Galau?

huuhuuhuuuu...

Semangaaaaatttt..!

Love your job and be proud.

Iyes!

Bekerja sambil belajar.

Masih galau lagi?

No! No! No! Be happy laahhh...!

Ayo ngeblog!

Masa kalah sama Babu Ngeblog?

Melajang

Adakah yang bisa membaca aksara Jawa itu?
Batasan usia untuk menikah bagi wanita kini semakin bergeser. Entah karena belum siap lahir dan batin atau karena masih menyukai kebebasan sendiri, keduanya adalah kemungkinan yang menjadikan wanita menunda melengkungnya janur kuning.

Di Asia, wanita melajang dianggap tabu. Herannya seringkali ketakutan untuk masih melajang ini dimiliki oleh orang-orang tua. Rasa takut lebih akut di Asia. Wanita lajang melewati usia 30 dipandang dengan kecurigaan dan belas kasihan. Padahal kita (yang melajang) berpikir tentang orang-orang yang menunda pernikahan sebagai pribadi yang bebas melakukannya karena pilihan, perempuan yang tetap melajang bersifat sosial dan menolak atau belum menikah karena keadaan.  

Banyak sebutan nylekit disandangkan pada spinster. Orang Jepang menyebut mereka "makeinu" (anjing pecundang) karena telah gagal diberikan Tuhan misi mereka. Orang Cina menyebut mereka "sheng nu" (gadis sisa). Sedang orang Jawa menyebutnya "prawan tuwa" atau "prawan kasep" (perawan tua atau perawan kadaluarsa).  

Di Asia, --utamanya Indonesia-- yang penuh dengan stigma-stigma ini, membuat ruang gerak wanita untuk melajang menjadi sempit. Sebagai contoh: pada setiap pertemuan keluarga atau pun pertemuan dengan rekan kerja, pertanyaan yang terdengar wajar itu sungguh-sungguh menggigit. "Masih single ya?" atau "Kapan nikah?" Trus musti jawab gimana coba? Tidak menjawab atau salah menjawab ntar malah dikira lesbian, iya khan?

Walau semasa kecil wanita-wanita ini telah dicekoki dengan cerita-cerita princess yang menikah di usia 17 tahun, namun kenyataan tidak segampang film Snow White atau Sleeping Beauty, yang hanya dengan sedikit sengsara kemudian mendapat Prince Charming lalu menikah setelah ultah ke-17. Life is not disneystory kawan!

Banyak pula wanita-wanita yang lebih mementingkan kariernya dari pada yang lain. Meski berpendidikan, pandai, mapan, tapi mencari/mendapat jodoh bagi mereka mungkin tak semenarik meniti karier. 

Dan ada pula wanita-wanita yang meski bukan tergolong sebagai wanita karier tapi juga memilih untuk melajang. Saya, misalnya.

Lhah mau dibilang karier gimana, wong kerjanya aja sebagai pembantu alias babu. Pekerjaan sebagai pembantu khan enggak bakal naik pangkat atau jabatan, iya khan? Kalau naik gaji masih mungkin, itu pun kalau bosnya berbaik hati, ikhlas mensedekahkan uangnya kepada orang yang dengan menggerutu mengosek WC-nya dua kali dalam sehari, empat belas kali dalam seminggu, 420 kali dalam sebulan, 5.040 kali dalam setahun dan 10.080 kali dalam satu kontrak kerja. Bayangkan!

Cinderella-cinderella bertitel babu yang enggak bakal berubah menjadi princess ini bukannya tidak menginginkan untuk menikah, namun ya memang keadaan belum memungkinkan. Tuntutan ekonomi dan (mungkin) keluarga yang sudah kadung tergantung dengan besarnya duit trasferan menjadi salah satu kendala. Belum lagi sempitnya atau minimnya waktu dan kesempatan untuk mengenal pria.

Namun baik di Indonesia maupun para pekerja migran yang masih melajang ini ada sedikit akal untuk mencari jodoh, ya kalau-kalau nyangkut. Jejaring maya seperti Yahoo Messenger, Facebook, Skype menjadi alternatif. Ada juga whatsapp (whatsapp tuh termasuk maya bukan ya?).


foto dari takemeoutindonesia.com
Tayangan kurang mutu seperti Take Me Out Indonesia juga dijadikan salah satu solusi.Yang mana para wanita cantik berpakaian seksi yang sedang desperate ini menimbang dan mengukur kelayakan seorang laki-laki dari fisik, pekerjaan dan kemapanannya (itu menurutku, yang gak setuju silakan protes).

