Ketika sebuah kunjungan bermisi extra-berguna dari sebuah rencana yang disusun dengan ndakik-ndakik(amat terencana) berakhir menjadi sebuah kunjungan dalam arti yang lain, tanpa hasil…
Hongkong nama negara tujuan dari kunjungan itu, atau lebih tepatnya sebut saja dengan Betonisia. Lho kok Betonisia?? Lha iyalah, masa’ lha iya dong! Karena Hongkong ini adalah sebuah negara beton yang banyak mengimpor orang-orang dari Indonesia.
Bicara tentang mengimpor orang(tentunya ada pihak yang merasa tidak suka dengan istilah ini, maaf) tentunya tak lepas dari mengekspor orang, dua frase yang sarkastis tetapi nyata kalau semua pihak mau saling terbuka dan jujur.
Biasanya setelah mengimpor ke negara lain maka negara yang mengekspor tersebut tidak akan tahu menahu tentang apa yang telah dikirimnya/diekspornya. Tapi beda sekali dengan Indonesia, rasa bertanggung jawabnya telah mendorong Indonesia untuk mengirimkan beberapa utusan untuk tilik(mengunjungi) komoditas ekspornya. Hebat bukan? Lebih hebatnya lagi yang tilik ini adalah para pinterwan(orang-orang pinter), terkenalwan(orang-orang yang terkenal) dan tak ketinggalan juga negarawan(pejabat negara).
Sebut saja beberapa anggota DPR, pejabat Disnaker, pejabat Pemprov, peneliti, seniman sampai dengan artis-artis yang cuantiiiiik dan guuuannteng juga ikut tilik. Tapi sayangnya, perihal tilik ini belum bisa disalutkan. Lho kok?
Toh yang di ekspor adalah orang bukan barang. Apalagi orang tersebut adalah orang-orang(bukan cuma seorang) yang berbangsa. Sebutan ekspor juga bukan sebutan yang beradap. Orang kok di ekspor, lha tapi kenyataane?
Atau begini, perhalus bahasanya menjadi: mengirimkan anak-anak bangsa untuk bekerja ke luar negeri. Sedikit keren, walaupun bekerja dalam hal ini hanya untuk memenuhi pekerjaan non-formal, sebagai babu di negara orang(lha masih untung bisa mbabu daripada jadi preman dan permen negara!).
Ada anak(dari kata anak-anak bangsa) tentunya ada juga bapak. Sebagai orang tua yang mengkhawatirkan anaknya, memberi perlindungan, atau sekedar menanyakan khabar sampai dengan tilik/mengunjungi anaknya adalah hal yang wajar. Tidak ada yang istimewa, tidak ada yang hebat. Toh sudah menjadi kewajiban orang tua sebagai wujud dari rasa peduli, cinta dan tanggung jawabnya.
Dan benar saja kawan, khawatir (mungkin)iya, melindungi (kurang)cukup, menanyakan khabar juga dilakukan hingga tilikpun dilaksanakan. Komplit! Seperti jamu STMJ+ginseng!!
Bahkan acara tilik itupun tergolong sukses besar walaupun hanya sekejap saja karena bapak dan ibu sedikit tersesat. Maklum saja, Hongkong eh Betonesia itu adalah negara yang serba gebyar dan serba ada. Ada banyak WC gratis sampai dengan baju made in Paris yang harganya bikin orang sedesa meringis.
Dan sewaktu bapak pulang ke Indonesia, bapak yang sebelumnya telah berjanji untuk menelefon segera dan melakukan pembenahan dan perbaikan demi mulusnya jalan pemberangkatan anak-anaknya yang lain menyusul anak-anaknya yang telah terkirim ke luar negeri sebelumnya, ternyata lupa. Lupa nelfon, lupa untuk memperbaiki nasib anaknya yang akan di berangkatkan pada penerbangan selanjutnya, lupa ini lupa itu, lupa, lupa, lupa…
Lupa mungkin sudah menjadi kodrat manusia. Karena lupa juga merupakan nikmat Allah. Tetapi lupa akan misi dan tujuan utama dari segala rencana semula wajar ga’ seh?
“Pak….lha kok masih sama saja sami mawon tho? Yu Painem di cerai jarak jauh, Yu Siti di gaji underpay, sedangkan adik-adik lainnya masih kerja bakti tujuh bulan lamanya untuk memberi upeti kepada agen yang telah membantunya oncat dari Indonesia, dan segala hal pengurusan surat-surat di Hongkong masih mbulet ruwet dan berujung duit! Kunjunganmu itu…mo yung a!”
