Ceria tapi tidak patriotis, tidak nasionalis. Peringatan kemerdekaan sama halnya dengan peringatan hari Kartini atau hari-hari bersejarah yang lain. Tidak ada pemaknaan peringatan kemerdekaan yang berarti, semua datar-datar saja.
Dari tahun ke tahun jalannya peringatan kemerdekaan masihlah sama. Sewaktu saya masih SD dulu, upacara penaikan dan penurunan bendera yang terlalu lama itu selalu membuat saya pingsan di menit terakhirnya. Dan karena mengikuti upacara bendera di tanggal 17 Agustus adalah suatu rutinitas dan keharusan maka itu berarti juga rutinitas kesengsaraan saya karena harus mengulang pingsan di setiap tahunnya pada waktu yang (hampir) sama.
Sempat saya berfikir, kalaupun bung Karno-Hatta dan bangsa Indonesia dulu bisa merasakan betapa sakralnya upacara peringatan kemerdekaan Indonesia untuk pertama kalinya -yang walaupun pada waktu itu upacara dijalankan dengan sangat sederhana tanpa protokol, tanpa korps musik, tanpa konduktor dan tanpa pancaragam, tiang bendera pun dibuat dari batang bambu secara kasar, serta ditanam hanya beberapa menit menjelang upacara- lalu mengapa saat jaman saya SD hingga kini yang sudah menjalankan upacara peringatan kemerdekaan Indonesia dengan protocol, dengan korps musik, dengan konduktor dan dengan segala tetek bengeknya, saya justru merasakan siksa yang berkelanjutan (siksanya sampai SMA sih..)?
Keluh kesah yang sama juga sempat saya tangkap dari mbak Rini, tetangga saya. Yang adalah anggota drumband di sekolahnya. Jauh hari sebelum upacara bendera peringatan kemerdekaan itu di laksanakan, drumband di sekolahnya selalu mengadakan latihan yang ketat di setiap sorenya hingga hampir magrib. Betapa saya melihatnya di antara rasa lelah, lapar dan haus di setiap kali dia pulang sekolahnya pada waktu itu.
Walaupun karnaval selalu digelar pada hari selanjutnya (biasanya pada tanggal 18 Agustus) dengan arak-arakan keliling desa yang diwarnai dengan para bocah yang bermuka coreng-moreng layaknya kethoprak memakai pakaian dan make up ala putra daerah dari 27 propinsi (waktu itu masih 27 propinsi) atau ala pejuang dengan bambu runcing dan ikat kepala atau ala pendeta/kyai, ala guru, dokter, pemadam kebakaran, polisi, perawat dan sebagainya, namun tetap saja sepi di arti, makna dari peringatan kemerdekaan itu kosong.
Kalau saya boleh memilih, maka saya lebih memilih mengikuti emak saya jualan es bungkus keliling lapangan daripada berdandan ala Sunda (yang selalu menjadi bagian saya) dan keliling desa dengan menyiksa ujung jari-jari kaki saya karena sandal yang berhak tinggi dan juga dengan mulut menganga karena lipstick di bibir saya terasa begitu beratnya dan membuat bibir saya terasa kaku. Namun bukankah saat itu sesiapapun tidak bisa memilih? Semuanya menurut begitu saja atas perintah guru, guru yang diperintah oleh diknas. Dan demi memenangkan prestise di antara sekolah yang ada, beliau (para guru) melakukan serangkaian upacara dan acara peringatan kemerdekaan tanpa makna, karena maknanya itu sendiri tenggelam di balik gebyar yang lebih dominan.
Selalu begitu, setiap tahun adalah sama. Upacara, karnaval, juga lomba-lomba yang hanya ramai sehari kemudian terlewatkan di hari selanjutnya. Tanpa menyisakan sedikit kenangan yang berbau nasionalisme atau patriotisme yang sesungguhnya. Perayaan seremonial belaka, seolah melupakan makna sebenarnya kemerdekaan itu apa dan bagaimana para pejuang telah merebut dan memperjuangkannya.
Dan sekarang setelah 63 tahun merdeka, tinggal mengisi dan memajukan bangsa, sedang masih banyak yang terlena oleh kemerdekaan pribadi yang menyengsarakan sesamanya daripada bahu-membahu memaknai kemerdekaan dengan sebenar-benarnya demi kemajuan bangsa/kemajuan bersama. Langka rasanya untuk bisa melihat ataupun mencontoh kepahlawanan dalam lingkungan yang sempit sekalipun. Mungkin lebih mudah untuk menjadi koruptor atau pemeras yang selalu bisa menahan jatuhnya palu hakim karena mampu mengganjalnya dengan uang.
Malu rasanya setiap tahun bertelanjang tujuh belas.(Rie Rie)
Dari tahun ke tahun jalannya peringatan kemerdekaan masihlah sama. Sewaktu saya masih SD dulu, upacara penaikan dan penurunan bendera yang terlalu lama itu selalu membuat saya pingsan di menit terakhirnya. Dan karena mengikuti upacara bendera di tanggal 17 Agustus adalah suatu rutinitas dan keharusan maka itu berarti juga rutinitas kesengsaraan saya karena harus mengulang pingsan di setiap tahunnya pada waktu yang (hampir) sama.