Nah, ini juga menjadi bukti bahwa wanita lajang (terutama yang desperate di Take Me Out Indonesia tadi) sebenarnya juga tak kurang usaha.

Masalahnya adalah pertemuan (di dunia maya atau nyata) itu mudah, tapi membuat pertemuan dua nyawa beda jenis kelamin tersebut sebagai pertemuan hati, itu yang sulit.

Menjadi wanita yang tegar dan percaya diri itu malah dua kali lebih sulit. Wanita sudah terlanjur didoktrinasi dari kecil untuk mengalah dan menyerah, untuk tidak usah berbicara/mengeluarkan pendapat sebelum orang tua bicara, untuk menjadi wanita somahan yang jinak. Jelasnya wanita telah makan lebih banyak garam daripada laki-laki.

Beberapa wanita tetap melajang karena pilihan sebenarnya bukan karena mereka mengharapkan seorang prince charming yang datang dengan mengendarai kuda putih. Namun laki-laki makin hari tidak lagi memiliki kedewasaan dan integritas yang cukup sebagai laki-laki, sebagai akibat dari perubahan sosial. Mungkin ini pula yang menyebabkan banyak wanita lebih memilih laki-laki yang jauh lebih tua. Laki-laki seumuran justru berpotensi menjadi balita ketimbang laki-laki. Mosok wanita harus ngopeni wong lanang?

Tentu saja untuk menjadi adil, akhir-akhir ini wanita juga banyak yang kehilangan feminitasnya. Seksi, cantik, sensual tapi sebatas untuk membuat first impression atau sexual attraction saja, melupakan sisi femininitas yang menjadi ciri wanita.


Waktu telah berubah, tetapi beberapa norma masih harus utuh (ditegakkan?), maka perang gender berlanjut. Jadi siapa yang harus disalahkan?


*****

18 November 2012
For my 34th b'day. I am single and I am happy. So stop worrying but keep loving me as what I am :)

Banyak Kutu Buku di Hong Kong

Minggu selalu membawa keasyikan tersendiri bagi kawanku Ita. pemilik perpustakaan lesehan Pandu ini selalu menyambut Minggu dengan senyum manis dan hati yang kalau tidak berbunga-bunga ya berkembang-kembang. 

Dengan menyeret BMW item totol-totol putih ke pinggiran Victoria Park, wanita asal Purwodadi ini kemudian berhenti persis di depan eskalator yang menghubungkan Victoria Park dengan Hong Kong Public Library di daerah Causeway Bay.

Setelah menggelar bekas backdrop yang bergambar kepala psikolog, Irfan Bama (beliau diundang ke Hong Kong untuk memberi pelatihan untuk TKW-HK tahun yang lalu), maka seger
a dimuntahkannya semua buku dari dalam BMW.

Oiya, BMW hitam totol-totol putih ini adalah warisan dariku karena bosku sekarang membelikan aku Ferrari kotak-kotak.

Kumpulan bukunya yang kini mencapai 200-an seketika keluar dari BMW. (Be eM Wa-Be eM We mulu...yang baca jadi mumet tuh!) Okelah kalo bingung sama frase "BMW", yang aku maksudkan dengan BMW adalah keranjang belanja yang digeret itu lho. Mosok harus nulis keranjang belanja? Khan gak keren!

Nah, sekian menit setelah buku-buku itu didasarkan (dijejer) beberapa kawan sehabitat, yaitu habitat babu, curi-curi pandang hingga kemudian mak jleg berhenti dan mak prok jongkok di hadapan buku yang berbaris rapi itu.

Setelah pilah-pilih dan setelah mengintip endors dan sekelumit sinopsis plus membaca beberapa lembar, kemudian pilihan dijatuhkan.

ini bukunya
Well, aku gak akan menceritakan semua orang yang pilah-pilih itu, tapi hanya satu yaitu mbak (mbuh sapa jenenge) yang bertopi miring warna krem karena pilihannya ada pada buku yang aku kenal betul "The Souls Moonlight Sonata" karya mbak Wina Bojonegoro.

Aku masih ingat betul, akulah yang memberikan buku itu kepada Ita untuk perpustakaannya. Aku juga masih ingat betul saat kepulanganku 11 September 2011 lalu aku membawa 10 eks buku gres tersebut langsung dari sang novelis (eh enggak ding, pak Bonari Nabonenar yang mengambilkan).

