitulikur muni bareng. Stange diganti stang sepedha onta, olehe mrothol sepedha ontane kang Petruk. Sepakbore diganti tutup pancine Syahrinthil (bojone Rama Semar sing nomer telu).

Wis ngono kathik ajak-ajak pemudha-pemudha mbambung barang, ada-ada gawe geng. Kepara ngglembuk Jeng Ayu Limbuk dikon dadi pentholane geng cewek. Oalah Reng, Reng!

Ora kurang-kurang anggone Rama Semar menehi pangerten marang Gareng. Ning Gareng saya ugal-ugalan. Malah tawuran barang karo geng montor seka negara Ngamarta. 

Rama Semar ora rena ing penggalih, panjenengane galau saknalika. Ning najan ta dikaya ngapa, Gareng mono putra kinasihe Rama Semar.  Mula ta Rama Semar enggal-enggal matur marang Raden Abimanyu, kepala polisi negara Ngastina.

"Mbok anu, Den, mang cekel si Gareng. Ning ampun digebuki nggih. Niku mesakake Gareng, lha ditilar Rie Rie nekawe teng Hong Kong ngoten," pangglembuke Rama Semar marang Abimanyu.

"Ngono ya kena ning sepedha montore kudu disita," kandhane Raden Abimanyu sing nduweni kareman ngoleksi barang sitan.

"Nggih pun manut, Den," Rama Semar ngiyani.

Makaping-kaping Raden Abimanyu lan adhahane nggrebeg Gareng, makaping-kaping uga Gareng kasil oncat. Dijemparing polisi sakpleton, Gareng mung salto karo melet, ngendhani. Raden Abimanyu kemropok atine. 

Rumangsa diece lan disepelekake kaya mengkono Raden Abimanyu banjur wadul marang Prabu Kresna sing ntes wae disengkakake dadi ketua KPK.

"Kulup Abimanyu, mangertenana ya, Ngger. Cundhuk Gudhal mono isa menehi kekuwatan menawa ta digeget, dienggo cukil untu. Mangsa bodhoa kepriye iguh pertikelmu supaya Gareng lali nggeget Cundhuk Gudhal," mengkono ature Prabu Kresna tuli nglungani amerga wis dienteni dening Nakula lan Sadewa kanggo siaran pers ing Ngastina TV.

Kanthi pambiyantune Jeng Ayu Limbuk sing diojok-ojoki bakal diwenehi Rusun Marunda ing Ngastina, Raden Abimanyu kasil nyolong Cundhuk Gudhal. Biting ijo cukil untu sing ambune ngaudubillahi kuwi diuthes-uthes trus diuncalake ana pawon sing isih mawa. "Seng!" Kobong. Ndadekake Gareng dadi wong kaya saklumrahe menungsa maneh, ora nduweni kasekten maneh.

Amarga saking jengkeling ati, Raden Abimanyu nglumpukke watu banjur ngantemi Gareng sakkiyenge. Raine Gareng nganti ora rupa Gareng maneh ning kaya Klewang ngono kae. Eh, malah luwih parah. Meh ajur kaya korban gunung Merapi.

Marem anggone ngantemi, Gareng diuncalake ana sakngarepe Rama Semar.

"Kaya janjiku, Wa Semar. Gareng ora takgebuki. Wis rasah ukum-ukuman, ngebak-ebaki kunjaran wae," kandhane Raden Abimanyu.

Rama Semar  sakkal nangis ngguguk. 

"Oalah Le, Le. Kok kaningaya men olehmu dadi anak. Wis mbedugal, elek sisan," ujare Rama Semar karo ndempuli raine Gareng.


Menyoal Nasionalisme

Tari Garuda, sebelum pentas di Konser Sheila On 7 di Hong Kong
Minggu (28 april 2013). Sesaat setelah saya dan kawan-kawan saya yang tergabung dalam salah satu dari organisasi yang dibentuk oleh TKW-Hong Kong yang bernama Sekar Bumi menarikan sebuah tarian, tari Garuda Nuswantara di acara The Cultures and Colors of Hope, saya bersusah payah menyembunyikan airmata saya dari kawan-kawan.

