Galau?

huuhuuhuuuu...

Semangaaaaatttt..!

Love your job and be proud.

Iyes!

Bekerja sambil belajar.

Masih galau lagi?

No! No! No! Be happy laahhh...!

Ayo ngeblog!

Masa kalah sama Babu Ngeblog?

Menggugat Doktrin "TKW Itu Bodoh"

Ketika saya masih kecil ramai orang bertanya kepada saya tentang cita-cita saya. Mulai dari emak, bapak, tetangga samping rumah, guru TK hingga penjual jajan di sebelah sekolah saya, mereka selalu menanyakan tentang cita-cita saya. Saya menjawabnya dengan tegas, “Dokter!” Gelar itu terdengar keren sekaligus hebat di telinga saya.

Seiring bertambahnya umur dan rasa mengerti saya tentang keadaan keluarga, saya tak lagi berani mengungkapkan cita-cita saya tersebut. Cita-cita itu mengabur berbanding lurus dengan semakin tidak jelasnya perekonomian keluarga. Memperjuangkan diri untuk hidup kemudian menjadi sesuatu yang lebih penting daripada pendidikan apalagi gelar keren tersebut. Hingga sampailah perjuangan untuk hidup itu di negara ini, Hong Kong. Meski untuk itu saya harus rela untuk didoktrinasikan sebagai orang bodoh. Pandangan umum mengatakan bahwa, hanya orang-orang bodohlah yang rela menjadi TKW. Hal ini dikarenakan untuk menjadi TKW tidak diperlukan ijasah. Paperproof (ijasah) itulah yang mengkastakan manusia-manusia di bumi Indonesia sedemikian sarkastisnya.
Bagi saya pribadi, sekolah adalah proses pembelajaran. Ijazah bagi saya adalah bukti yang kita peroleh dari hasil proses pembelajaran itu. Sehingga menurut saya, tujuan akhir dari sekolah bukanlah ijazah tetapi apa yang kita peroleh dari proses sekolah/pembelajaran itu.

Hidup juga proses pembelajaran. Maka, meski jauh di tanah rantau saya tetap meneruskan proses belajar saya meski dengan segala keterbatasan yang saya miliki di samping pekerjaan saya sebagai pembantu rumah tangga.
Koran, majalah, perpustakaan, buku, internet, menjadi acuan saya untuk belajar. Semakin saya tahu justru semakin banyak yang saya tidak tahu. Perkembangan pengetahuan bukan hitungan hari lagi tetapi sudah bertolak ukur dengan hitungan detik. Dari detik ke detik berikutnya sudah dihasilkan berbagai kreasi baru atau penemuan-penemuan baru di berbagai bidang.

Di Hong Kong, beberapa tempat belajar-mengajar seperti tempat kursus ketrampilan, kursus computer, kejar paket A, B dan C hingga sekolah tinggi setara D1 dan D3 pun menjamur. Masing-masing tempat menjanjikan pemberdayaan TKW berbasis pendidikan. Visi dan misi mereka pun disuarakan layaknya kampanye pemilihan capres.
Investasi di bidang ilmu itu tidak ada ruginya, namun kadang temen-teman saya melupakan untuk survey lebih dulu sebelum berinvestasi. Beberapa tempat belajar-mengajar tersebut ada yang benar-benar bertujuan untuk mencerdaskan etnis minoritas (warga negara asing yang kurang mampu yang tinggal di Hong Kong seperti TKW, kuli bangunan, sopir, dll) namun ada pula yang hanya berniat mengeruk keuntungan dari etnis minoritas dengan cara menarik uang sekolah yang tinggi dan menipu dengan cara mengiming-imingi pendidikan yang (katanya) disamakan dengan pendidikan formal di Indonesia. Bahkan dengan tanpa kemaluan, ada pula yang mengatakan bahwa lulusan sekolah yang mereka adakan bisa langsung meneruskan kuliah di Indonesia, bah!

Embel-embel D1, D3 ataupun mahasiswa UT terdengar begitu merdu dan menjanjikan. Dan lagi-lagi kawan-kawan saya ini adalah obyek yang amat empuk, teramat sangat empuk. Keinginannya untuk mendapat pengakuan sebagai “bukan orang bodoh” menjadikannya klepek-klepek seketika begitu mendengar gelar-gelar tersebut dan tentu saja juga ijasah! Nah lho kalau sudah begini salah siapa? TKW yang bodoh atau orang-orang yang membudayakan diri mempunyai doktrin “TKW itu Bodoh”? Lalu bagaimana pula dengan negara yang tak becus memfasilitasi warga negaranya untuk mendapatkan pendidikan yang layak?