Sempat saya berfikir, kalaupun bung Karno-Hatta dan bangsa Indonesia dulu bisa merasakan betapa sakralnya upacara peringatan kemerdekaan Indonesia untuk pertama kalinya -yang walaupun pada waktu itu upacara dijalankan dengan sangat sederhana tanpa protokol, tanpa korps musik, tanpa konduktor dan tanpa pancaragam, tiang bendera pun dibuat dari batang bambu secara kasar, serta ditanam hanya beberapa menit menjelang upacara- lalu mengapa saat jaman saya SD hingga kini yang sudah menjalankan upacara peringatan kemerdekaan Indonesia dengan protocol, dengan korps musik, dengan konduktor dan dengan segala tetek bengeknya, saya justru merasakan siksa yang berkelanjutan (siksanya sampai SMA sih..)?
Keluh kesah yang sama juga sempat saya tangkap dari mbak Rini, tetangga saya. Yang adalah anggota drumband di sekolahnya. Jauh hari sebelum upacara bendera peringatan kemerdekaan itu di laksanakan, drumband di sekolahnya selalu mengadakan latihan yang ketat di setiap sorenya hingga hampir magrib. Betapa saya melihatnya di antara rasa lelah, lapar dan haus di setiap kali dia pulang sekolahnya pada waktu itu.
Walaupun karnaval selalu digelar pada hari selanjutnya (biasanya pada tanggal 18 Agustus) dengan arak-arakan keliling desa yang diwarnai dengan para bocah yang bermuka coreng-moreng layaknya kethoprak memakai pakaian dan make up ala putra daerah dari 27 propinsi (waktu itu masih 27 propinsi) atau ala pejuang dengan bambu runcing dan ikat kepala atau ala pendeta/kyai, ala guru, dokter, pemadam kebakaran, polisi, perawat dan sebagainya, namun tetap saja sepi di arti, makna dari peringatan kemerdekaan itu kosong.
Kalau saya boleh memilih, maka saya lebih memilih mengikuti emak saya jualan es bungkus keliling lapangan daripada berdandan ala Sunda (yang selalu menjadi bagian saya) dan keliling desa dengan menyiksa ujung jari-jari kaki saya karena sandal yang berhak tinggi dan juga dengan mulut menganga karena lipstick di bibir saya terasa begitu beratnya dan membuat bibir saya terasa kaku. Namun bukankah saat itu sesiapapun tidak bisa memilih? Semuanya menurut begitu saja atas perintah guru, guru yang diperintah oleh diknas. Dan demi memenangkan prestise di antara sekolah yang ada, beliau (para guru) melakukan serangkaian upacara dan acara peringatan kemerdekaan tanpa makna, karena maknanya itu sendiri tenggelam di balik gebyar yang lebih dominan.
Selalu begitu, setiap tahun adalah sama. Upacara, karnaval, juga lomba-lomba yang hanya ramai sehari kemudian terlewatkan di hari selanjutnya. Tanpa menyisakan sedikit kenangan yang berbau nasionalisme atau patriotisme yang sesungguhnya. Perayaan seremonial belaka, seolah melupakan makna sebenarnya kemerdekaan itu apa dan bagaimana para pejuang telah merebut dan memperjuangkannya.
Dan sekarang setelah 63 tahun merdeka, tinggal mengisi dan memajukan bangsa, sedang masih banyak yang terlena oleh kemerdekaan pribadi yang menyengsarakan sesamanya daripada bahu-membahu memaknai kemerdekaan dengan sebenar-benarnya demi kemajuan bangsa/kemajuan bersama. Langka rasanya untuk bisa melihat ataupun mencontoh kepahlawanan dalam lingkungan yang sempit sekalipun. Mungkin lebih mudah untuk menjadi koruptor atau pemeras yang selalu bisa menahan jatuhnya palu hakim karena mampu mengganjalnya dengan uang.
Malu rasanya setiap tahun bertelanjang tujuh belas.(Rie Rie)
mbuh yu... aku dewe mumet mikirno negara iki...
BalasHapusemange aku sapa kok melu mikir negara?
:D
Rie Rie, tidak boleh terlalu pesimist begitu.
BalasHapusDi Spanyol, setiap tahun ada upacara negara dan kaya sirkus, sama2 ber-tahun2, disini juga ada orang miskin banyak, dan negara tidak bikin apa2 untuk tolong mereka.
Negara spanyol tidak maju apa2!!!.Tapi upacara2 banyak.
Salam from Barcelona.
INI lah negara kita...
BalasHapusINI lah Bangsa kita...
walau bagaimana pun,, inilah KEPALA kita...
kita harus optimis, agar nantinya bisa tidak meracuni pikiran kita untuk melakukan hal-hal seperti mereka lakukan