Galau?

huuhuuhuuuu...

Semangaaaaatttt..!

Love your job and be proud.

Iyes!

Bekerja sambil belajar.

Masih galau lagi?

No! No! No! Be happy laahhh...!

Ayo ngeblog!

Masa kalah sama Babu Ngeblog?

Fenomena Bapak (setengah)Peduli

Ketika sebuah kunjungan bermisi extra-berguna dari sebuah rencana yang disusun dengan ndakik-ndakik(amat terencana) berakhir menjadi sebuah kunjungan dalam arti yang lain, tanpa hasil…

Hongkong nama negara tujuan dari kunjungan itu, atau lebih tepatnya sebut saja dengan Betonisia. Lho kok Betonisia?? Lha iyalah, masa’ lha iya dong! Karena Hongkong ini adalah sebuah negara beton yang banyak mengimpor orang-orang dari Indonesia.

Bicara tentang mengimpor orang(tentunya ada pihak yang merasa tidak suka dengan istilah ini, maaf) tentunya tak lepas dari mengekspor orang, dua frase yang sarkastis tetapi nyata kalau semua pihak mau saling terbuka dan jujur.

Biasanya setelah mengimpor ke negara lain maka negara yang mengekspor tersebut tidak akan tahu menahu tentang apa yang telah dikirimnya/diekspornya. Tapi beda sekali dengan Indonesia, rasa bertanggung jawabnya telah mendorong Indonesia untuk mengirimkan beberapa utusan untuk tilik(mengunjungi) komoditas ekspornya. Hebat bukan? Lebih hebatnya lagi yang tilik ini adalah para pinterwan(orang-orang pinter), terkenalwan(orang-orang yang terkenal) dan tak ketinggalan juga negarawan(pejabat negara).

Sebut saja beberapa anggota DPR, pejabat Disnaker, pejabat Pemprov, peneliti, seniman sampai dengan artis-artis yang cuantiiiiik dan guuuannteng juga ikut tilik. Tapi sayangnya, perihal tilik ini belum bisa disalutkan. Lho kok?

Toh yang di ekspor adalah orang bukan barang. Apalagi orang tersebut adalah orang-orang(bukan cuma seorang) yang berbangsa. Sebutan ekspor juga bukan sebutan yang beradap. Orang kok di ekspor, lha tapi kenyataane?

Atau begini, perhalus bahasanya menjadi: mengirimkan anak-anak bangsa untuk bekerja ke luar negeri. Sedikit keren, walaupun bekerja dalam hal ini hanya untuk memenuhi pekerjaan non-formal, sebagai babu di negara orang(lha masih untung bisa mbabu daripada jadi preman dan permen negara!).

Ada anak(dari kata anak-anak bangsa) tentunya ada juga bapak. Sebagai orang tua yang mengkhawatirkan anaknya, memberi perlindungan, atau sekedar menanyakan khabar sampai dengan tilik/mengunjungi anaknya adalah hal yang wajar. Tidak ada yang istimewa, tidak ada yang hebat. Toh sudah menjadi kewajiban orang tua sebagai wujud dari rasa peduli, cinta dan tanggung jawabnya.

Dan benar saja kawan, khawatir (mungkin)iya, melindungi (kurang)cukup, menanyakan khabar juga dilakukan hingga tilikpun dilaksanakan. Komplit! Seperti jamu STMJ+ginseng!!

Bahkan acara tilik itupun tergolong sukses besar walaupun hanya sekejap saja karena bapak dan ibu sedikit tersesat. Maklum saja, Hongkong eh Betonesia itu adalah negara yang serba gebyar dan serba ada. Ada banyak WC gratis sampai dengan baju made in Paris yang harganya bikin orang sedesa meringis.

