Galau?

huuhuuhuuuu...

Semangaaaaatttt..!

Love your job and be proud.

Iyes!

Bekerja sambil belajar.

Masih galau lagi?

No! No! No! Be happy laahhh...!

Ayo ngeblog!

Masa kalah sama Babu Ngeblog?

Kesempatan dalam Kesempatan

Lima buah netbook Lenovo S9 aku bawa dengan perasaan riang. Berat tubuhku seolah seperti kapas, melayang ringan hampir tak berbobot. Terbang bersama debu-debu di sepanjang Great George Street setelah semenit yang lalu turun dari sebuah mall yaitu Windsor House yang berada di Causewaybay. Sedemikian ringan hingga membuaiku sendiri dalam bayangan antara dolar hongkong dan rupiah Indonesia.

Aku merasa terbang meninggi dan semakin tinggi hingga menyentuh awan-awan yang lembut. Setiap satu langkah seperti satu lompatan indah menuju awan putih yang lain. Namun mendadak sudah tak ada awan putih lagi di hadapanku dan langkahkupun terhenti total. Dua awan hitam diam menghadangku. Dan tiba-tiba saja sebuah kilat menyambarku.

"Lei keh sanfencing a, emkoi!" kata seorang polisi.

"Your ID card, please!" kata polisi satunya lagi.

Awan hitam itu menjelma sebagai dua orang polisi yang tinggi tegap berseragam biru. Dengan pistol menggantung di samping kanan pinggangnya. Tak ada tanda-tanda bahwa mereka marah kepadaku namun tak ada juga tanda-tanda bahwa mereka ramah. Wajahnya begitu datar, ekspresi yang terlihat adalah keseriusan akan pekerjaan yang mereka jalankan.

"Siuce, san fencing a emkoi! Your ID card!" kata polisi pertama lagi, nadanya meninggi.

"Sanfencing? ID card?" bathinku. Mengapa mereka meminta KTP Hongkongku? Apa kira-kira kesalahanku? Apakah aku mencurigakan?

Kuletakkan dua tas yang berisikan netbook tersebut kemudian mengambil Ktp yang tersimpan di dompet yang menggantung di leherku. Kuserahkan kepada mereka dengan sebuah pertanyaan, "Why? Did I do something wrong? Ngo yau me cho cek(Apa aku berbuat salah?)?"

"Mo ye lah, ngotei check ha kamma(Tak ada apa-apa, kami hanya ngecek saja)" kata polisi pertama.

"Lei come ling kemto ko netbook keh?(Mengapa kamu membawa banyak netbook?)" tanya polisi kedua.

Aku berpikir sejenak, kalau aku salah memberi jawaban, saat itu juga mereka akan membawaku ke kantor polisi di interogerasi untuk kemudian di laporkan ke Imigrasi, sedangkan 20 menit lagi aku sudah harus berada di tempat les Mandarin Katelyn, jam 11 les Mandarinnya selesai. Saat itu jam 10. 40.

Hari itu kebetulan adalah jadwal les Mandarin Katelyn. Biasanya aku menunggunya di hingga selesai les. Pikirku daripada aku menunggu selama satu jam lima belas menit di sana, lebih baik aku menuju ke Computer center di mall Windsor House untuk mengambil pesananku(5 buah lenovo S9), yang aku pesan secara online seminggu yang lalu yang sebenarnya tinggal menunggu kurir untuk mengantarkannya. Dan, ah aku sudah tak sabar menunggu kurir sehingga hari itu aku berinisiatif untuk mengambilnya sendiri. Toh hanya netbook saja, masing-masing hanya 1,2 kg saja, pasti tak berat, pikirku.

Seminggu sebelumnya aku mendapat kabar dari bos bahwa di mall Windsor House ada netbook kosong(tanpa hardisk) yang di jual murah. Selang beberapa jam kemudian beberapa sms segera aku kirimkan kepada teman-temanku, dan ketika aku mengajak Kateln untuk bermain di tamanpun aku sempat bercerita tentang netbook tersebut kepada kawan-kawanku di sana. Singkat kata mereka tertarik dan menyuruhku untuk memesan, membeli sekaligus menginstall windows beserta beberapa aplikasi lainnya untuk kemudian mereka memberiku upah atas susah payahku. Aku setuju, pikirku inilah yang di sebut simbiosis mutualisme yang sebenarnya, kami sama-sama beruntung. Mereka bisa mendapat netbook dengan harga jauh lebih murah sedangkan aku bisa mendapat upah, adil bukan?

