Simbah saya yang buta bertanya tentang warna rambut saya.
Saya tak pernah berpikiran untuk mempunyai warna rambut lain selain hitam, tidak juga putih. Bukan berarti saya menolak untuk menjadi tua, karena untuk menua bukankah sudah takdir bagi sesiapapun juga? Bapak saya yang waktu saya SD dulu masih terlihat muda dan gagah sekarang sudah membungkuk, keriput, tua dan berambut putih. Tidak juga Elizabeth Taylor berhasil menyembunyikan diri bahwa dia menua. Tidak seorangpun!
Tapi budaya pengeyelan saya mengatakan bahwa warna rambut itu ya hitam, dan hanya hitam.
Lalu ketika simbah saya yang buta lewat telpon tadi bertanya kepada saya tentang warna rambut saya, kenapa saya tiba-tiba gugup?
Pertanyaan simbah yang wajar saja, termasukpun dalam kategori pertanyaan yang lugu kalau ditanyakan pada kebanyakan orang, tetapi berbeda arti kalau pertanyaan itu diberikan kepada saya. Mungkin banyak orang menganggapnya sebagai pertanyaan yang konservatif tetapi tidak sedikitpun saya menganggapnya demikian, tidak sama sekali. Walaupun si empunya pertanyaan adalah sosok kuno yang kolot. Yang masih percaya kalau setiap daerah mempunyai danyang(penunggu), yang masih percaya kalau dia adalah cucu dari cucunya ki ageng Selo(tokoh jawa yang terkenal karena berhasil menangkap petir), yang masih percaya pada jampi-jampi dan rapalan, yang masih percaya bahwa suwuk tolak angin dan tolak belek(doa penolak angin & penolak sakit mata)-nya masih ampuh.
"Rambutmu ndak isih ireng nduk? Rambutku wis putih memplak, sepurane sing akeh yen tho ana rambut putihku sing ora mutihi(Rambutmu apa masih hitam, nduk? Maafkan kalau rambut saya yang putih ini tidak sebenarnya putih)," kata simbah.
"Degg!"
Jelas sekali simbah ingin mengajak saya untuk berfikir. "Rambutmu ndak isih ireng" dan "Rambut putih sing ora mutihi" tentu mempunyai arti kiasan bukan sekedar melulu sebagai pertanyaan atas warna rambut saya dan permintaan maafnya atas warna putih pada rambutnya tidak seputih warna putih.
Dulu, ketika saya masih SD simbah saya pernah memberi wejangan yang membekas sekali di hati saya, bahwa warna rambut adalah simbol dari keserderhanaan dan kearifan(hitam dan putih). Menjalani hidup dengan kesederhaan. Dan sejalan menuanya umur, kearifan dan kebijaksaan kita dituntut untuk memilih dan memutuskan hidup.
Nah, yang berat adalah yang bagian kedua(kearifan dan kebijaksanaan). Sampai sekarang saya belum merasakan itu ada pada saya. Emosi lebih sering menguasai.
Mungkin itulah dasar saya untuk beranggapan bahwa warna rambut itu hitam.
Dilain makna tentang warna rambut...
Tidak saya pungkiri kalo saya mengagumi warna rambut dari Tamara Blezinky ataupun punkers dari Jerman yang posternya melekat di pintu kamar saya.
Memiliki warna rambut lain selain hitam juga tampak bagus bagi beberapa orang kawan saya(TKW-HK). Asal tidak sekedar terlalu memaksakan diri karena trend mode saja. Tapi setidaknya disesuaikan dengan karakter wajahnya. Tapi bukan untuk Rie, karena bagi Rie warna rambut ya hitam.
setiap helai rambut putih yang kita miliki terekam berapa ratus atau berapa ribu mulut kita berdzikir mengingat yang KUASA, terekam apakah kita termasuk golongan yg mensyukuri nikmat-NYA ataukah yg ingkar.
BalasHapusoh ya? baru mendengar ini...terimakasih.
BalasHapus