Dan sewaktu bapak pulang ke Indonesia, bapak yang sebelumnya telah berjanji untuk menelefon segera dan melakukan pembenahan dan perbaikan demi mulusnya jalan pemberangkatan anak-anaknya yang lain menyusul anak-anaknya yang telah terkirim ke luar negeri sebelumnya, ternyata lupa. Lupa nelfon, lupa untuk memperbaiki nasib anaknya yang akan di berangkatkan pada penerbangan selanjutnya, lupa ini lupa itu, lupa, lupa, lupa…

Lupa mungkin sudah menjadi kodrat manusia. Karena lupa juga merupakan nikmat Allah. Tetapi lupa akan misi dan tujuan utama dari segala rencana semula wajar ga’ seh?

“Pak….lha kok masih sama saja sami mawon tho? Yu Painem di cerai jarak jauh, Yu Siti di gaji underpay, sedangkan adik-adik lainnya masih kerja bakti tujuh bulan lamanya untuk memberi upeti kepada agen yang telah membantunya oncat dari Indonesia, dan segala hal pengurusan surat-surat di Hongkong masih mbulet ruwet dan berujung duit! Kunjunganmu itu…mo yung a!”

VP waktu itu: Dari bakso super pedes sampai Tessy(Kethoprak Humor) yang bikin mual

Hari minggu adalah hari kemerdekaan bagi (sebagian)orang. Dan minggu tanggal 24 bulan agustus kemarin adalah salah satu dari sekian hari aku keluar dari rutinitasku sebagai babu.

Jam 9 pada hari itu menjanjikan kecerahan yang sedemikian solid. Ada matahari yang ikhlas menyinari, ada angin yang dibisikkan dengan mesra di telinga sebelah kanan oleh sang kekasih hati(ceileee...). Dan aku, babu sing ndableg setengah mati senengane mangan sambel trasi cewek blora sing nganyelke ati alias Rie Rie, berjalan tanpa teman menyusuri Victoria Park(VP).

Teman-teman sebangsa(para tkw) yang libur di hari itu juga tumpah ruah memenuhi VP. Ada kekaguman pada sebagian teman-temanku yang berhasil memanfaatkan waktu libur itu untuk mencari tambahan uang dengan menjual aneka makanan khas Indonesia. Dan seperti hari-hari yang telah lalu begitu banyak orang memanggil mbak kepadaku. "Mbak es dawet mbak, rujak mbak, soto mbak, rawon mbak, mie ayam mbak, kartu mbak, plastik mbak, kacang-kacang, bakso mbak!"
Dan pada penawaran terakhir aku berhenti. Makan bakso adalah menjadi rutinitasku setiap hari liburku.

HP yang berdering berkali-kali aku abaikan demi semangkuk bakso yang pedesnya audubillah dan membuat kringetku dleweran dan umbelku metu.
Tetapi pemandangan yang bersliweran di depanku tentu saja tak bisa aku abaikan. Pemandangan yang berhasil mengaduk-aduk perasaanku, antara kagum, heran, malu, marah juga masa bodoh.




Ada tumpeng yang dibawa dengan extra hati-hati oleh seorang cewek berambut seperti rambut jagung bersama dengan seorang cewek yang berambut seperti landak, konon katanya style seperti itu sangat gaul banget(waduh, beda jauh ma Rie). Tumpeng, nasi kuning lengkap dengan segala urapan dan ayam panggang yang dihias secara apik,membuatku merasa kagum. Kekaguman yang lebih tepatnya terletak pada harga tumpeng tersebut bukan pada orang yang membawanya ataupun tampilan wah dari tumpeng itu.

Betis-betis sexy juga banyak bersliweran di depanku, lengkap dengan sepatu berhak sepuluh centi. ujung-ujung jarinya aku dengar meneriakkan protes tetapi sang empunya kaki berjalan lenggang saja. Seketika kulihat kakiku yang berurat disana-sini, juga jari-jari kaki yang njleber mirip kaki bebek, dan aku tidak malu, toh aku masih aku.
Banyak juga betis yang tertutup, sampai keatas kepala dan ketika mereka(serombongan teman yang berjilbab) ini melihat kearahku segera saja salam terucap. "Assalamu'alaikum," ujar mereka manis, semanis baju yang mereka kenakan dan hati yang mereka miliki.
"Wa'alaikum salam," jawabku malu.