Hongkong nama negara tujuan dari kunjungan itu, atau lebih tepatnya sebut saja dengan Betonisia. Lho kok Betonisia?? Lha iyalah, masa’ lha iya dong! Karena Hongkong ini adalah sebuah negara beton yang banyak mengimpor orang-orang dari Indonesia.
Bicara tentang mengimpor orang(tentunya ada pihak yang merasa tidak suka dengan istilah ini, maaf) tentunya tak lepas dari mengekspor orang, dua frase yang sarkastis tetapi nyata kalau semua pihak mau saling terbuka dan jujur.
Biasanya setelah mengimpor ke negara lain maka negara yang mengekspor tersebut tidak akan tahu menahu tentang apa yang telah dikirimnya/diekspornya. Tapi beda sekali dengan Indonesia, rasa bertanggung jawabnya telah mendorong Indonesia untuk mengirimkan beberapa utusan untuk tilik(mengunjungi) komoditas ekspornya. Hebat bukan? Lebih hebatnya lagi yang tilik ini adalah para pinterwan(orang-orang pinter), terkenalwan(orang-orang yang terkenal) dan tak ketinggalan juga negarawan(pejabat negara).
Sebut saja beberapa anggota DPR, pejabat Disnaker, pejabat Pemprov, peneliti, seniman sampai dengan artis-artis yang cuantiiiiik dan guuuannteng juga ikut tilik. Tapi sayangnya, perihal tilik ini belum bisa disalutkan. Lho kok?
Toh yang di ekspor adalah orang bukan barang. Apalagi orang tersebut adalah orang-orang(bukan cuma seorang) yang berbangsa. Sebutan ekspor juga bukan sebutan yang beradap. Orang kok di ekspor, lha tapi kenyataane?
Atau begini, perhalus bahasanya menjadi: mengirimkan anak-anak bangsa untuk bekerja ke luar negeri. Sedikit keren, walaupun bekerja dalam hal ini hanya untuk memenuhi pekerjaan non-formal, sebagai babu di negara orang(lha masih untung bisa mbabu daripada jadi preman dan permen negara!).
Ada anak(dari kata anak-anak bangsa) tentunya ada juga bapak. Sebagai orang tua yang mengkhawatirkan anaknya, memberi perlindungan, atau sekedar menanyakan khabar sampai dengan tilik/mengunjungi anaknya adalah hal yang wajar. Tidak ada yang istimewa, tidak ada yang hebat. Toh sudah menjadi kewajiban orang tua sebagai wujud dari rasa peduli, cinta dan tanggung jawabnya.
Dan benar saja kawan, khawatir (mungkin)iya, melindungi (kurang)cukup, menanyakan khabar juga dilakukan hingga tilikpun dilaksanakan. Komplit! Seperti jamu STMJ+ginseng!!
Bahkan acara tilik itupun tergolong sukses besar walaupun hanya sekejap saja karena bapak dan ibu sedikit tersesat. Maklum saja, Hongkong eh Betonesia itu adalah negara yang serba gebyar dan serba ada. Ada banyak WC gratis sampai dengan baju made in Paris yang harganya bikin orang sedesa meringis.
Dan sewaktu bapak pulang ke Indonesia, bapak yang sebelumnya telah berjanji untuk menelefon segera dan melakukan pembenahan dan perbaikan demi mulusnya jalan pemberangkatan anak-anaknya yang lain menyusul anak-anaknya yang telah terkirim ke luar negeri sebelumnya, ternyata lupa. Lupa nelfon, lupa untuk memperbaiki nasib anaknya yang akan di berangkatkan pada penerbangan selanjutnya, lupa ini lupa itu, lupa, lupa, lupa…
Lupa mungkin sudah menjadi kodrat manusia. Karena lupa juga merupakan nikmat Allah. Tetapi lupa akan misi dan tujuan utama dari segala rencana semula wajar ga’ seh?
“Pak….lha kok masih sama saja sami mawon tho? Yu Painem di cerai jarak jauh, Yu Siti di gaji underpay, sedangkan adik-adik lainnya masih kerja bakti tujuh bulan lamanya untuk memberi upeti kepada agen yang telah membantunya oncat dari Indonesia, dan segala hal pengurusan surat-surat di Hongkong masih mbulet ruwet dan berujung duit! Kunjunganmu itu…mo yung a!”