Menginstall tak membutuhkan waktu lama, hanya satu jam untuk satu netbook dan upahnya lebih banyak daripada saat aku mencoba menjual nasi bungkus keliling di Victoria Park kemarin hari. Kemarin hari waktu liburku aku mencoba menjual beberapa nasi bungkus keliling lapangan Victoria(hanya penasaran saja pengin nyoba seperti mbak-mbak yang lain). Mungkin karena aku tak berjiwa dagang atau mungkin karena wajahku tak meyakinkan dan suaraku saat meneriakkan tawaran nasi bungkus tak selantang mbak-mbak yang lain atau mungkin karena terlalu banyak penjual nasi bungkus hari itu sehingga setelah berjalan keliling selama 3 jam baru 20 nasi bungkus tersebut habis. Dan uang yang kudapatpun tak sebanding dengan capek di kakiku dan suara serakku.

Dan di banding dengan uang yang kudapat saat aku mengamen cara baru di Victoria park, yang semakin hari semakin menurun peminatnya, menginstall komputer ini lebih mengasyikkan. Taukah apa artinya mengamen cara baru tersebut? Begini, ku download iTune di laptopku(laptop pinjeman dari bos) kemudian meminjam CD dari teman dan perpustakaan Hongkong untuk di convert ke MP3(go n try it!!!). Berbekal seabrek lagu di laptop pinjeman tersebut, maka aku duduk manis dengan menggelar plastik di Victoria Park dan menawarkan bantuan untuk mentransfer lagu ke MP3 atau Hp teman-teman(tkw) yang lalu lalang di hari libur tersebut dengan mematok harga murah 40 sen perlagu. Minggu pertama, kedua dan ketiga berjalan sempurna, namun dengan semakin pandainya mereka(tkw) juga semakin up to date-nya HP mereka(bluetooth) maka semakin menurun pula pendapatanku dari mengamen cara baru tersebut.

"Siuce, lei mei tap ngo. Timkai lei ling kemto ko netbook keh?(Nona kamu belum menjawabku. Mengapa kamu membawa banyak netbook?)" tanya polisi kedua lagi.

"Timkai? Mengapa? Yanwai ngo lopan kiu lo. Bosku nyuruh saya mengambil netbook ini. Sekarang bolehkah saya pergi karena saya harus menjemput momongan saya jam 11," kataku. Aku cemas karena kudengar polisi pertama menelpon petugas imigrasi. Namaku di sebut-sebut, dia(polisi pertama) juga menanyakan perihal aku kepada petugas imigrasi dan saat itu menit demi menitpun berlalu tanpa aku bisa berbuat apa-apa.

"Pak, bolehkah saya pergi sekarang? Momongan saya sudah hampir keluar dari lesnya. Kalau dia tidak melihat saya di sana pasti dia akan berteriak-teriak mengangis," kataku padanya.

"Tang tang a. Lei ke bosi number leh?(tunggu. Nomer telpon bosmu mana?)" tanya polisi kedua.

Aku semakin gelisah. Saat itu tak seharusnya aku klayapan. Seharusnya aku duduk manis menunggu Katelyn keluar dari lesnya. Dan kalau aku menelpon bos dan mengatakan kalau polisi menghadangku sedangkan ada lima buah lenovo S9 bersamaku apa kata mereka nanti, pikirku.

Nekat, serta merta ku dial nomer telpon bos. Kukatakan padanya kalau dua orang polisi menghadangku dan mereka mencurigaiku karena aku membawa lima buah lenovo S9. Beruntung bos pengertian, karena sewaktu aku memesan netbook kemarin mereka mengetahuinya, dan merekalah juga yang meminjamiku beberapa soft ware.

Polisi pertama bercakap-cakap dengan bosku. Dalam bahasa kantonis fasih yang tidak aku kuasai sepenuhnya. Dan kemudian menutup pembicaraan, menyerahkan hpku kemudian mengucap terimakasih dan maaf karena telah mengganggu tugasku. Aku lega. Segera saja aku setengah berlari menuju tempat les Katelyn. Baru beberapa menit sebelum sampai aku di tempat les Katelyn aku dikejutkan lagi oleh dering HP ku. Mr. Wong, demikian tertera pada layar Hp ku.

