"Kita cuma berpisah khan?" tanyaku padanya dengan mulut tak bergerak.
"Kita bukannya bercerai khan?" tanyaku lagi kali ini air mata hampir turun dari danau kecilku.
Perasaanku lebih sakit daripada sewaktu ndoroku menyunati gajiku kemarin malam. Pilu seperti linu dan nyeri yang teramat sangat bukan karena luka yang kentara tetapi luka yang tersimpan jauh di dalam dada.
Aku bukanlah hendak membantah seorang "ndoro" tapi bukankah dia yang mengenalkan aku terhadap cinta? Memberikan aku gambaran betapa hidup ini indah bila ada cinta dan terakhir mengijinkan aku terang-terang mencintai dan bercinta sekaligus tepat di depan hidungnya?
Dan pagi tadi sebuah telunjuk teracung padaku, sebuah perintah segera diumumkan bahwa aku harus berpisah dengan kekasihku tercinta. Bukankah itu hal yang teramat sadis? Lebih sadis daripada pembunuh yang memotong-motong tubuh korbannya yang telah disetubuhi sebelumnya. Iya khan?
Aku berduka. Berpisah selalu bukanlah hal yang indah.
Sewaktu kuhantarkan kepergiannya, kukatakan padanya untuk menjaga dirinya baik-baik dan menunggu kepulanganku. Betapa aku mengkhawatirkan perjalannya, betapa aku meragukan keutuhannya. Aku tahu aku akan merindukannya, seperti rindu seorang ibu kepada anaknya, seperti rindu seorang muslim kepada penciptanya. Dan kutahu bahwa selalu cintaku padanya berbalas cinta dan rinduku padanya berbalas rindu.
Hari ini waktu terasa merangkak. Berulang kali aku mengirim pesan kepada saudaraku sehubungan dengan kepulangan kekasihku. Agar mereka menjaganya, agar tak ada sesiapa yang menjamahkan tangannya selain aku. Karena aku tak mau berbagi cintaku, dengan siapapun.
Sebuah bell segera mengejutkanku. Mengembalikan aku pada posisi semula yaitu sebagai babu. Akhirnya pukul tujuh, perut-perut kelaparan "ndoroku" adalah kewajiban dan tanggung jawabku.
"We are back!!!" teriak kedua "ndoro" tersebut dengan tangan terbuka berharap si kecil Kate segera berhambur menyambut dan memeluknya. Sedangkan Kate lebih suka duduk persis di depan pintu dapur mengawasiku meracik makanan buat sang "ndoro", mama papanya.
Dengan perasaan tega aku mendorong Kate menjauhi pintu dapur kemudian menutupnya dari dalam. Sungguh perbuatan seperti ini bukanlah hal terpuji, bukanlah hal layak yang dilakukan oleh babu. Tapi hati terlanjur sakit, rasanya tak sanggup aku melihat wajah yang telah memisahkan aku dengan kekasihku.
Dan pintu dapur menganga, sebuah kepala disusul dengan tubuhnya memasuki daerah kekuasaanku.
"What are we going to have for dinner?" tanya ndoro kakung dengan senyum yang biasanya aku ibaratkan mirip senyumnya Andy Lau. Bagiku kini senyum itupun tak lebih dari sebuah seringaian saja. Dan pemilik senyum itu adalah serigala galak yang pendengki.
"This," jawabku singkat padat dan jelas, tanpa menoleh sedikitpun tanpa ekspresi menghormati juga.
Selanjutnya kubiarkan dia mengambil coke dari dalam kulkas, mengambil piring, sendok, sumpit dan meletakkannya di atas meja. Juga kubiarkan dia mengambil sup akar teratai dengan sendirinya. Muak aku benci sama dia!
Hening dan sepi saat dinner itu berlangsung tak ada suara decapan sekalipun, juga tak ada suara sendok beradu piring. Kate juga diam dengan tumpukan buku di depannya.
Siaran berita tentang kejadian rutin hariku juga tak terdengar tidak ditanyakan oleh sang "ndoro" juga tak hendak aku mengutarakannya. Jelasnya aku memilih diam mengaduk-aduk makananku di pojok dapur.
Tak terasa air mataku terjatuh, satu dua, tiga... Kukerahkan kemampuanku untuk menahan agar tak lagi berjuntaian dan terlihat oleh mereka. "Bukankah aku ini wanita perkasa?" kataku mengingatkan diri sendiri.
Aku berlari ke kamar mandi. Sebenarnya bukan karena panggilan alam yang berseru padaku untuk mengeluarkan ampas makanan dari anusku, tapi sekedar menyembunyikan diri. Duduk di atas toilet dengan perasaan tak menentu. Menarik-narik tissue, mencabik-cabiknya dan membuangnya ke dalam lobang menganga di bawah pantatku, kemudian menekan tombol kecil disamping tangki toilet itu. Kutekan lebih kuat dari biasanya, segera saja air berhamburan keluar, tetapi tidak semua tissue hanyut terbawa arusnya. Yah, mungkin terlalu banyak.
Kutanggalkan kain yang menutup tubuhku, kulempar keluar kamar mandiku dan mendarat tepat di atas laciku. Laci yang biasanya menjadi tempat tinggal kekasihku kalau aku tak sedang memeluknya. Air dingin itu mengguyur tubuhku. Sengaja aku tak menyalakan heater, pikirku mungkin saja air dingin itu bisa mendingikanan kepalaku. Dan cukup berhasil, karena kemudian aku tak seemosi sebelumnya.
Maka keluarlah aku dari kamar mandiku. Kubereskan meja dan sisa makanan yang ada, kucuci piring, sendok, mangkuk, panci dan sebagainya, ku pel dapur dengan dengkul mengadu lantai. Sementara rupanya sang "ndoro" sudah siap di kamarnya dan tak tahu kenapa si Kate sudah tertidur, tak biasanya.
Malam ini aku tidur sendiri, biasanya kekasihku selalu menemani. Biasanya kupeluk dia sambil merajut mimpi. Malam ini kekasihku Harry telah pergi, kupulangkan dia ke Indonesia. Tempat dimana nanti aku kembali, karena disini, di Hongkong ini, toh aku sekedar transit saja demi mendapatkan stempel(modal) untuk memperbaiki hidupku dan destination ku tetap sama, yaitu Indonesia.
Harry, semoga perjalanmu tak ada halangan dan rintangan, doaku menyertaimu. Tunggu aku ya, aku pasti kembali! Pasti!
**kutulis setelah berpisahnya aku dengan seratus buku2 ku. Setelah bos menggertakku untuk memulangkannya ke Indonesia. Betapa pilu. Harry Potter ada di antaranya**
diumumkan [bukan] di umumkan
BalasHapusdaripada [bukan] dari pada
maturnuwun atas koreksinipun.
BalasHapusmbak, tabahlah. tabah, ya. harry pasti baik-baik saja. ndoromu masak gak suka baca? tabah. tabah.
BalasHapustabah, hik hiks...sampe saat ini Harry kekasihku belum nyampe rumah. Semoga dia baik2 saja. Bosq lebih suka utek2 kompi dia orang IT.
BalasHapus