Pendidikan adalah kunci kemajuan peradaban suatu bangsa. Kegagalan pemerintah untuk memfasilitasi warga negaranya untuk mendapatkan pendidikan yang layak menuntut warga negaranya untuk berpikir kritis, tak terkecuali TKW.

Mungkin nanti, suatu saat nanti bakal bermunculan TKW-TKW yang telah mampu berpikir kritis dan realistis yang secara otodidak ataupun tanpa ijasah berhasil mencapai kemampuan setara dengan lulusan sarjana. Dan sewajarnyalah untuk mengakui kemampuan mereka sebagai suatu kemampuan yang substansial. Bukan malah mendoktrin dan mengunderestimate mereka. Bukankah banyak pula lulusan sarjana karbitan bergelar S1 atau S2 yang hanya membeli paperproof/ijasah saja?

Ijasah bukanlah sebuah komoditas/bukti intelektualitas seseorang kalau itu tanpa dibarengi dengan kualitas.

Hidup Tak Mau, Matipun Enggan Jadi SBY

Hidup tak mau, matipun enggan jadi SBY

Pernyataan ini justru keluar dari mulut seorang bocah yang berumur 12 tahun, Hendra, keponakanku. Memang bukan persis seperti apa yang tertulis di judul postingan ini namun intinya sama. Lewat percakapan singkatku dengannya lewat hubungan kawat kemarin kudengar suaranya yang lugu, polos, unik dan realistis.

Lik, demikian dia memanggilku, kependekan dari Bulik. Percakapanku dengannya waktu itu menggunakan bahasa Jawa krama alus. Tetapi mengingat tidak semua orang bisa berbahasa Jawa krama alus di internet jadi aku coba untuk mengalihbahasakannya. 

“Saya pengin bekerja Lik, bantuin emak,” kata bocah yang telah ditinggal minggat oleh bapaknya sejak berumur empat tahun ini kepadaku.

“Kerja apa?” tanyaku.

“Pokok e setelah sekolah SMP trus kerja sembarang Lik, yang penting halal,” jawabnya mantab. 

Hanya ibunya yang buruh tani itulah yang menyangga seluruh kebutuhan hidup keluarga termasuk biaya sekolahnya. Ekonomi keluarganya yang tidak memungkinkannya untuk mempunyai pendidikan lebih tinggi lagi dari SMP tersebut membuatnya sadar sejak dini bahwa dia tidak akan memaksakan kehendak untuk bersekolah lebih tinggi dan mencapai gelar yang lebih keren dari sekedar jebolan SMP. Kenyataan yang sama persis sepertiku puluhan tahun silam. 

“Gak pengin jadi guru atau dokter ya?” tanyaku berbasa-basi.

“Enggak Lik, jadi presiden aja saya enggan, ntar diomelin banyak orang,” katanya.

“Lha kok bisa?” tanyaku.

“Lha emak tuh tiap hari kerjaane ngomel mulu. Katanya presiden goblok, ga mikirin rakyat, gajinya banyak juga masih minta naik. Cabe aja mahal, minyak mahal, beras mahal, apa-apa mahal. Bayangkan, emak tiap hari ngomel gitu-gitu terus” jawabnya.

"Makanya saya ga mau Lik kalo suruh jadi presiden seperti yang sekarang ini," tambahnya pula. 

“Ooh…gitu,” kataku yang mendengarkannya sambil tersenyum-senyum. 


repost dari Multiply

Kontributor Linglung

Ini adalah kisah seorang kontributor ling lung, seorang wanita yang mempunyai pekerjaan resmi sebagi babu di negaranya Jet Li tapi mempunyai pekerjaan sampingan sebagai guru privat komputer, loper majalah, MC, kontributor sekaligus tukang foto. Kesemua pekerjaan sampingan tersebut dilakuannya pada hari liburnya. Keren khan?

Ya meskipun termasuk dalam habitat TKW, dia lumayan cerdas. Sayangnya dia mempunyai kebiasaan aneh dan tidak sewajarnya, terkadang juga nggilani.