Masih ada 2 jam hingga janjiku untuk bertemu dengan teman-temanku dari PDV(Persatuan Dakwah Victoria)untuk sedikit memperbincangkan tentang acara dan rencana mereka di bulan Ramadhan, percakapan yang nantinya bisa aku tularkan atau aku tuliskan untuk semua orang. Aku berjalan memasuki pinggiran lapangan sepakbola, dan berhenti tepat disamping eskalator yang menghubungkan VP dengan Central Library-Cousewaybay. Aku keheranan, sekaligus takjub. Betapa besar minat teman-temanku ini untuk belajar. Aku melihat serombongan teman sedang mengadakan ujian tertulis menjahit di pinggir lapangan dan lesehan!! Sebuah pemandangan yang amat menakjubkan bagiku, disaat yang lain bercengkerama atau berbelanja ria atau ngrasani lopan(bos), mereka belajar sungguh2 dibalik segala kekurangan fasilitas dan masih bersyukur atas kesempatan yang mereka dapatkan, salut!!

Beredar dari tempat itu setelah mengambil beberapa gambar untuk aku simpan pribadi, aku lihat segerombol anak dilatar belakangi suara gitar. Mereka yang rupanya pecinta gitar ini lagi belajar main gitar. Ada beberapa anak yang menyanyi, suaranya(kalau menurutku)tidak kalah dengan suara Rosa, merdu, kadang juga menyentak seperti Nicky Astria.

Sedangkan tak jauh dari situ ada anak-anak yang berpakaian ala tomboy melakukan dance, yang sampai-sampai berputar-putar dengan kepala di atas tanah layaknya penyanyi rap yang sering aku lihat di TV itu. Sayangnya aku gagal mengambil gambar karena mendadak saja baterai kamera murahanku habis. Tapi sungguh tadi adalah tarian yang sayang untuk di lewatkan.

Hujan! Jam 11.30 dan hujan. Sialnya aku tak membawa payung, sehingga berteduh di dekat WC umum di pojok VP adalah satu2nya alternatif buatku. Beruntung hujan tak berlangsung lama, hanya 15 menit saja, cuma menggertak saja.

Ada hidung mancung bersliweran di depanku(orang2 pakistan atau nepal atau India). Sempat mengumpat juga dalam hatiku. (Jancuk !! mentang2 aku berhidung pesek aja kemudian mereka pamer hidung mancungnya)

Kembali aku berjalan, lebih cepat, kali ini setelah aku menelepon mbak Inayah dari FLP(Forum Lingkar Pena-Hongkong), menanyakan tentang buku pesananku. Tapi telpon tak juga diangkat walaupun sudah tiga kali aku dial. Sedikit kecewa karena ternyata aku dapati mbak Inayah tidak berada di sana, tapi masih sempat menguping beberapa pembicaraan mengenai tulisan dan rencana menyambut bulan Ramadhan. Betapa indah kedengarannya.

Kaki ini beranjak lagi, menuju tenda putih besar di tengah VP kemudian turun ke tenda putih kecil dibawahnya. Aku silent mode HPku dan kumasukkan ke dalam saku celana. Ada Mbak Dwi Rupiat yang menyambutku, begitu sopan dan sabarnya. Sejenak seperti di manjakan olehnya dan juga tutur katanya yang lembut. Bersama mbak Dwi, aku menuju ke gardu kecil di tempat anak-anak PDV, di sebelah kolam dimana orang-orang biasanya bermain miniatur perahu bermotor. Dan aku bertambah malu. Aku merasa sebagai penyamun di sarang wanita. Diantara puluhan wanita cantik karena berjilbab. Sedikit berbincang dengan mbak Imas sampai akhirnya aku harus berpamitan karena HPku yang bergetar2 berkali-kali sampai kakiku kesemutan. Aku tahu, pasti ini dari Chamidah temenku yang menungguku makan siang sesuai dengan janjiku padanya pagi tadi.
Rasanya berat sekali aku menarik hatiku untuk beranjak dari sana, sejujurnya ada juga rasa nyaman disana. Sekiranya kapan aku diberi atau mempunyai kesadaran dan hidayah untuk bermesra denganNYA??