"Cece, we will talk about it tonight," katanya tegas. Oh ya pasti, beberapa wejangan akan didendangkan oleh sang bos. Duh...

Ada 19 netbook lenovo S9 yang berhasil aku install(sekarang sudah ga ada stok lagi, hiks..), untuk kemudian aku bisa memiliki netbook sendiri(membeli netbook lenovo S10) tanpa mengurangi gajiku. O iya, pernah juga mencoba menginstall Mac(macintosh) ke lenovo S9 dan berhasil. Ada yang mau coba?


post signature


Seharusnya Kartini Ngeblog

SK Presiden RI (Ir. Soekarno) No.108 Tahun 1964, tanggal 2 Mei 1964 tentang penetapan Kartini sebagai Pahlawan Kemerdekaan Nasional dan hari lahirnya (21 April) dijadikan sebagai peringatan hari besar/hari nasional.

Adalah penghargaan tinggi oleh wanita tinggi(drajatnya) seperti Kartini, yang lahir dari kalangan ningrat dengan kemudahan dan keberuntungan yang di perolehnya lebih dari wanita pada jamannya.

Ketika seorang wanita diamuk gelisah(gelisah dengan sistem yg tak adil dan menciptakan jurang kaya-miskin yg lebar) dan ketika seorang itu adalah Kartini, seorang anak bupati Jepara yang jiwa nasionalisnya terbukti sekaligus teruji sekaligus mempunyai rasa cinta dan pengertian terhadap kemajuan(pendidikan) putrinya, maka tak heran pengaruh yang di timbulkannya sedemikian hebat. Pemikirannya(pemikiran Kartini) yang kritis sampai saat inipun masih relevan.

105 pucuk surat, catatan harian Kartini, sebuah sajak, dan sebuah Nota tentang pendidikan dan pengajaran, yang di maksudkan untuk dikirimkannya kepada pemerintah Belanda, seperti yang terangkum dalam buku “Door Duisternis Tot Licht” yang disusun oleh JH Abendanon yang kemudian diterjemahkan oleh Balai Pustaka, Armijn Pane yang lebih kita kenal dengan “Habis Gelap Terbitlah Terang"(yang kenyataan sebenarnya adalah habis gelap belum terang beneran), adalah bukti bahwa Kartini adalah seorang pemikir dan berkeinginan untuk mentranformasikan pemikirannya kepada orang lain.

Seandainya pada jaman Kartini dulu sudah ada Internet, saya yakin dia akan ngeblog dan menjadi selebriti blog yang kondang, melebihi nama-nama beken seperti nDara Kakung, Hakim Tea, kang Rohman, Kang Noval atau mbak Maya. Sehingga dia bisa menuangkan pemikiran, memanfaatkan teknologi komunikasi informasi untuk berinteraksi, melakukan transformasi dan memberikan inspirasi.

Dan berbicara tentang menuangkan pemikiran, siapapun juga bisa menjadi pemikir, tak hanya Kartini. Kelebihan dari Kartini adalah dia datang dari, kepada, dan pada waktu yang tepat yaitu datang dari keturunan ningrat anak bupati, kepada Nyonya Abendanon, Ovink-Soer dan Nona Zeehandelaar yang pinter dan berpengaruh, waktu agama masih belum mampu untuk meluruskan adat kuno yang kolot.

Dan oh ya, saya sudah tak sabar ingin menulis surat untuk Nyonya Abendanon, Ovink-Soer, dan Nona Zeehandelaar dan bercerita tentang polah laku para politikus "umuk" dan diskriminasi pada wanita Indonesia khususnya pada Buruh Migran Indonesia(babu), untuk kemudian di bukukan dalam mmm... mungkin, mmm... "Sudah Terang tapi masih Byar Pet", hum....

Kartini hanyalah seorang pemikir, blogger juga seorang pemikir asalkan blognya tak melulu bertemakan blog keluh kesah saja tetapi juga berupaya untuk saling berbagi, mengeluarkan ide atau opini ataupun kritik yang diharapkan bisa mendapatkan tanggapan positif sekaligus diskusi interaktif yang positif pula.