Dia seorang wanita muda, dengan tingkat kecuekan yang teramat tinggi, dengan rambut yang tidak pernah disisir, dengan camera Nikon D90 yang selalu menggelantung dilehernya, dengan MP3 yang nyumpel di kedua belah telinganya dan dengan pakaian yang jauh dari mencolok tapi teramat dekat dengan nyleneh.

Kapan hari dia memakai celana hitam super baggy dengan kaos putih bintil-bintil dipadu dengan scarf warna polkadot pink dan sandal jepit. Kemarinnya dulu dia memakai kaos singlet sedengkul warna hitam dengan percikan cat di sana-sini yang dirangkepin dengan kaos putih bertuliskan "original". Rambutnya kadang dibiarkan tergerai uwel-uwelan, persis sarang burung gagak. Kadang juga dibundel pakek gelang karet hingga jidatnya yang lebar dan kinclong menjadi daya tarik tersendiri Dari jarak 20 meter orang tentu sudah mengenal dia (kalau bukan karena kameranya, tentu karena rambutnya).

Berikut adalah kisahnya:

Kisah 1
Kecintaannya pada dunia potret-memotret sudah ada sejak lima tahun yang lalu. Tak seperti kebanyakan TKW yang memprioritaskan hp ketika gaji pertama mereka diterima, kontributor satu ini memilih membeli kamera. Setelah Yashica dan Nikon yang dirasanya sudah out of date karena masih menggunakan baterai biji-biji itu, pilihan selanjutnya lumayan keren, Nikon D90. Namun sayangnya, entah saking cerdasnya atau karena saking ling lungnya, sampai saat ini dia belum juga menguasai fungsi kamera tersebut.

Suatu Minggu di sebuah acara akbar pengajian yang diadakan oleh TKW Hong Kong yang mengambil tempat di Masjid Tsim Sha Tsoi, dia pun hadir. Rencananya seh mau meliput acara, gitu.

Panitia yang kerap melihat wajah yang tak asing tersebut langsung menyilakannya masuk lengkap dengan sebuah botol aqua dan sekerdus snack untuknya.

Kontributor linglung kita ini cuma pringisan malu tapi swear dalam hati dia udah ngarepin dari tadi, ya sukur-sukur dapet dua kerdus (lumayan khan ga usah beli makan siang).

Begitu masuk dipilihnya tempat paling belakang dan paling pojok. Lima menit kemudian....zzzz...tidur! Lho kok? katanya mau liputan? Bangun! Bangun!

Eh, ujug-ujug mendadak ada setetes air yang mengalir dengan diam-diam dari sudut mulutnya dan jatuh pas persis di atas tangannya. Seketika itu dia terbangun. Seketika itu juga dia teringat apa tujuannya ke datang tempat tersebut. Seketika itu pula diraihnya kamera gedenya dan diarahkan untuk membidik.

Pencet...pencet...
"Lho kok ga ada suara "cekrek"?" pikirnya.

Pencet lagi...pencet lagi... "Lho kok diem aja neh kamera," katanya dalam hati sambil menepuk-nepuk kameranya.

Pencet...pencet...

"Buset, aku dah bangun kok kameraku masih bobo," pikir dia.

Pencet...pencet...masih ga bisa motret juga.

pencet...

pencet...

"Sialan..!" gerutunya dalam hati.

pencet...pencet...

"Ih sialan bener neh kamera!" gerutunya lagi dalam hati.

pencet..blink..blink...

pencet...blink blink blink...

pencet...blink..blink...kemudian...blank...!

"Blaik! Mati aku! cilaka!" gerutunya setelah tau bahwa kamera tidak berbunyi "cekrek" karena ternyata out of battery.

Dengan kemaluan yang amat besar dia berjalan menuju salah satu panitia yang bertugas mendokumentasikan acara dan berbisik,"Mbak pinjem kameranya sebentar dong."

"Buat apa mbak? Ini cuma kamera digital biasa, kamera mbak khan lebih bagus," kata panitia.

"Mmm..begini mbak (garuk-garuk kepala, beberapa ketombe sempat terjatuh karena aksi garuk-garuk kepalanya ini). Mm..begini mbak, saya hanya pengin membandingkan banyaknya pixel yang membentuk gambar kamera saya dengan kamera mbak," jawabnya beralasan.