Warung Malang adalah tujuanku selanjutnya, tidak begitu padat hari itu. Karena banyak yang pergi melihat konser Kethoprak Humor dan Peterpan yang di gelar oleh Bank Mandiri hari itu untuk merayakan kemerdekaan ke-63 RI. Makan siangku habis tak bersisa,entahlah, hari itu rasanya aku bisa melahap apa saja yang ada di depanku. Hummm...beda sekali dengan hari-hari biasanya yang hanya sehari sekali saja aku makan. Bukan karena bos melarangku untuk makan, tetapi karena aku tidak bernafsu makan.

Jam 2, bersama tiga orang temanku yang mempunyai tiket berbeda(aku dan Chamidah bertiket VIP 1 sedangkan Liya dan Tutik bertiket VIP 3) kami berangkat menuju Queen Elizabeth Stadium Wanchai untuk melihat konser. Meninggalkan temenku Hindun sendirian karena dia ga punya tiket(Untuk mendapatkan tiket kita harus menabung di bank Mandiri. Jumlah yang ditabung menentukan letak kursi). Dan seperti biasanya begitu panjang antrean masuknya. Aku dan Chamidah yang bertiket VIP 1 duduk di depan panggung persis, sedangkan Liya dan Tutik berada dibelakang deretan ketiga.

Borneo dancer(kalau tidak salah) sebagai pembuka acara di ikuti dengan komedi singkat dari LPPMI(Lembaga Pelatihan & Pendidikan Mandala Indonesia-cabang Hongkong). Kethoprak Humor adalah selanjutnya. Berbicara tentang "humor" ya memang lucu. Terlebih dengan adanya Tessy yang super genit(saat itu berlakon sebagai permaisuri raja). Jujur aku katakan ada beberapa perkataan yang tidak mengenakkan dari Kethoprak Humor itu. Yaitu ketika(lupa namanya) berucap: "Ojo kagum karo ayune, kagum o karo borose"(jangan kagum dengan kecantikannya tapi kagumlah pada keborosannya). Perihal sindir menyindir adalah hal yang lumrah, aku sendiri sering menyindir orang. Dalam hal ini aku tidak menyalahkannya. Tetapi sikap Tessy yang overacting dengan mengelus-elus perut salah satu tkw(yang ikut bermain dengan kethoprak humor), juga mendekap eratnya, membuatku berpikiran lain. Sebuah pemandangan umum yang menurutku kok insult banget, seduction. Walaupun dalam pendapat umum adalah hal yang wajar karena hanya untuk menambah kekocakan/kelucuan/humor saja, tapi pemandangan itu menimbulkan mual padaku. Memaksaku untuk berpikir begini: seandainya saja hal semacam ini(mengelus2 perut ataupun memeluk erat) dilihat oleh anak kecil, maka bukan salah si anak kecil tersebut kalau kemudian mengelus2 temannya atau memeluk erat temannya hanya karena ingin bercanda saja.

Setelah Kethoprak Humor berlalu, giliran Peterpan menghibur kami. Nah, kesalahan fatalku adalah aku tidak mengetahui lirik lagu dari Peterpan(cuma bisa lagu Ada Apa Denganmu saja, hehehe...). Sementara lagu-lagu Peterpan yang aku download secara gratis malam sebelumnya belum sempat aku dengarkan. Duh, benar-benar keterlaluan aku. Dan konser Peterpan-pun berjalan sampai jam 5.20 sore. Aku dengan jujur mengatakan tidak menikmati konser ini, baik yang kethoprak humor maupun peterpan. Well, mungkin kesalahan mutlak padaku. Lha wong nonton peterpan kok gak ngerti lagune, hehehe....