Dan aku ingat betul betapa aku ingin banget hibah buku tanpa harus mengambil uang gajiku. Dan dengan ini aku meminta maaf kepada Dea Yuliana, Denie Kriting, Zhang Penawangan, Ida, Yayuk Wiyanti yang terpaksa harus membeli buku itu dua kali lipat dari harga aslinya. Lima buku yang lain aku hibahkan ke beberapa perpustakaan (dan uang gajiku enggak berkurang toh, ini licik apa pinter ya?) Seperti juga kini, kalau pengin ngasih buku ke perpus harus pakek uang di luar uang gaji, yang artinya entah aku harus jualan foto atau jualan tulisan atau nginstalin komputer atau menangin lomba atau pakek uang dari angpow, yang penting bukan uang dari gajiku.

Ok, kembali ke mbak yang bertopi miring warna krem. Aku sempat bertanya padanya beberapa hal. Juga saat buku itu dikembalikan.

"Kenapa pilih buku item itu mbak, khan gak ada gambar pornonya," tanyaku tanpa dosa.

"Walahhh....wakakakakakkk," jawabnya dengan ketawa sambil menutup wajah dengan buku.

"Lhah khan cuma item gambar biola, covernya biasa aja," kataku lagi (siap-siap ditimpuk sama mbak Wina).

"Aku khan gak baca covernya. Menurutku covernya keren sih, elegan gitu," jawabnya.

Aku ganti yang garuk-garuk lobang hidung. Elegan itu sing kepriye ta? Ntar pulang langsung browsing dah, pikirku.

"Emang bagus?" tanyaku lagi.

"Enggak tahu. Kayaknya iya," jawabnya.

"Yakin?" tanyaku lagi.

"Feeling orang yang gemar buku itu biasanya benar," jawabnya yakin.

!!*Gedubraakkkk...!! eh dia nyuri kalimatku dari mana? Ngutip dari mana? Perasaan kemaren dulu aku bersikukuh membela diri saat seorang kawanku mengejek kegemaranku mengumpulkan buku. Kawanku tuh tanya gimana aku tahu buku itu bagus atau tidak trus jawabanku ya kayak si mbak tadi itu. Buset dah!

*****

Dua Minggu kemudian

Secara gak sengaja ketemu si mbak dan si mbak senyum-senyum. Eh ternyata aku terkenal juga ya, seisi Victoria Park senyum-senyum kalau melihatku.

"Mbak resletinge durung dislerekne," kata mbak yang satunya.

"Wolaa...gedubraakkk...dian*uuukkkkk...!" makiku dalam hati.

"Eh mbak! Mbak yang suka buku porno itu khan?" tanya dia sambil cekikikan.

"Ha??" jawabku sambil melongo.

Yang bener aja?! Orang sealim aku ini lho! Yang punya blog terkeren sehabitat babu Hong Kong ini (Ge eR apa riya' nih?). Kalau video porno sih iya jujur pernah nonton (nah lho!). Tapi bentuknya buku porno yang kayak gimana aja aku gak pernah tahu je! (ini jujur juga lho!) Enak aja nih anak bilang gitu.

"Enggakk...candaa...," jawabnya sambil ketawa.

Aku lega. Nih anak ngerjain aku nih, pikirku.

"Bener lho mbak, buku yang item itu memang bagus," katanya.

"Item yang mana?" tanyaku.

"Yang gambar biola, The Souls. Membacanya aku dituntut tahu musik, enggak susah sih, soale bosku seniman," katanya.

"Ooo..," jawabku.

ini mbak Wina Bojonegoro
"Ada lagi dari pengarang yang sama?" tanyanya.

"Emang pengarangnya siapa?" tanyaku sok tidak tahu.

"Bojonegoro," jawabnya polos.

"Bojonegoro mah kota di sebelahnya Blora. Di Jawa Timur sono," jawabku.

"Lupa," jawabnya kemudian.

"Pakek Wina di depannya nggak?" tanyaku lagi.

"Iya! Iya itu! Wina Bojonegoro!" katanya diiringi tawa.

"Kumpulan cerpen kali! Ntar tak cariin," janjiku.

"Ok. Terimakasih," katanya.

Si mbak berlalu setelah mencium pipiku sambil merangkul sedikit erat (kebarat-baratan yah?).

***

Beberapa Minggu setelah itu.... 

Aku menepati janjiku. Korsakov, buku kumpulan cerpen karya pengarang yang sama, ada di empat (yang satu buat diriku sendiri) perpustakaan lesehan yang digawangi oleh kawan-kawan TKW Hong Kong.





eh? jadi pengin nulis soal perpustakaan lesehan milik temen-temen...



ups! ada yang rikues Ferrari kotak-kotakku!

ferrari kotak-kotak
 

Cinta Memanggilku Kembali

brosur lomba puisi berantai Dompet Dhuafa-Hong Kong
"Cinta Memanggilku Kembali"
Itu judul puisi yang kami (dari organisasi seni Sekar Bumi) ikutkan dalam "Lomba Puisi Berantai" yang diadakan oleh Dompet Dhuafa Hong Kong (DDHK) pada 11 November 2012 lalu di The Leader Dance, Sheung Wan.