"Ooo.. (manggut-manggut tapi tampangnya bloon)," jawab panitia. Entah mudeng apa enggak dengan apa yang dimaksud dengan pixel tersebut, atau mungkkin malu karena gaptek, segera dicabutnya memory card dari kamera digital mungil miliknya kemudian diserahkannya kepada kontributor linglung kita.

Untung si kontributor linglung neh selalu menenteng notebooknya. Sejurus kemudian dia memindahkan foto milik panitia ke dalam dokumen notebooknya. Dalam hati dia berkata, "Slamet...akhirnya dapet poto pelengkap liputan nanti, hehhe...."

Wolaa..!!

Kontributor linglung kita ngapusiiiiiiii....!!


Kisah 2
Ada tiga kejadian yang menyebabkan lagu Indonesia Raya berkumandang di negara lain. Satu, saat kunjungan kenegaraan. Dua, saat tim olah raga Indonesia menang. Tiga, saat HP kontributor linglung kita berbunyi. Ketiganya merupakan momen-momen yang paling penting dalam sejarah dunia yang patut dicatat.

Termasuk saat itu, sesorang dari salah satu organisasi menelpon kontributor linglung kita untuk mengundangnya menghadiri acara yang diadakan oleh organisasinya. Pucuk dicinta ulampun tiba, pikir kontributor linglung kita. Jadi tamu undangan itu kehormatan, pikirnya. Sudah dihargai masih juga dapet cemilan dan jajan, pikirnya lagi.

Maka dengaan langkah penuh cuek bebek dia segera menuju tempat diadakannya acara pada Minggu yang sudah diitentukan. Dan seperti biasa setelah dipersilakan duduk dan mendapat sekerdus jajan, sang kontributor linglung ini memilih duduk di tempat yang peling disukainya, disana kembali dia liyer-liyer.

Tak satupun dari apa yang disampaikan dari acara tersebut ditangkap olehnya, beruntung dia sempat menjepret beberapa gambar sebelum adegan liyer-liyer terjadi. Dan walhasil sang kontributor linglung kita ini lagi-lagi mendatangi ketua panitia untuk mengajukan beberapa pertanyaan. Di atas kertas secuil dituliskannya hasil wawancaranya kemudian berlenggang dari tempat tersebut.

Pada malam harinya, ketika dia dihadapkan dengan laptop bututnya dan bermaksud menuangan segala apa yang didapatnya pada siang hari tadi, si kontributor linglung kita heboh. Pasalnya, kertas secuil hasil wawancara siang tadi hilang, sedang dia hingga saat ini masih berjuang keras melawan lupa, ya dia amat sangat pelupa. Akhirnya kontributor linglung kita dengan terpaksa meraih HPnya dan menelpon ketua panitia yang kkemarin hari menelponnya.

Ketua panitia: "Assalamualaikum mbak **^!e^!E**,
Kontributor : "Walekum salam.
ketua panitia: "Ada yang bisa dibantu mbak?"
kontributor : "Eh mbak saya kemaren wawancara apa seh sama mbak? Waduh ini kertasnya ilang (katanya lugu dan jujur banget)."
ketua panitia: "??*$@%??...(kemudian terdengar tawa yang ditahan).

oalahhh...malu-maluiiiinnn...ga profesional banget, wwkwkkkk...

Pak SBY, TKW itu Tak Butuh HP!

Guyonan baru pak SBY kali ini luar biasa. Ketika saya membacanya sejam yang lalu kontan saya ngakak, sumpah ini ngakak saya yang pertama kali semenjak berita duka dari saudara-saudara yang berada di Sumbar dan Yogyakarta beberapa hari yang lalu.

Guyonan itu adalah janji yang diucapkan oleh pemerintah (SBY) untuk memberikan Hp kepada TKI karena menganggap dengan adanya Hp akan memudahkan TKI untuk melapor jika mendapat perlakuan tidak adil dari majikannya.

Saya masih mengingat benar bagaimana saya harus menandatangani kontrak perjanjian kerja saya sebulan sebelum saya diterbangkan ke Hong Kong untuk bekerja di sektor non-formal tepatnya sebagai domestic helper atau pembantu atau jongos atau buruh atau TKW atau babu. Hari itu saya hanya diberi pilihan: “take it or leave it”. Di mana di dalam kontrak kerja saya tertera bahwa saya hanya mendapatkan libur dua kali perbulan (padahal seharusnya TKW mendapatkan libur sekali dalam seminggu di Hong Kong), merawat bayi sekaligus mengurus rumah dan dapur. Di situ pula tertera peraturan-peraturan yang diberikan oleh majikan saya dan salah satunya adalah larangan untuk menggunakan telepon rumah majikan dan telepon pribadi di rumah majikan!