Kembali ke VP, menjumpai Hindun yang menunggu dengan setia dengan beberapa cemilan dan makan malam kami. Melewati banyak lagi kejadian di pinggir jalan. Ada seorang pengemis dengan kepala setengah botak dan muka tak berbentuk, kaki buntung sedang kaki satunya lagi terlihat begitu kecil dan kurusnya. Kuletakkan beberapa keping dolar di atas topinya dan bergegas berlalu(setelah mengambil satu pic). Aku tak tega melihatnya, sungguh. Bosku pernah bercerita bahwa dulu, 40 tahun yang lalu banyak anak yang hilang di culik dan tak pernah kembali. Kemudian setelah itu banyak pengemis kecil dengan kondisi tubuh yang mengenaskan berkeliaran di mana-mana. Menurut bos juga, mereka(anak2 kecil itu) di culik untuk kemudian di siksa dan di cacati oleh segerombolan penculik dengan tujuan agar terlihat melas sehingga bisa mendapatkan keuntungan sebagai peminta-minta. Betapa kejamnya!

Masih berjalan lagi aku temukan seorang wanita sedang bercengkrama dengan seorang dukun ramal di bawah jembatan di Sugar street. Huh, pemandangan yang membuatku mual lagi! Untung aku bukan salah satu orang yang percaya akan ramalan orang ataupun primbon. Seandainya peramal itu di hadapkan padaku tentunya akan terjadi perang tanding yang dasyat.

Kembali ke VP dan menikmati makanan ala kadarnya bersama Hindun dan Chamid, hanya satu jam saja kemudian kita membubarkan diri untuk masing-masing kembali ke rumah Bos. Duhhh...mbabu lagi deh! Ups! Sempet ketemu ma Etik si benalu kunclup dan Aliyah si cewek Rembang dan berbincang sejenak sebelum akhirnya menuju ke terminal bus nomer 21M ke TaiHang Road, rumah bosku.

Telanjang Tujuh Belas

Ceria tapi tidak patriotis, tidak nasionalis. Peringatan kemerdekaan sama halnya dengan peringatan hari Kartini atau hari-hari bersejarah yang lain. Tidak ada pemaknaan peringatan kemerdekaan yang berarti, semua datar-datar saja.

Dari tahun ke tahun jalannya peringatan kemerdekaan masihlah sama. Sewaktu saya masih SD dulu, upacara penaikan dan penurunan bendera yang terlalu lama itu selalu membuat saya pingsan di menit terakhirnya. Dan karena mengikuti upacara bendera di tanggal 17 Agustus adalah suatu rutinitas dan keharusan maka itu berarti juga rutinitas kesengsaraan saya karena harus mengulang pingsan di setiap tahunnya pada waktu yang (hampir) sama.

Sempat saya berfikir, kalaupun bung Karno-Hatta dan bangsa Indonesia dulu bisa merasakan betapa sakralnya upacara peringatan kemerdekaan Indonesia untuk pertama kalinya -yang walaupun pada waktu itu upacara dijalankan dengan sangat sederhana tanpa protokol, tanpa korps musik, tanpa konduktor dan tanpa pancaragam, tiang bendera pun dibuat dari batang bambu secara kasar, serta ditanam hanya beberapa menit menjelang upacara- lalu mengapa saat jaman saya SD hingga kini yang sudah menjalankan upacara peringatan kemerdekaan Indonesia dengan protocol, dengan korps musik, dengan konduktor dan dengan segala tetek bengeknya, saya justru merasakan siksa yang berkelanjutan (siksanya sampai SMA sih..)?

Keluh kesah yang sama juga sempat saya tangkap dari mbak Rini, tetangga saya. Yang adalah anggota drumband di sekolahnya. Jauh hari sebelum upacara bendera peringatan kemerdekaan itu di laksanakan, drumband di sekolahnya selalu mengadakan latihan yang ketat di setiap sorenya hingga hampir magrib. Betapa saya melihatnya di antara rasa lelah, lapar dan haus di setiap kali dia pulang sekolahnya pada waktu itu.