Sudah puluhan kali saya dan kawan-kawan saya, juga organisasi seni yang dibentuk oleh TKW-Hong Kong lainnya, kami diundang untuk menampilkan tarian Indonesia oleh organisasi-organisasi non goverment yang ada di Hong Kong. Mereka kebanyakan adalah organisasi yang membangun keharmonisan antar masyarakat pendatang (ras minoritas) dengan warga Hong Kong, seperti SSCEM, ISS Hope, HDH, EOC dan lain-lain. Acara budaya yang diikuti oleh perwakilan organisasi seni dari berbagai negara itu bertujuan untuk meningkatkan komunitas inklusif Hong Kong yang mencakup keragaman budaya, mempromosikan keharmonisan rasial dan kesetaraan untuk semua.
Antusias penonton dan jepretan puluhan kamera membuat saya yakin kalau saya diakui oleh orang-orang Hong Kong itu sebagai warga negara Indonesia, tapi apakah Indonesia berpikiran sama? Entahlah.

"Yannei diumo a, hou leng a... (Tarian Indonesia, bagusnya...)," kata mereka bersaut-sautan.

Juga banyaknya orang Hong Kong yang kemudian merangsek mendekati kami, mengucapkan selamat dan mengajak foto bareng. Ini bukan kali pertama, namun perasaan dada mengembang itu ternyata bisa berulang-ulang kami rasakan.

Bagi organisasi seni seperti Sekar Bumi, Alexa Dancer, Sanggar Budaya, Arimby, Ganisha, Borneo Dancer dan sebagainya, kesempatan pentas tersebut merupakan bagian dari upaya kami untuk mengenalkan budaya bangsa sekaligus melestarikannya. Di Hong Kong, seni adalah media interaksi paling tepat untuk saling mengenalkan keragaman dan kekayaan budaya bangsa.

kiri-kanan: mbak Wik & Anggie Camat
Di organisasi saya, Sekar Bumi, dua kakak-adik, teman kami yang ketika di Indonesia sering menari di pagelaran wayang didaulat menjadi guru tari. Seminggu sekali di tiap hari Minggu kami berkumpul dan berlatih tari-tarian Indonesia, sejenak melupakan rutinitas kerja dalam sepekan pun sebagai pengobat hati akan kerinduan kepada Indonesia.

Kami berlatih di taman-taman atau di lapangan Victoria Park yang luas itu dengan sebuah tape recorder dan CD tarian yang saya download dari Youtube. Kadang, kami harus buru-buru membungkus tape recorder dengan tas kresek lalu berlari-lari menuju tempat naungan ketika hujan tiba-tiba disuntakkan dari langit.

Latihan di taman atas Pasar Bowrington Wanchai
Kadang pula kami membawa gunting dan jarum juga manik-manik untuk dijahit sebagai pakaian tari. Ya, pakaian tari itu jahitan tangan, tangan-tangan kami sendiri. Kami menjahitnya dengan menyisihkan uang hasil kerja kami dan kami menjahitnya dengan lagu Indonesia Raya di dada.

Peralatan tari lain seperti topeng, jaranan, celengan (seperti wayang dalam gambar celeng-babi hutan), reog, kendang, penthul tembem juga irah-irahan (hiasan kepala) harus kami datangkan secara khusus dari Indonesia, kami beli dengan merogoh uang sendiri. Mengapa kami sudi memboroskan diri untuk seni? Apalagi kalau bukan karena rasa cinta kami?

Di kesempatan lain, di acara Hong Kong International Flower Show atau acara kenegaraan juga kunjungan menteri-menteri, kerap pula dibarengi dengan serombongan penari sebagai duta budaya Indonesia dan ditonton oleh orang-orang penting di Hong Kong. Mereka, duta budaya itu, didatangkan secara khusus dengan biaya yang tidak sedikit lalu dielu-elukan oleh para penggede praja di ruangan tertutup ber-AC. Mereka terhormat dan dihormati oleh negaranya sendiri.

Saya tak hendak membandingkan nasib kami, bukan pula membandingkan berapa jumlah uang yang kami dapat setelah ngamen di hadapan hadirin penikmat yang berbeda (toh kami hanya menerima uang pengganti trasportasi dan snack saja), kedudukan kami memang tidak sama. Tapi peluh-peluh yang keluar dari seluruh pori-pori di tubuh kami dan tepuk tangan dari warga Hong Kong itulah yang menyamakan derajat kami sebagai pekerja seni, sebagai duta budaya (walau tak diakui).

tari Goyang-goyang di Festival Pertukaran Seni 2010

Tari Rereyogan di Festival Aids 2012




Tari Incling di Perayaan Imlek 2013
setelah menari tari Surengkerti di Aids Festival 2013

Penonton di perayaan Imlek 2013

Tari Warok di Perayaan Imlek 2013

Tari Rampak di Perayaan Imlek 2013