Membuat puisi adalah hal tersulit yang bisa aku lakukan. Sehingga lahirnya puisi ini juga enggak jauh dari "maksa bin ngeden". Deny memberikan idenya kemudian aku dengan susah payah mencoba mencari kata-kata yang sekiranya bisa diakrobatkan untuk menjadi sebuah sesuatu yang yah..paling tidak mirip-mirip puisilah.

Puisi ini kemudian aku kumpulkan dua minggu sebelum dibacakan, untuk penilaian.

wajah-wajah galau
Minggu, 11 November 2012
Itu adalah hari tergokil yang kami lalui di sepanjang sejarah kebersamaan kami. Aku memakai kaos merah dengan jaket hitam dan celana korean style plus sendal jepit, Wanthy dengan jaket jeans, pashmina biru dan celana hitam plus highheelnya sedang Deny dengan kaos lengan panjang biru yang ditambah dengan kaos hitam plus celana semi baggy dan sepatu. Kami (aku dan Deny) tak ubahnya seperti badut di tengah seratus lima puluh wanita yang berpakaian serba wah lengkap dengan jilbab lebar yang gemerlap (itu fashion show atau lomba biasa ya?).

Malu? Bukan! Tapi kami merasa seperti bukan berada pada habitat kami. Kami yang terbiasa tertawa lebar, berteriak atau berjingkrak-jingkrak ini mendadak harus kalem untuk sekian jam. Dan itu amat sangat menyiksa sekali banget.

Jujur kalau tahu lomba ini akan diadakan di tempat tertutup, kami tidak akan mengikutinya. Kami pikir lomba membaca puisi ini akan dilakukan di Victoria Park yang tentunya bisa diakses oleh lebih banyak orang dan otomatis pula nama organisasi kami akan terdengar oleh lebih banyak orang pula. Ya, itulah sebenarnya tujuan kami. Namun apa lacur? Puisi sudah kadung dikirim, uang pendaftaran juga sudah terlanjur dibayarkan. Masak mau mengundurkan diri?

kurang lebih 150 peserta yang hadir
Panitia mengumumkan kepada kami untuk berkumpul jam 10 pagi untuk briefing. Dan jam 10 tet kami berada di tempat acara, namun acara molor hingga pukul 11. Ini siksa pertama.

Siksa selanjutnya, mata ini sedemikian berat karena malam harinya aku tidak tidur sama sekali. Wejangan demi wejangan yang disampaikan oleh kemenkominfo hingga BNP2TKI menjadi mengabur karena aku asyik mengumpulkan berliter-liter iler yang dleweran dengan tanpa kompromi. Bahkan suara-suara merdu milik Aldi Taher, Bana Nasyid dan Deni Aden yang tengah membawakan beberapa lagu menjadi penina bobok yang amat manjur. Motivator sekelas Jamil Azzaini juga gagal untuk membangunkanku dari tidur lelapku.

Setelah lunch break adalah siksa berikutnya. Lomba cerdas cermat yang diadakan pada waktu yang sama ternyata didahulukan. Pukul 3 sore baru lomba puisi berantai dilakukan, itu pun dengan berselang-seling dengan lomba nasyed.

Dan gonjang-ganjing pun dimulai saat pembawa acara menyampaikan syarat peserta lomba nasyed.

"Jadi nanti yang ikut lomba nasyed harus berpakaian yang syar'i dan harus wanita ya," kata Deni Alden yang didaulat sebagai MC.

Spontan aku lihat mendung di wajah Deny. Dengan penampilannya saat itu, dia pastilah merasa jauh dari kata "wanita".

"Dicancel waelah," katanya kemudian, tanpa memberikan alasan.

"Nanggung amat? Dari tadi pagi kek ngomongnya. sekarang udah jam 3 ngomongin cancelation. Huh!" gerutuku. "Lanjut! Walau bagaimanapun!" kataku menegaskan.

Deny termenung di pojok ruangan, diam memandang cermin besar di depannya yang memantulkan refleksi yang sama persis dengannya. Kemudian menarik nafas panjang, lalu duduk menekur.

Pemandangan seperti ini membuat kami antara geli dan kasihan juga.

"Lha aku leh... Gimana...? Katanya pakaiannya harus syar'i.." katanya mengambang. Matanya menatap secarik kertas bertuliskan puisi kemudian beralih ke kerumunan wanita-wanita calon penunggu surgawi, kemudian menarik nafas berat.