Walaupun karnaval selalu digelar pada hari selanjutnya (biasanya pada tanggal 18 Agustus) dengan arak-arakan keliling desa yang diwarnai dengan para bocah yang bermuka coreng-moreng layaknya kethoprak memakai pakaian dan make up ala putra daerah dari 27 propinsi (waktu itu masih 27 propinsi) atau ala pejuang dengan bambu runcing dan ikat kepala atau ala pendeta/kyai, ala guru, dokter, pemadam kebakaran, polisi, perawat dan sebagainya, namun tetap saja sepi di arti, makna dari peringatan kemerdekaan itu kosong.

Kalau saya boleh memilih, maka saya lebih memilih mengikuti emak saya jualan es bungkus keliling lapangan daripada berdandan ala Sunda (yang selalu menjadi bagian saya) dan keliling desa dengan menyiksa ujung jari-jari kaki saya karena sandal yang berhak tinggi dan juga dengan mulut menganga karena lipstick di bibir saya terasa begitu beratnya dan membuat bibir saya terasa kaku. Namun bukankah saat itu sesiapapun tidak bisa memilih? Semuanya menurut begitu saja atas perintah guru, guru yang diperintah oleh diknas. Dan demi memenangkan prestise di antara sekolah yang ada, beliau (para guru) melakukan serangkaian upacara dan acara peringatan kemerdekaan tanpa makna, karena maknanya itu sendiri tenggelam di balik gebyar yang lebih dominan.



Selalu begitu, setiap tahun adalah sama. Upacara, karnaval, juga lomba-lomba yang hanya ramai sehari kemudian terlewatkan di hari selanjutnya. Tanpa menyisakan sedikit kenangan yang berbau nasionalisme atau patriotisme yang sesungguhnya. Perayaan seremonial belaka, seolah melupakan makna sebenarnya kemerdekaan itu apa dan bagaimana para pejuang telah merebut dan memperjuangkannya.

Dan sekarang setelah 63 tahun merdeka, tinggal mengisi dan memajukan bangsa, sedang masih banyak yang terlena oleh kemerdekaan pribadi yang menyengsarakan sesamanya daripada bahu-membahu memaknai kemerdekaan dengan sebenar-benarnya demi kemajuan bangsa/kemajuan bersama. Langka rasanya untuk bisa melihat ataupun mencontoh kepahlawanan dalam lingkungan yang sempit sekalipun. Mungkin lebih mudah untuk menjadi koruptor atau pemeras yang selalu bisa menahan jatuhnya palu hakim karena mampu mengganjalnya dengan uang.

Malu rasanya setiap tahun bertelanjang tujuh belas.(Rie Rie)


Aku Diperkosa

Beberapa waktu yang lalu aku diperkosa. Menyisakan aku sebuah perasaan yang pedih melilit dan menyayat hati. Seandainya airmata itu adalah hakku tentulah aku sudah menangis sampai merah darah. Tapi bukankah airmata hanya milik anak-anak orang kaya yang manja dan malas saja? Setidaknya demikian menurut emakku yang selalu menjadi cambukku untuk berdiri tegak menatap kedepan, sebuah jalan yang masih remang-remang.

Kalau kau melihat diriku saat ini, lusuh dan layu, seperti talas yang dicabut paksa, tapi akarnya masih erat memeluk tanah, patah. Rasanya sakit di sekujur tubuhku meresap sampai kedasar hatiku, tidak memberiku waktu untuk berhenti atau sekedar sedikit menghirup nafas tanpa kesedihan.

Hampir saja aku gagal menyembunyikan kenyataan bahwa aku tidak perawan lagi di hadapan emak. Tubuhku lemas, kakiku mengangkang, melangkah terbuka. Rasa sakit di selangkanganku masih menguasai. Sesuatu rasanya masih mengganjal disana.

Dan emak melihat perubahan ini padaku, sebagai seorang ibu hanya satu hal lumrah yang berada di kepalanya dan dilontarkan dalam sebuah pertanyaan yang wajar.

"Nduk, apa kamu lagi mens?" tanyanya.