Masih terngiang celotehan terdahulu:

...dalam versi saya, perayaan Kartini adalah perayaan kebangkitan wanita, sebagai tonggak atas munculnya pemikiran-pemikiran dan kesadaran untuk mensetarakan dirinya dengan laki-laki. Pemikiran-pemikiran yang menjadi arus besar yang membawa gelombang jaman dengan semangat jaman bukan menoleh pada peradaban beku yang berkebudayaan masa lalu.

Wanita Indonesia yang menjadi pahlawan adalah wanita(siapapun dia) yang bisa membawa bangsanya ataupun sesiapa pada peradaban dunia yang lebih maju bukan dikekang demi sebuah arus kebodohan atau keuntungan politik.


Mungkin kelak akan ada hari Rie Rie, hari mbak Maya, hari lady Ellen, hari ....peblogger wanita lainnya. Tidak hanya hari Kartini saja. Dan tidak hanya menandai hari kebangkitan wanita(bukan hari Kartini) dengan jarik dan kebaya saja tetapi juga dengan ngeblog.

Selamat hari kebangkitan wanita!!



post signature


Capres ataupun Caleg, Aku PKB

Selamat pagi dan selamat datang tanggal 9 April 2009.
Sebuah sejarah baru yang hendak ditorehkan di buku sejarah perpolitikan Indonesia, pesta demokrasi (katanya demokrasi) pemilu 2009.

Hidup memang sebuah pilihan tapi PKB bagiku bukan sebuah pilihan melainkan destiny, takdir. PKB adalah takdirku. Lepas dari ke-43 partai lain yang kesemuanya menjanjikan diri sebagai pembela rakyat, partainya rakyat (rakyat yang mana??) de el el. Hingga setiap caleg maupun capres layaknya penjual balon yang menjanjikan warna-warni indahnya kehidupan tetapi begitu balon itu di terima segera saja meletus di udara dan yang tertinggal adalah tali yang melilit-belit tak dapat terlepaskan. Well, siapa suruh beli balon, emang anak kecil??

Dan..ya benar PKB adalah takdirku karena aku tumbuh di sana. Kepala dan hati yang keras ini karena gemblengannya. Airmata ini juga karenanya. Tak heran bahwa pemilu kali ini atau pemilu-pemilu yang akan datang aku tetap PKB. Bahkan ketika pemilu yang diadakan pada tahun 1999 pun aku PKB. Heran? Khan aku sudah bilang kalau PKB itu takdirku.

PKB, Putri Kelahiran Blora.
Bukankah aku PKB? Putri Kelahiran Blora?? got U!!

Bila Babu Berevolusi


"We are not a nation of servants! We are not a nation of slave! We are..We are a nation of professional workers! NO RACISM, NO DISCRIMINATION!!"

Suara itu terdengar menggelegar dari seorang bernama Delia(34) pembantu rumah tangga asal Filipina. Suara-suara seruan lain yang senada juga terdengar dari pedemo yang berjumlah lebih dari 1000 orang yang berarak mengelilingi Central - Hong Kong pada minggu, 5 April 2009.

Sebuah artikel yang ditulis oleh jurnalis kenamaan Hongkong, Chip Tsao, di HK Magazine tanggal 27 maret menjadi pemicu kemarahan warga Filipina yang berada di Hongkong tersebut. Tsao dalam tulisannya yang berjudul "War At Home" telah menoreh luka yang dalam di hati warga Filipina dimanapun mereka berada, khususnya bagi para pembantu rumah tangga Filipina yang berada di Hongkong. "As a nation of servants, you don't flex your muscles at your master, from whom you earn most of your bread and butter," tulis Tsao.

Sengketa diplomatik antara Cina dan Filipina mengenai kepulauan Spratly yang diyakini mempunyai cadangan mineral dan minyak yang melimpah membakar jiwa patriotik Tsao. Tsao yang menamakan dirinya sebagai "Patriotic Chinese Man" pun telah memulangkan pembantunya yang dinilai membangkang secara terang-terangan juga diyakini sebagai musuh di dalam rumahnya. "I would have to end her employment and send her straight home, because I would not risk the crime of treason for sponsoring an enemy of the state by paying her to wash my toilet and clean my windows 16 hours a day. With that money, she would pay taxes to her Government, and they would fund a navy to invade our motherland and deeply hurt my feelings."