Apa yang ditanamkan PJTKI kepada saya selama berada di penampungan adalah bagaimana saya bisa mendapatkan majikan dengan segera, dan untuk itu saya harus menerima syarat apapun yang diberikan oleh calon majikan. Saya hanya diberitahu tentang kewajiban saya dan tidak diberitahu sedikitpun tentang hak-hak yang bisa saya dapatkan. Berapa gaji standar di Hong Kong, berapa kali libur yang bisa saya dapatkan, asuransi kesehatan, hak berserikat dan berorganisasi, hak menunaikan ibadah dan sebagainya, tidak pernah disosialisasikan kepada saya/calon TKW selama berada di penampungan.

Pemeriksaan tas sebelum keberangkatan saya ke Hong Kong pun dilaksanakan. Jangankan membawa Hp, membawa uang saja tak boleh. Alasannya takut kalau kemudian majikan saya nanti menuduh saya mencuri uang.

Pengetahuan saya tentang Hong Kong nol, tidak ada sama sekali. Bagaimana budaya di Hong Kong, kebiasaan/adat istiadatnya, kepercayaan mereka, bagaimana pola pikir mereka, apa harapan mereka terhadap pembantunya, saya sama sekali tak tahu dan tidak diberitahu.

Adalah dari orang-orang dari pemerintah Hong Kong yang menyambut kedatangan TKW di bandara Chek Lap Kok-Hong Kong, yang memberitahu saya sedikit tentang hak-hak saya dan memberikan buku panduan/pedoman bekerja di Hong Kong dan sebuah kartu nama bertuliskan nomor-nomor penting yang bisa saya hubungi ketika saya mendapatkan kesulitan di Hong Kong. Mereka mewanti-wanti saya untuk membaca buku tersebut dan menelpon bila mendapat kesulitan. Saya ingat betul kata-kata wanita itu: “Don’t be afraid, call us if you need help. Good luck. God Bless You.” Mengapa perhatian seperti itu justru diberikan oleh pekerintah Hong Kong? Mengapa ini tidak saya dapatkan dari Indonesia?????????????

Yang saya dapatkan selama di penampungan adalah pengetahuan dasar bahasa kantonis (yang hingga kini belum saya kuasai), cara memasak (yang amat berbeda dari apa yang saya masak sekarang), dan praktek mencuci dan menyetrika (kenyataannya mesin cuci itu banyak modelnya yang jelas yang berada di penampungan untuk praktek itu out of date).

Kesemua ini menjadikan saya shock ketika berada di Hong kong pada 6 bulan pertama. Bukan hanya saya, kawan yang baru datang ke Hong Kong yang kebetulan saya jumpai sewaktu libur pun mengatakan hal yang sama.

Pak SBY, pernahkah bapak bertanya kepada TKI/TKW tentang apa yang paling dibutuhkan oleh mereka?

Selama ini pemerintah hanya berasumsi tentang apa yang dibutuhkan oleh TKW. Mereka tak pernah duduk bersama (dialog) dan bertanya itu langsung kepada TKI/TKW atau perwakilannya. Mereka hanya berasumsi kemudian memutuskan begitu saja.

Seperti halnya rencana pemberian Hp kepada TKI kali ini. Ini juga merupakan asumsi dari pemerintah/SBY terhadap apa yang paling dibutuhkkan TKI saat ini. Jadi Hp adalah apa yang paling dibutuhkan TKI saat ini? Sebentar…sebentar…saya kepingin ngakak lagi nih!

Banyaknya kemalangan yang telah menimpa TKW di arab Saudi atau Malaysia tetapi ternyata masih banyak pula yang ingin bekerja di sana. Kalau mau jujur, ini dikarenakan untuk pergi ke Arab Saudi atau Malaysia calon TKW tidak memerlukan pendidikan atau pengetahuan standar. Pengetahuan ala kadarnyapun jadilah. Pengetahuan standar sendiri di Indonesia tidak sama dengan pengetahuan standar di negara tujuan. Pengalaman saya di atas sebagai salah satu contoh nyata. Memang pengalaman saya itu terjadi enam tahun yang lalu, tapi apa mau dikata bila kawan saya yang baru datang ke Hong Kong untuk kali pertama juga mendapatkkan pengalaman yang sama persis seperti apa yang saya alami enam tahun yang lalu itu? Itu artinya selama enam tahun terakhir ini tidak ada perubahan sama sekali. TKW dulu sama bodohnya dengan TKW sekarang, lebih tepatnya dibodohkan, karena hal mencerdaskan (mencerdaskan bangsa) sendiri sebenarnya adalah tanggung jawab negara.