Aku tersentak, adakah seorang anak gadis yang mempunyai masa ovulasi dini? Aku baru berumur 8 tahun! Antara ketakutan untuk menjawab sejujurnya dan ketakutan untuk berdusta seutuhnya, dan aku mengiyakannya saja. Mengijinkan sebuah kebohongan mengalir pertama kalinya dalam hidupku. Kebohongan yang aku yakini bakal melahirkan kebohongan-kebohongan baru.

Dengan suka cita emakku menggunting handuk dan melipat-lipat rapi untukku. Waktu itu hanya orang-orang kaya di desaku saja yang memakai kapas putih sewaktu mens. Dan aku semakin ketakutan, sewaktu emak memaksaku untuk memakai seutas pakaian yang melingkari dadaku. Dengan kancing mengait di bagian belakang dan dua tali kecil untuk dua pundakku. Dan aku di haruskan memakainya setiap hari, bayangkan setiap hari! Sedangkan tidak ada sesuatu menonjol sedikitpun yang layak untuk ditutupi di bagian dadaku, dadaku rata.

"Kalau kamu gak pakai ini nanti kamu seperti wewe gombel," kata emak.

Mendengar kata "wewe gombel" aku menjadi semakin takut. Kalau aku yang berbibir ndoweh, berhidung pesek dan bergigi besar ini harus di tambah lagi dengan predikat "seperti wewe gombel" yang mempunyai susu (maaf) kleweran, apalah jadinya?

Kata itu pula yang menusuk-nusuk perutku dan membuatku mau muntah. Aku merasakan nyeri menguasaiku lagi, bukan hanya berasal dari pangkal pahaku tetapi juga dari dasar hatiku. Menjadikanku tak mampu untuk sekedar menurunkan kakiku dari ranjang usang peninggalan kakek buyutku.Sehari ini aku hanya mengurung diri dan muram, namun emak mewajarkan hal itu bahkan mengumumkan pada tetangga bahwa anak gadisnya telah dewasa, bah!

........

Setahun....
Dua tahun....
Tiga tahun....
Empat tahun...


Tahun ke tahun berganti juga, sama, seperti biasanya. Pun tak ada yang curiga. Betapa aku pandai menyimpan segalanya, padahal aku baru 8 tahun saja waktu kejadian itu.

Aku mencoba menyibukkan diri dengan plastik-plastik yang berhasil aku pulung dari satu tempat sampah ke tempat sampah yang lain. Aku mencoba menyibukkan diri dengan Sum, adikku yang selalu gagap mengeja huruf-huruf abjad di sekolahnya. Sum adalah kekhawatiranku juga, seperti halnya diriku dia juga gadis kecil yang lemah. Dan apalah yang bisa aku lakukan untuk melindunginya dari segala mara bahaya?

Sum, Adik kecilku, semalam pulang kerumah pukul 11. Sesaat sebelum emak pulang dari tempatnya Bu Sarwo untuk memijat. Wajahnya persis sepertiku empat tahun yang lalu.


Kubiarkan dia menangis sendiri, walaupun ingin sekali aku bertanya padanya. Sum telah masuk kamar dan mengunci diri. Sebelum sempat aku berteriak memanggilnya, dia telah membungkamku dengan ucapannya.

"Aku capek, ngantuk!" teriaknya di antara isak tangis yang ditahan.

..........

"Dia kah?" tanyaku pada Sum, keesokan harinya.

Dia yang aku maksudkan, tengah berjalan terdepan diikuti oleh pamong desa dan tetangga desaku lainnya. Berbincang sok arif bijaksana membuat pamong desa dan tetangga desaku mengangguk-anggukkan kepala. Ingin rasanya aku segera meludahi wajah lelaki itu atau memukul kepalanya dengan ranting kayu.

"Dia kah?" tanyaku lagi pada Sum. Kali ini dengan satu tangan memegang erat pundaknya dan tangan satunya lagi menunjuk ke arah laki-laki berkemeja biru itu.

Semenit berlalu tanpa jawaban, tanpa kata "iya" yang kutunggu-tunggu. Tapi kemudian anggukan kepala Sum kembali membawaku pada masa ah...bertahun-tahun yang lalu.