Kendati permintaan maaf telah disampaikan oleh Tsao juga HK magazine namun demo masih tetap di gelar, sekaligus sebagai tuntutan kepada pemerintah Hong Kong untuk memberikan dan melindungi hak-hak warga Filipina yang berada di Hongkong juga memberikan sanksi kepada mereka yang telah melakukan tindak diskriminasi.

Di lain tempat, para buruh migran Indonesiapun tak kalah gigihnya melakukan demonstrasi. Bertolak dari 3 titik yaitu lapangan rumput(Victoria Park), kolam perahu dan di depan perpustakaan Causewaybay-Hongkong, massa yang telah tergalang berkumpul di samping SOGO(sebuah departement store)-Causewaybay. Selanjutnya massa berarak menuju KJRI dengan kawalan ketat para polisi.

Massa yang adalah Aliansi BMI-HK cabut UU no. 39 yang terdiri dari 41 organisasi Buruh Migran Indonesia tersebut melakukan orasi sekaligus menyuarakan 3 tuntutan yaitu:
1. Mencabut UUPTKILN No. 39/2004.
2. Meratifikasi Konvensi PBB Tahun 1990 tentang perlindungan buruh migran dan keluarganya.
3. Melibatkan BMI dalam setiap proses pembuatan kebijakan buruh migran.

UUPTKILN(Undang-Undang Penempatan dan Perlindungan TKI ke Luar Negeri) No.39/2004 dinilai hanya menitik beratkan pada pengaturan penempatan TKI tanpa memasukkan kebijakan ataupun perlindungan kepada TKI. Sebuah UU yang di buat oleh birokrasi politik yang alih-alih sebagai pengaturan penempatan dan perlindungan TKI tetapi sebenarnya adalah usaha mengekspor TKI dengan mudah tanpa adanya pengakuan hak yang sebenarnya dan tanpa adanya perlindungan yang berarti. Ironis bukan?

Terlebih dengan adanya pesta negara yang akan di gelar besok pada tanggal 9 April(Pemilu) maka semakin tersisih bahkan terlupakan pula kondisi dan kebutuhan sebenarnya TKI.

"Ketika UUPTKILN no 39 di sahkan, ketika itu pula pemerintah melepaskan kewajiban yang seharusnya di berikan kepada TKI-nya, warganya. Dan sepenuhnya TKI di kuasai oleh PJTKI, yang kita tahu sendiri bahwa PJTKI itu hanya mau untungnya saja. Nah, devisa yang kita berikan kepada negara sekian milyar pertahun itu kemudian apa yang diberikan kepada kita?" kata Iweng di saat orasinya.

"Dan sekarang di saat pemilu sudah di ambang pintu, kenapa kok kita diuber-uber untuk memilih?" tambahnya pula.

Ingar-bingar politik di Indonesia, pemilu, perebutan kursi hingga onani, maaf, orasi di pinggir jalan sampai blusukan(kunjungan) yang tidak pernah dilakukan sebelumnya dan yang kini(terpaksa) dijalankan untuk mencari simpati masyarakat adalah pengulangan sejarah perpolitikan Indonesia. Suatu pengulangan kebodohan politik yang entah dikarenakan kurang sadarnya masyarakat(karena bodoh-kurang pendidikan & pengetahuan) atau karena kepandaian penguasa yang mampu memutarbaliktengkurapterlentangkan situasi demi keuntungan pribadi.

Di sini, revolusi adalah keharusan. Dan di sini(Hong Kong) para buruh migran asal Filipina maupun asal Indonesia memperjuangkannya. Revolusi yang kita kehendaki adalah mutlak, tak peduli meski buruh, pembantu, babu, maid, helper or whoever yang menyuarakannya.


post signature


Kapan Kamu Nikah?

"Kapan kamu nikah?" tanya Chamid temenku beberapa bulan yang lalu.

"Setelah kamu," jawabku cuek.

"Insyaallah kalau kontrak ini selesai aku mau pulang nikah. Tapi kemudian balik sini lagi, kerja lagi 2 tahun lagi," kata Chamid sambil mendesah.

"Orang sudah nikah kok ditinggal," kataku.

"Habis mau gimana lagi, lha wong belum ada celengan. Kamu khan tahu aku nyekolahin adikku, dua masih kecil-kecil, sedangkan adik lakiku yang besar, kemarin baru saja nikah.
Hhhh....kecelakaan," kata Chamid mendesah.