Keseriusan pemerintah untuk melindungi warga negaranya tak cukup hanya ditunjukkan dengan pemberian Hp saat keberangkatan TKI/TKW berjuang demi ekonomi keluarga dan masa depannya. Bagaimana pemerintah bisa yakin kalau majikannya bakal mengijinkan pembantunya untuk menggunakan Hp?

Ketika seseorang itu memutuskan untuk bekerja ke luar negeri itu adalah keputusan yang riskan, nyawa taruhannya. Dan bila perlindungan yang diharapkkan datang dari pemerintah hanya menguap begitu saja berarti mereka benar-benar harus berjuang sendiri atau hanya mengikuti arus nasip yang membawa mereka.

Perwakilan pemerintah di negara tujuan kerja (Konsulat Jendera RI) hendaknya menjadi rumah dan menjadikan TKI/TKW benar-benar merasa aman dan terlindungi. Atau bila tidak, sekalian serahkan saja stempelnya pada TKW masing-masing waktu dia berangkat ke negara tujuannya.

Bos, Mbok Rika Aja Kaya Kuwe!

Kepriben kiye? Deneng malah dadi kaya kiye? Enggane urip koh tek rasakna rekasa temen yak. Kiye inyong lagi ngalami nasib kaya Srinthil. Wis petang dina sekang tanggal 17 tapi bose inyong koh meneng baen. Deneng apa ora krasa nek babune kiye dhuwite wis entong brontong? Sedolar be langka. Padahal kiye wis metu kukule, mertandhakna nek wis perek karo masa menstruasi. Kiye kepriben arepe tuku soptek? Ora lucu inyong nek trus nganggo anduk sing desewek-sewek kaya kiye kae gawe sumpel. Isin mbok, inyong kiye babu sing paling ayu bin ndableg wal ngeyelan seHong Kong.

Inyong ngalamun baen sedina kiye, eh malah sekang wingi wes ngelamun baen. Ora teyeng kerja, rasane bebeh temen. Mikirna gajih, kukul, menstruasi karo anu, soptek. Biyunge inyong ya wis nagih jatah wulanane, ujare arepe gawe mendak pisan simbah suwargi. Sirahku rasane senut-senut. Nganti kerja sedina kiye ora nana sing nggenah, kelalen baen. Klambi meng pemean kudanen kelalen tek entasi, sop kaki ayam ya kasinen kelalen tek wenehi uyah maning. Lha momongane inyong ya meh bae telat metu sekang ngomah, padahal ana acara poto-poto nang mall, ngesuk mau inyong wis janjian karo bose.

Kepeksa inyong trus nyegat teksi ngeblas nyang panggonan janjian karo bose. Tekan nggone wes kliwat 11 menit tapi slamet dening bos ya urung teka, mandhan ayem najan mung sepethil.

Let sedela, sekang kadohan katon ayang-ayange bos. Nganggo jaket ireng gedhe sing pating klewer ngana kae, wajahe keton nek ora seneng. Mendelik nyawang inyong.

"Geneya nganggo klambi kiye?" pitakone nalika isih 5 meteran adohe sekang inyong. Momongane inyong tuli mlayu mapak mamae, mamae ya bose inyong kuwe, ora merduliaken tapi mung mendeliki inyong.

"Deg!" cilaka pitulikur!" bathine inyong kaget. Inyong kelalen nganggona klambi sing wes dipesen karo bos mau esuk.

"Anu, inyonge kelalen. Sorry," jawabe inyong ora wani nyawang raine bose.

"Rika kuwe, mergawe kabeh serba kelalen. Klambi dijarna kudanen ujare kelalen ngentasi, masak ya kasinen kelalen menehi uyah maning. Kiye klambi wis tek tukokna khusus nggo poto-poto ya lali ora mbok enggokna, kepriben rikane kiye? Ngapa-apa kelalen baen!" si Bos ngomaih inyong.