Jilbab menciptakan jarak di antara kami (antara yang berjilbab dan tidak berjilbab). Kalau saja bukan karena sebagaian pengurus DD-HK yang aku kenal, tentu tidak akan ada seorang pun yang mengindahkan kami.

Entahlah, kalau penutup kepala itu dijadikan semacam simbol kealiman yang memberikan jarak antara wanita satu dan satunya atau semacam bukti tingkat ketagwaan seseorang, maka aku lebih memilih untuk tidak mengenakannya. Kawan-kawankulah yang mengajari aku arti saling mengerti dan saling menghargai. Kawan-kawankulah yang mengajariku arti mencintai dan memberi. Kawan-kawankulah yang mengajariku arti ikhlas dan sabar. Dan kawan-kawanku itu dari berbagai latar belakang keluarga, pola pikir dan pandangan hidup. Pengertian dan komunikasiitu membuat persahabatan kami tak ubahnya persaudaraan karena perasaan senasip, sama-sama merantau, sama-sama buruh.

Kawan kami, Rini, yang menyusul kami setelah lunch break, memprovokasi aku dan Deny untuk memakai kerudung sekedar untuk menghormati penyelenggara acara.

Dan untung ada pashmina hitam yang selalu ada di tasku yang kemudian dikenakan pada Deny. Berulang kami ngakak karena Deny yang biasa tomboy ini harus kami paksa memakai kerudung. Dan entah karena kegugupan kami (aku dan Wanthy) atau karena pashmina tersebut tidak ada dalamannya, pashmina tersebut berulang kali melorot dan susah dibentuk. Untung pula ada kaca mata (tanpa kaca) yang bisa membantu untuk mengganjal pashmina agar tidak mlorot. Eh, setelah jadi, ternyata cantik juga tomboy satu ini, haha!

Sedang aku sendiri dipinjami taplak meja kotak-kotak oleh seorang kawan. Dan lagi-lagi untung berada di pihak kami, seombyok peniti (biasanya untuk perlengkapan tari) berada di tasku. Dan sim salabim!! Taraaaa...!! Jadilah aku (tengah) seorang Arab berhidung pesek.

cling! foto ngempet
beraksi
Pukul 3.55 sore kami dipanggil untuk maju membacakan puisi kami. Karena waktu yang mepet, jatah membaca puisi yang katanya 4 menit disunat menjadi 2 menit 37 detik.

"Cinta Memanggilku Kembali," kataku memulai puisi.

"Waaa...," koor dari peserta acara.

Pembacaan puisi kami begitu ramai dengan waaa...dan huuuu.... dan tepuk tangan di sana-sini. Namun baru separuh puisi kami bacakan, kami dikejutkan oleh suara-suara.

"Wis..wis...rampungg...rampuung...," kata panitia yang memotong.

Haaa..?? Masak baru setengah puisi kami bacakan, sudah di-cut? "Tar dulu ah.... Lanjut dikit ah...," kataku dalam hati. Aku teruskan dua tiga baris dengan suara ngambang, enggak niat dan enggak konsen.

Teriakan-teriakan itu semakin menjadi.

"Wis entek wektune a mbaaakkk...!" kata mereka, diiringi dengan tepuk tangan dan suit-suit.

Jiaah...baru kali ini seumur-umur hidupku membaca puisi cuma separuh saja.Tapi lega juga akhirnya beban itu terlepaskan.

Berhubung puisi itu nggak selesai kami bacakan, maka kubagi-bagikan copy dari puisi tersebut kepada peserta acara. Biar mereka yang melanjutkan membaca puisi itu, pikirku.

Dan karena tujuan awal kami cuma pengin naruh nama organisasi di acara aja, sekedar partisipasi saja, maka kami memutuskan untuk pergi dari tempat acara sesaat setelah selesai membacakan puisi. Dan kalau ingin tertawa bareng melihat dan mendengarkan cara kami baca puisi, berikut adalah videonya:



Sesampai di markas (tempat kumpul organisasi kami), kami disambut oleh gelak tawa di setiap cerita yang kami sampaikan. Dan tak dinyana dan tak disangka sebuah sms sampai di nomer HPku, kemudian sms lagi, lagi, lagi dan lagi dan masih banyak lagi dan lagi. Sms tersebut seperti beradu cepat, susul-menyusul hingga luber di whatsapp dan FB. Ucapannya sama. Kesemuanya adalah ucapan selamat atas menangnya kami dalam lomba cipta dan baca puisi berantai. Juara 1! Wolaa...!! Gak nyangka!