Sama, aku merasakan sakit seperti Sum, aku merasakan nyeri seperti Sum, aku merasakan tangisnya menggugah lagi perasaan pedih melilit menyayat hati.

Oh, bagaimana mungkin aku bisa membujuknya, sedangkan sakit dan luka yang sama juga aku rasakan, masih merah dan tak tersembuhkan hingga kini?

iya

mengapa membiarkannya mengoar seperti kerbau liar
mengapa membiarkannya bernyanyi seperti perkutut manggung

bunuh saja dia
bunuh saja lelaki itu
yang menusuk paksa lubang kehormatanku
yang mengalirkan darah haram ke tubuhku
yang membungkam kebenaran dengan gemintang di kepalanya

bunuh saja dia
bunuh saja lelaki itu
yang mencengkeram gumpalan indah milikku
yang mengikat hatiku pada kepedihan tak berkesudahan
yang mencampakkanku di pinggir malam hampir masuk jurang

bunuh saja dia
bunuh saja lelaki itu
tak akan ada yang menyesal karena hilangnya

Donga Kanggo Teja Ing Nuswantara

Donya iki awerna teja
Uga werna liya ing antarane
Ora mung ireng lan lelimengan
Kang dadi pawitan sedih angel ketulungan

Ning teja ketlawur mendung
Kang gumujeng lan kedhep netra
memitran kalawan putra kang mbalela
memitran kalawan putra kang polah
memitran kalawan putra kang srakah

Nyebar winih-winih susah
Nuswantara kepradah

Putra kang mbalela, polah lan srakah
dadi dhemite negara
Kang wasis nylamur laku
lan angel kacekel asta
Ewadene jimat palu sekti katindhihan arta

Duh Gusti paringana aji
Kang bisa nyulaki mendung uga dhemit ing Nuswantara
sanalika
mabur tumuju panggonan kang tanpa menungsa
utawa
sirna tanpa ninggal lara

Supaya sepisan maneh
Teja dadi werna-wernaning donya
Sanadyan ora angabehi kelire


Beijing was on Fire

Yang membuat jalanan di Hongkong sepi malam ini adalah adanya Beijing Olympic Games Opening Ceremony. Banyak orang memilih duduk di rumah dan menonton TV. Opening Ceremony yang glamor banget, dengan ribuan penari yang berkostum "wah banget" dan jutaan penonton di stadium, serta kembang api yang membakar di semua sudut kota Beijing, Beijing was on Fire!!

Gak terhitung entah berapa juta dolar yang di bakar malam ini, entah berapa juta dolar yang di kenakan oleh para penari di stadium itu. Mungkin kalau semua dikumpulkan hampir bisa mengentaskan kemiskinan yang ada di Cina itu sendiri, mungkin...


Tapi namanya juga Olympic, lagipun kesempatan seperti ini gak akan datang seratus tahun sekali karena banyaknya negara yang mengikuti, yang kemungkinan besar juga menginginkan pesta olympic ini berada di negaranya.

Di tengah berderet-deretnya para atlet dari berbagai negara, ada satu rombongan yang(dengan sejujurnya) Rie tunggu. Rombongan itu memakai kain jarik batik, dengan jumlah atlet kalau gak salah itung ada 24 orang. Rombongan itu tak lain adalah rombongan dari Indonesia(hehehe...).
Ada rasa bangga sekilas di hatiku sewaktu simbah(emaknya Sir) menunjuk ke TV yang gedenya 2 x 1,5 meter itu seraya berkata: "Cece, Yannei yan a. Goike yong hoiji lei kamyong. Dai ha-dai ha!" (Cece, itu orang indonesia. Mukanya mirip2 sama kamu begitu. Lihat-lihat!)

Rie cuma ketawa ngakak mendengar celotehan simbah. Ah simbah ini ada-ada saja.

Doa kecil Rie hanyalah, semoga Rie bisa mendengarkan lagu Indonesia Raya berkumandang di Beijing. Selamat berjuang atlet Indonesia!!