Walah-walah suarane ngluwihi bledek bantere, karo mendelik-mendelik karo nuding-nuding kaya kae. Kiye inyong kaya pesakitan anu kae kaya wong ukuman sing akeh ndean salahe. Wong sak mall nyawang inyong, mbuh mesakna mbuh nyukurna, inyong kisinan temen. Ning ya kepriben maning, iyonge ya salah. Ya mung ndingkluk baen, ora mangsuli. Jan persis kaya babu Endonesiyah ngana kae (lha inyone iki ya babu mbok? wkwkwkk...).

"Em keitak lei keh dau keh!" (Koh ora kelalen ndasmu kuwe!)" Waduh mbok...basa Cinane wes metu kiye.

"Kabeh kelalen ngana kuwe, kerja wes 6 tahun kaya lagi wingi sore! Kepriwe nek inyong kelalen gajiane rika, he!" bentakke bose.

"Bos, mbok rika aja kaya kuwe, bos," jawabe inyong alon.

"Enak mbok kelalen gajiane rika!" kandhane bos maneh.

"Rikane ya urung mbayar gajine inyong bulan iki koh," jawabe inyong antarane wedi karo ngempet guyu.

"Me wa? (ngomong apa?)"

"Rikane ya kelalen gajiane inyong koh," kandhane inyong mbaleni ukara rada banter, mbokan bose ra krungu.

Raine bose inyong saknalika abang. Kisinan dewe mbok, embuhlah. Bose ngeblas karo nyendal tangane anake.

"Rika balia!" ujare sekang kadohan.

Oalah bos...mbok rika aja kaya kuwe!" ujarku dhewe.

.........



Wakakakakk...Karepe arep melu lomba nulis basa ngapak tapi koh ora teyeng nganggo basa ngapak sing asli. Kiye wes nyampur karo basa Endonesiyah, logat Blora dan sebagainya. Ora gayeng temenan... (angel temen mikir basa asline sing ngapak-ngapak)

Antara Pembantu, Momongan dan Sebuah Bola

Ini bulan puasa ya? Saya sudah ngingetin diri berkali-kali, ga harus nunggu puasa untuk bersabar. Hal ini (sabar) adalah makanan setiap hari. Namun walau itu sudah makanan pokok dari manusia sejenis saya (babu ndableg) toh saya belum berhasil menyikapinya dengan seharusnya. Selain dengan kecuekan dan kendablegan yang kian hari kian menebal. Sebodo!

Seperti halnya sore ini. Perkumpulan pegawai BCA (baca=Babu Cina Asing) di indoor playground (tempat bermain di dalam ruangan) di daerah Happy Valley yang terletak tak jauh dari rumah bos saya itu penuh dengan pembantu teladan (teladan=telat mangan edyaan). Sebagian besar berpakaian rapi dengan rambut rapi dan menggunakan bahasa Tagalog (bahasa daerah dari Filipina). Ya iyalah, karena mereka adalah pegawai BCA yang berasal dari Filipina.

Tapi ampuuunn...ada tiga orang yang berwajah acak-acakan (yang ini neh wajah-wajah Indonesia). Salah satu dari tiga orang tersebut adalah yang terparah. Dia mengenakan kaos oblong bergambar tokoh wayang Rama dan Shinta, celana pendek dan sandal jepit yang kebesaran. Rambutnya acak-acakan dan asal dibundel dengan karet gelang warna biru. Dia terlihat ndesoni banget. Namanya Rie Rie. LHO??? KOK???

Oeeiii...saya tau kalian kecewa karena ternyata Rie Rie ga cuma kelakuannya yang super menjengkelkan tapi juga dandanannya. Makanya saya menyarankan bagi yang lagi nyidam atau bagi yang punya bini hamil muda sebaiknya nyebut "jabang bayi" tujuh kali dan berdoa semoga anaknya persis plek seperti saya. Ha?

Saya tahu, khan ada pepatah "Don't look at the book by it's cover" gitu khan? Tapi kayaknya banyak yang belum tahu. Khususnya pegawai BCA yang bergerombol nungguin momongannya sambil ngobrol-ngobrol dengan sesama bangsanya itu.

Sungguh kawan, saya tahu juga tahu bahwa ini adalah diskriminasi  saat mereka tuh melihat saya dengan pandangan gimanaa...gitu. Boro-boro mau nyapa, senyum aja kagak, bahkan menghindar sambil bisik-bisik.