Yang kami lakukan selanjutnya? Ketawa ngakak berjamaah! Hingga saat inipun aku, kami, masih ngakak bila mengenang peristiwa itu. (Maafkan atas ketidakberhasilanku menyampaikan letak lucu yang aku maksudkan.) Berikut adalah puisi kami:

beraksi
Cinta Memanggilku Kembali
Karya: Sekar Bumi

Ketika angin meniupkan kehangatan bertanah  air
Kau tak pernah tahu lukaku
Mataku menatap nanar
Menancap jalan hidup yang terjal
Berbalut lara
Berbalut rindu yang terganjal
Ganjil karena bilangan cinta mewurungkan kemerdekaan

Ketika angin meniupkan kehangatan bertanah air
Kau tak pernah tahu lukaku
Sarafku telah dipengapkan oleh derasnya keringat
Membasahi tubuh yang terikat

Ketika angin meniupkan kehangatan bertanah air
Kau tak pernah tahu lukaku
Cinta menyiratkan yang tak tersurat
Menyeretku dalam kerat pedih tanpa titik

Bahwa ibu yang tak ber-ASI, rela lari menjadi TKI
Bahwa manusia tanpa lisensi, harus terpinggirkan menjadi kuli
Bahwa berderetderet miskin, berbanding lurus dengan BMW dan Ferrari

Dan aku adalah satu dari 140 ribu

Mencangkul di ladang tetangga
Mengais dolar dan dinar
Mengumpulkan peluh dan air mata
Demi membungkam perut untuk tidak lapar
Demi buku-buku pelajaran dan susu yang tak terbeli
Demi atap rumah yang bocor
Dimakan janji tuan

Memang hari ini
Segala sesuatu tak pada tempatnya
Aku di lembah
Sedang cinta ribuan bukit jauhnya

Namun angin terus meniupkan kehangatan bertanah air
Dan kau tahu
Setelah cobaan melepasku
Aku pasti kembali
Untuk menuai padi dan jagung di negeri sendiri

Sedang maksud dari puisi yang mengambil tema cinta dan kemerdekaan tersebut adalah kegelisahan dari seorang TKW saat dia harus menanggung beban sendiri bekerja di negeri orang. Dia merasakan siksa batin karena merasa tidak mempunyai kemerdekaan untuk bersanding denagan keluarganya dan untuk bekerja di negerinya sendiri karena bodoh dan tak mempunyai lisensi/ijasah. Dia juga merasa tidak merdeka  karena diatur oleh kontrak kerjanya (sebagai TKW) dan keinginan untuk memenuhi kebutuhan keluarganya. Namun dia yakin bahwa dia akan bisa berkumpul dengan keluarga yang dicintainya setelah merdeka/sukses mengumpulkan modal.
Piala dan hadiah kami ambil hari ini, 18 Nov 2012.

Banjir di MTR Hong Kong

banjir manusia di dalam MTR station Mongkok
Mass Transit Railway (MTR) atau kereta cepat bawah tanah stasiun Mongkok mempunyai peraturan tak tertulis: "No Slippers Allowed" dan aku selalu melanggarnya. Memakai sandal jepit bagiku hukumnya sewajib memakai celana dalam, fardhu ain.

Namun kadang hal wajib yang menjadi kegemaran serta ciri khas penampilanku tersebut menimbulkan petaka yang teramat sangat, utamanya ketika aku dihadapkan pada sebuah fakta: pada hari Minggu ratusan atau bahkan seribu lebih orang mulai dari titel manager, sekretaris hingga titel babu berjubel di tempat yang sama seperti halnya MTR stasiun Mongkok tersebut.

Walhasil aku harus ngempet ngumpat ketika orang-orang yang berjalan di belakangku menginjak pantat sandalku atau orang-orang di samping kanan dan kiriku menginjak jempol dan jari kelingking kakiku. Dan ndelalah sepatu-sepatu tersebut model sport shoes, boot dan high heel.

ini jahe apa jari?
Maka semenit setelah aku keluar dari MTR jari-jari kakiku yang semula seperti kunyit (kuning, rapi, kecil-kecil) kemudian berubah seperti jahe (merah bengkak, merah-merah dan mengelupas kulit arinya). (foto sebelum bengkak aja segitu ya, kalo pas bengkak jadi segede apa coba?)

Seandainya di Jakarta benar-benar akan dibuat kembarannya MTR yaitu MRT (Mass Rapid Transit), mungkin peraturan tidak tertulis "No Slippers Allowed" harus dipatenkan dalam UU per-MRT-an. Itu kalau MRT benar-benar akan direalisasikan lho ya. Soalnya masalah krusial seperti banjir saja masih merupakan warisan turun temurun dari gubernur-gubernur terdahulu yang gagal mengatur kota.