Kecelakaan, pikirku. Aku tahu di desa-desa semboyan seperti LKMD amatlah wajar adanya. Bukan lantaran semboyan tersebut begitu merakyat melainkan karena semboyan tersebut akrab dengan kehidupan yang serba simple tapi grusa-grusu. Ups! LKMD yang saya maksud adalah Lamaran Keri Meteng Dhisik (lamaran belakangan hamil duluan).

Dan hari ini tepatnya tgl 3 April sebelum bertolaknya Cathay Pasific menuju Bandara Soekarno-Hatta, Jakarta, Chamid masih sempat bertanya padaku lewat telepon, "SLI(nama panggilan akrabku olehnya), SLI kapan nikah?"

Aku tersenyum. Pikirku, ah itu pertanyaan yang lumrah yang gampang saja aku jawab dengan: kapan-kapan atau kalau sudah ketemu jodoh atau kalau sudah sampai waktunya atau cukup dengan tertawa hingga nampak ke-32 buah gigi-gigiku yang kakakku bilang miji waluh (besar-besar dan tak beraturan).

Namun di hari ini, di hari yang sama dan dengan pertanyaan yang sama pula, aku tidak bisa menjawab pertanyaan itu dengan kapan-kapan atau kalau sudah ketemu jodoh atau kalau sudah sampai waktunya atau tertawa hingga nampak ke-32 buah gigi-gigiku, karena sang penanyanya adalah bapak. Seorang yang tidak pernah menyinggung sedikitpun kepadaku tentang hal itu, seseorang yang membebaskan aku untuk memilih dan mengamini semua keputusan yang aku tetapkan.

Entahlah, kalau terjadi maka terjadilah. Aku tak hendak memaksa diriku dengan menyumpali pemikiranku tentang  akan ada atau tidaknya seseorang dalam hidupku di kemudian hari. Bukan lantaran keputusasaan namun ada banyak hal yang sama nilai atau bahkan jauh lebih tinggi nilainya ketimbang hanya memikirkan hal itu dan menjadi priorritasku untuk saat ini.

Bapak, maafkan anakmu ini yang tidak bisa menjawab pertanyaan dan harapanmu. Maafkan atas keputusanku ini. Pak, dua bulan lagi anakmu ini akan pulang, tunggu aku dengan senyummu yang dulu. Yang sehat ya pak. Love you pak...so very much.

Titip Rindu Buat Bapak

Mendengarkan tangisnya kemarin yang pecah di tengah-tengah sesak nafas dan batuk yang beriak darah yang tak berhenti sepanjang hari, mendadak aku mengutuk sebuah benda yang menjadi surga bapak selama muda hingga tuanya itu, rokok.

Kemarin dokter sempat berbicara padaku tentang paru-paru bapak yang semakin payah, aku tak bisa berkata apa-apa, hanya menjadi pendengar dengan hati pilu teriris juga geram tertahan dan sesal tiada arti.

Bapak dulu seorang berbadan kekar, tinggi, gagah. Aku masih ingat ketika borok di kakiku semakin membusuk dan tiada sesiapa mau menyentuhku, bapaklah yang menggendongku ke dokter, mencuci bersih kakiku dengan air yang berwarna seperti betadin, mengeringkannya kemudian memoleskan salep merata di kedua belah kakiku. Aku masih ingat, akan selalu ingat ketika aku berteriak-teriak kesakitan karena salep tersebut seperti membakar kulit kakiku, bapak membentakku.

"PLAKK!" bapak menampar keras pipi kiriku. Meninggalkan goresan merah, semerah kulit yang baru di keroki, sebanyak empat garis melintang yang adalah gambar empat ruas jari kanannya yang kekar.

"Kowe pengin mari apa ora! Aku ki pengin kowe ndang mari, ndang sekolah! Ape dadi apa nek sikilmu bonyok? Ape dadi open terus? Terus sing ngopeni aku sapa?"
(Kamu ingin sembuh enggak? Aku igin kamu segera sembuh, segera sekolah! Mau jadi apa kalau kakimu membusuk? Mau dirawat terus? Lalu yang merawat aku nanti siapa?)