Trus terjadilah bencana itu.

Sebenarnya bukan bencana seh.

Eh termasuk bencana ding.

ah masa iya seh?

iya bukan ya?

Eh iya bener. Kayaknya bener-bener masuk kategori bencana deh.

Begini...

Ada banyak anak bermain di dalam indoor playground tersebut, masing-masing dari anak tersebut tentunya diikuti oleh seorang "cece" (pengasuhnya). Seorang bocah berumur kira-kira 4 tahun sedang bermain dengan beberapa bola dan Katelyn (momongan saya) mengambil salah satu dari bola itu dan berlalu. Si bocah menangis, sedetik kemudian si cece yang sebelumnya asyik cekikikan entah dengan siapa lewat ponselnya, dia kemudian datang bertanya kepada si bocah.

"What happen?" tanya si Cece.
"My ball...huwaaa ...hiks...," kata si bocah sambil menangis dan menunjuk kearah Katelyn.

Cece kemudian bergegas menuju Katelyn, aku mengikutinya.

"I'm sorry," kataku padanya. Di luar dugaanku dia mencekal tangan Katelyn dan mengambil bola dari tangan Katelyn dan kemudian...PLAKK!" Cece memukul tangan Katelyn. Aku kaget, Katelyn tak kalah kagetnya kemudian berlari memelukku dan hampir menangis.

"Why? Why did you do that to her?" tanyaku dengan penuh keheranan.

"Do you know why? Cos she took away the ball, she didn't ask any permission from Daniel (nama si Bocah itu)."

"So what's the difference? Apa bedanya? Kamu mengambil bola itu darinya tanpa permisi juga kok!" bentakku.

"You see," tangannya menunjuk padaku.
"Your girl took away the ball, Daniel is so upset. He cried!" katanya.

"Excuse me, there are so many balls and they are not his. I don't think that is necessary to ask anyone permission. By the way, if you think what Katelyn has been doing is wrong, I'm sorry, but I think you should talk nicely to her.  She is only a kid, you know. I am taking care of her for 5 years and I never hit her with wrong reason like you. Then who do you think you are?!" bentakku.

"You stupid daughter of bicth! He is playing with the balls, and she took it away. She is wrong and you defend her?" katanya dengan nada meninggi.
"Oh I'm sorry. But still, I think you should not hit her but talk to her. Kenapa harus pakek mukul? Saya yakin Katelyn akan merasa bersalah kalau diajak ngomong baik-baik," kataku. Give back the ball to Daniel, Katelyn. And say sorry to him," perintahku pada Katelyn yang kemudian segera dilakukannya.

"You Indonesian idiot!" tangannya menudingku.
"Oh please! Jangan bawa-bawa nama negara saya. There is no relationship! Ga ada hubungannya!"
"So what? It's true, the typical of you, cannot think well. And you cannot teach her manner!" katanya sinis.
"Talking about manner if yourself have none. So do you think you are greater than me, huh? Just see, if you take care of that boy in that way for another year, I can guanrantee you that he will be a rascal!" bentakku lagi.

"HA!! What a nonsense!"

"Hei...hei...hei...! Kalian di sini ngapain? Mo hai lito takau a. Jangan berantem disini!" kata penjaga playground melerai kami.

"Emhai takau a Ayi. Bukan berantem kok. Tanhai goi canhai so so tei. Tapi dia itu semprul," kataku sambil berlalu dan menarik tangan Katelyn pergi dari tempat itu.

Di rumah, Katelyn menghadap naughty wall , berdiri tegak menghadap dinding karena kesalahannya. Tapi jauh di dalam hati ini berkata bahwa Katelyn tidak bersalah. Dia hanya mengambil satu bola dari sekian banyak bola yang ada, saya rasa dia tidak bermaksud merebutnya...tapi....

****

Merawat dan melindungi anak mempunyai cara yang berbeda-beda, tapi seyogyanya kalau itu dibarengi dengan tanggung jawab moral terhadap anak tersebut. Dan kemudian melepaskannya untuk bersosialisasi dengan yang lain. Membiarkannya bermain sendiri berakibat fatal pada perkembangan emosinya. Egois, cengeng, pemalu...saya sungguh tak ingin momongan saya atau bahkan anak saya nanti mempunyai sifat itu.

repost dari Multiply