Coba kalau banjir masuk ke stasius MRT yang nota bene berada di bawah tanah, trus gimana cara menguras airnya? Ngeri khan? Gak kebayang deh....

foto pra pilkada DKI Jakarta
Well, sebenernya saya mau menyentil Jokowi, tapi saya tidak tahu bagaimana membuat punchline yang menarik. Dan ketika punch line di atas saya tuliskan lha kok ternyata ndlewer ke mana-mana dan tidak tepat sasaran ya? Ugghh...

Ya udah postingan ini dicukupkan sekian saja. Idep-idep buat update blog. Haha..!!

******

Foto pertama dari sini

Pembantu di Hong Kong (Bagian 1)

Leslei Cheung
Di tengah konser akbar yang digelarnya, Leslie Cheung, salah satu aktor dan penyanyi kondang Hong Kong menyempatkan waktu untuk memberi ucapan cinta dan terimakasih kepada Luk Che, seorang pembantu yang mengasuhnya sejak kecil. Leslie sadar benar betapa pentingnya peran Luk Che dalam kehidupannya. Cinta dan hormatnya kepada Luk Che tak hanya cukup diucapkan kepada Luk Che tapi juga kepada ribuan penggemarnya di seluruh dunia. Apa yang dilakukan oleh penyanyi legendaris yang meninggal pada 1 April 2003 ini tak pernah ada dalam sejarah sebelumnya dan juga sesudahnya.


Kendati berterimakasih adalah hal yang lumrah bagi warga Hong Kong, namun berterimakasih terhadap seorang pembantu di jaman apel krowak (baca: apple) dan burung berkicau aka twitter, mungkin masih dirasa sebagai hal yang kalau bukan tabu ya mungkin enggak perlu-perlu amat. 

Karena untuk berterimakasih terhadap seorang pembantu, seseorang itu harus sadar benar akan keeksistensian dan kontribusi dari seorang pembantu di dunianya. Sedang umumnya, apa yang telah dilakukan oleh pembantu terhadapnya dan keluarganya selalu dinilai sebagai sebuah kewajaran mengingat mereka (pembantu itu) digaji untuk itu. Orang-orang Hong Kong pada khususnya dan orang-orang di dunia pada umumnya masih perlu belajar banyak dari Leisle. Namun sayangnya Leslie telah mangkat, sehingga kemungkinan berterimakasih terhadap pembantu akan menjadi hal yang langka yang hampir mendekati tidak ada.

 Pada akhir 1970-an, Hong Kong mengalami pertumbuhan ekonomi dan transformasi dari manufaktur ke perekonomian jasa berbasis. Pemerintah kolonial ini menemukan dirinya menghadapi dua masalah serius, kekurangan tenaga kerja dan biaya tenaga kerja yang meningkat. Dalam upaya untuk mendapatkan tenaga kerja dengan upah rendah, pemerintah Hong Kong melonggarkan pembatasan pekerja migran. Pekerja migran asal Filipina kemudian masuk ke Hong Kong sebagai pembantu rumah.  

Dalam dekade berikutnya, jumlah pembantu Filipina di Hong Kong terus meningkat. Banyak perempuan-perempuan muda yang mengikuti jejak teman-teman dan kerabat mereka yang lebih dahulu bermigrasi ke Hong Kong untuk bekerja. Selain karena kurangnya lowongan pekerjaan di negara asalnya, tentu saja juga karena tergiur gaji yang lebih tinggi.  

Hong Kong kemudian membuka kesempatan kerja untuk negara lain seperti Indonesia, Thailand, Sri Lanka, Nepal, Pakistan dan India. Segera saja negara-negara tersebut tergabung dalam bisnis ekspor tenaga kerja. Saat ini, ada sekitar 140.000 pembantu rumah tangga asal Filipina, 142.000 asal Indonesia sedang dari negara-negara lain masih dalam jumlah yang relatif sedikit.

petan
Setiap Minggu atau labour holiday, pembantu rumah yang berada di Hong Kong menguasai daerah Central dan Causeway Bay. Merubah taman dan jembatan menjadi tenda sementara untuk bisa berkumpul bersama kawan-kawannya. 