Waktu itu aku kelas 3 SD, sebuah penyakit kulit yang akrab di sebut kurma menguasai kedua belah kakiku. Kurma, penyakit kulit yang amat menjijikkan, menyebabkan kedua kakiku membengkak dan mengalirkan hawa panas di sekujur tubuhku. Semula bintil-bintil kecil yang berwarna kuning tampak menggerombol, tumbuh dengan cepatnya hingga keesokan harinya sudah pecah dan mengeluarkan nanah dan berbau amis yang amat menusuk.

Tiada satupun temanku yang mendekatiku. Aku tahu perasaan jijik mereka juga larangan dari orang tua mereka tentulah yang menghalangi mereka untuk mendekatiku. Masa kecilku adalah masa kesendirian, kesepian dan tersisih. Tak ada cerita yang bisa aku tuturkan tentang teman-temanku yang bermain riang bersamaku, karena kenyataannya tidak ada teman yang bermain riang denganku. Bagaimana mungkin aku menceritakan sesuatu yang tak pernah ada? Aku bukan pendusta.

Bapak sempat bercakap sebentar denganku kemarin, dengan nafas memburu antara ingin mengucapkan banyak hal tetapi hanya tersekat di kerongkongan, tak mampu dikeluarkan seutuhnya.

"Aku kangen ndhuk," katanya.

"Saya juga kangen pak. Pak, dirawat di rumah sakit saja pak," kataku takut.

"Aku ga mau mati di rumah sakitttttttttt...!!" teriak bapak kemudian di iringi batuk dan suara nafas satu-satu.

"Sudah jangan ngomong gitu sama bapak," kata mbak Titik, kakakku.

"Kalau kamu omongin rumah sakit dia malah ga bisa diam, malah tambah parah," tambah kakakku. Di belakang sana kudengar sayup-sayup tangis emakku dan suara keponakanku berseru,"ndang mulih lik!(Cepat pulang lik).

"Kowe gak pengin ketemu aku ta ndhuk? (kamu enggak kepingin ketemu aku ndhuk?)" tanya bapakku dengan suara berat.

"Ingin pak ingiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiinnn sekali, saat ini juga aku ingin terbang dengan pesawat apapun agar bisa segera berada di sampingmu, tapi enggak mungkin," jawabku. Air mataku jatuh satu-satu.

Di sini, aku tertambat kertas hijau muda yang hanya dua lembar saja itu, yang mengikat kebebasanku. Kertas hijau muda yang adalah kontrak kerjaku sebagai pembantu, babu di negara Cina yang kaya ini.

"Biar di rumah saja, biar aku rawat di rumah saja, jangan paksa bapak lagi, jangan suruh ke rumah sakit lagi. Ini bukan masalah uang ndhuk, tapi bapak enggak bisa kalau nginep di rumah sakit," kata kakakku.

Aku iri dengan kakakku yang bisa mendampingi bapakku di saat-saat dia sakit begini. Dulu aku yang selalu menjaga bapak ketika beliau sakit. Aku yang mengeroki punggungnya, yang memijitinya, yang membantunya makan ataupun membuang pispotnya, tapi kini...?? Anugrah seperti itu bukan lagi milikku. Aku iri dengan kakakku yang bisa mendengarkan suara batuk bapakku atau teriakan minta ember untuk tempat meludah ataupun pispot untuk berak, aku iri. Seharusnya aku berada di sana, di sisi bapakku.

Aku diliputi rasa takut, ketakutan yang belum pernah aku miliki sebelumnya, sungguh aku takut. Takut kalau bapak belum sadar bahwa aku mencintainya, takut kalau bapak belum tahu bahwa aku merindukannya dan takut teramat takut kalau bapak meninggalkanku tanpa aku bisa melihatnya.

Kawans, maaf kalau postinganku ini tak berkenan, sungguh aku merasa seandainya bapak tak sempat tahu cintaku padanya atau rinduku padanya setidaknya bukan kupendam saja di sudut kerongkonganku dan di sela isak tangisku. Setidaknya kukatakan juga padamu, pada diaryku sebagai bukti tertulis bahwa aku memikirkan kesehatannya siang dan malam.

Berbahagialah bagi kalian yang masih bisa menatap orang tua dan bersama beliau di saat-saat beliau membutuhkanmu, aku ini anak tak berguna, sungguh tak berguna.