 Bercanda, "petan", main kartu, potong rambut, jualan hingga belajar menari atau mengaji dan membuat kerajinan tangan menjadi pemandangan yang lumrah, walau terkadang menjengkelkan juga karena mereka adalah penghasil sampah terbanyak sepanjang hari. Namun mau tak mau pemandangan seperti ini sudah menjadi hal yang biasa. Mau gimana lagi? Tak ada tempat khusus yang bisa menampung puluhan ribu pembantu dalam satu tempat. 
mbak-mbak yang jualan di pinggir Victoria Park, Causeway Bay
Jangan harap pula mereka akan mendapat ijin untuk menumpang duduk di tempat umum seperti food court atau taman di bawah perumahan. Meski Hong Kong berhasil dinobatkan menjadi negara yang bisa menghargai HAM di Asia, nyatanya diskriminasi terhadap kaum minoritas seperti pekerja migran (utamanya pembantu rumah) kerap pula dilakukan.

Dan sesaat setelah matahari terbenam, penguasa sehari Central dan Causeway Bay ini harus kembali kepada penguasanya, yaitu majikannya. Dan enam hari ke depan mereka akan dihadapkan pada rutinitas yang sama lagi, dari minggu ke minggu, dari bulan ke bulan, dari tahun ke tahun dan dari kontrak ke kontrak berikutnya.

Jauh di Indonesia sana, perempuan dengan pekerjaan yang sama hanya digaji sekitar Rp. 400.000 hingga Rp. 600.000 perbulan. Sedang di Hong Kong mereka bisa menghasilkan sepuluh kali lipat dari itu. HK$ 3.920 atau sekitar Rp. 4.704.000  dengan kurs Rp. 1.200 per 1 dolar Hong Kong. Tapi konsekuensinya mereka harus berpisah dengan keluarga, tinggal dengan orang asing, bekerja 16 jam perhari, menanggung rindu dan kesepian dan tak jarang banyak pula yang harus rela menelan siksa batin dan jasmani. Kadang ketakutan diputus hubungan kerja secara sepihak mengakibatkan mereka bersikap "nrima" dan tutup mulut saat mereka dipaksa bekerja tak sesuai dengan apa yang tertera dalam kontrak kerjanya atau dibayar di bawah gaji standar atau dipaksa tidur di toilet

Apa yang tampak luar, yang terlihat dari pembantu rumah ini mungkin tidak mencerminkan perlakuan atau derita apa yang telah ditanggungnya selama bekerja di negara lain, sehingga kadang menjadikan orang salah menilai. Menganggap semua pekerja migran ini sejahtera dan banyak dolar tanpa mau berpikir tentang apa yang telah dilalui oleh mereka. Ya, terkadang pula banyak pembantu rumah ini yang dengan sengaja menutupi derita yang dipikulnya. Untuk menyenangkan atau menyamankan dirinyakah? Mungkin saja.

HK$ 3.920 sebenarnya bukan angka yang tinggi bagi warga Hong Kong. Mereka bisa menghasilkan sepuluh kali lipat gaji yang diberikan kepada pembantunya plus bebas beban pekerjaan rumah dan tetek bengeknya dengan anak maupun orang tuanya yang manula.

Meski jumlah tersebut mendekati jumlah tuntutan (HK$ 4.000) yang kerap dilakukan oleh organisasi-organisasi yang vokal menyuarakan hak pekerja migran, namun semakin hari semakin tinggi pula permintaan majikan untuk menutup kenaikan gaji terhadap pembantu rumahnya. Sebelumnya gaji pembantu rumah di Hong Kong sebesar HK$3.740, pada 20 September lalu baru dinaikkan sebesar HK$ 180 atau 4,7%. Pemerintah Hong Kong sendiri seperti sengaja mempermainkan hati para pekerja migran sektor nonformalnya dalam hal pemutusan UU kenaikan gaji, seperti pula terpaksa memutuskan itu karena desakan dari berbagai organisasi non pemerintah dan khususnya di bawah perhatian khusus dari ILO terkait telah ditandatanganinya ILO convension 1997 (perlindungan terhadap pembantu rumah) oleh pemerintah Hong Kong baru-baru ini.

Di lain pihak, dengan kemampuannya menggaji orang untuk mengurus anak, rumah, dan orang tuanya, seorang majikan seperti menciptakan sebuah kasta baru dan menempatkan dirinya bak raja-ratu yang setiap titahnya adalah perintah yang wajib dilaksanakan dalam hitungan detik. Tak jarang untuk hal-hal sesimpel seperti mengambil air minum saja tak mampu. Dan memilih untuk berteriak kepada pembantunya, meneriakkan perintah. Lebih dari itu, para majikan kecil, anak-anak mereka tak jarang pula menjadi manja. Mengikuti jejak orang tuanya, tak sanggup untuk sekedar menali sepatu atau gosok gigi saja.

Dan............terimakasih sudah membaca postingan ini :)



bersambung...