Titip Rindu Buat Bapak

Mendengarkan tangisnya kemarin yang pecah di tengah-tengah sesak nafas dan batuk yang beriak darah yang tak berhenti sepanjang hari, mendadak aku mengutuk sebuah benda yang menjadi surga bapak selama muda hingga tuanya itu, rokok.

Kemarin dokter sempat berbicara padaku tentang paru-paru bapak yang semakin payah, aku tak bisa berkata apa-apa, hanya menjadi pendengar dengan hati pilu teriris juga geram tertahan dan sesal tiada arti.

Bapak dulu seorang berbadan kekar, tinggi, gagah. Aku masih ingat ketika borok di kakiku semakin membusuk dan tiada sesiapa mau menyentuhku, bapaklah yang menggendongku ke dokter, mencuci bersih kakiku dengan air yang berwarna seperti betadin, mengeringkannya kemudian memoleskan salep merata di kedua belah kakiku. Aku masih ingat, akan selalu ingat ketika aku berteriak-teriak kesakitan karena salep tersebut seperti membakar kulit kakiku, bapak membentakku.

"PLAKK!" bapak menampar keras pipi kiriku. Meninggalkan goresan merah, semerah kulit yang baru di keroki, sebanyak empat garis melintang yang adalah gambar empat ruas jari kanannya yang kekar.

"Kowe pengin mari apa ora! Aku ki pengin kowe ndang mari, ndang sekolah! Ape dadi apa nek sikilmu bonyok? Ape dadi open terus? Terus sing ngopeni aku sapa?"
(Kamu ingin sembuh enggak? Aku igin kamu segera sembuh, segera sekolah! Mau jadi apa kalau kakimu membusuk? Mau dirawat terus? Lalu yang merawat aku nanti siapa?)

Waktu itu aku kelas 3 SD, sebuah penyakit kulit yang akrab di sebut kurma menguasai kedua belah kakiku. Kurma, penyakit kulit yang amat menjijikkan, menyebabkan kedua kakiku membengkak dan mengalirkan hawa panas di sekujur tubuhku. Semula bintil-bintil kecil yang berwarna kuning tampak menggerombol, tumbuh dengan cepatnya hingga keesokan harinya sudah pecah dan mengeluarkan nanah dan berbau amis yang amat menusuk.

Tiada satupun temanku yang mendekatiku. Aku tahu perasaan jijik mereka juga larangan dari orang tua mereka tentulah yang menghalangi mereka untuk mendekatiku. Masa kecilku adalah masa kesendirian, kesepian dan tersisih. Tak ada cerita yang bisa aku tuturkan tentang teman-temanku yang bermain riang bersamaku, karena kenyataannya tidak ada teman yang bermain riang denganku. Bagaimana mungkin aku menceritakan sesuatu yang tak pernah ada? Aku bukan pendusta.

Bapak sempat bercakap sebentar denganku kemarin, dengan nafas memburu antara ingin mengucapkan banyak hal tetapi hanya tersekat di kerongkongan, tak mampu dikeluarkan seutuhnya.

"Aku kangen ndhuk," katanya.

"Saya juga kangen pak. Pak, dirawat di rumah sakit saja pak," kataku takut.

"Aku ga mau mati di rumah sakitttttttttt...!!" teriak bapak kemudian di iringi batuk dan suara nafas satu-satu.

"Sudah jangan ngomong gitu sama bapak," kata mbak Titik, kakakku.

"Kalau kamu omongin rumah sakit dia malah ga bisa diam, malah tambah parah," tambah kakakku. Di belakang sana kudengar sayup-sayup tangis emakku dan suara keponakanku berseru,"ndang mulih lik!(Cepat pulang lik).

"Kowe gak pengin ketemu aku ta ndhuk? (kamu enggak kepingin ketemu aku ndhuk?)" tanya bapakku dengan suara berat.

"Ingin pak ingiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiinnn sekali, saat ini juga aku ingin terbang dengan pesawat apapun agar bisa segera berada di sampingmu, tapi enggak mungkin," jawabku. Air mataku jatuh satu-satu.

Di sini, aku tertambat kertas hijau muda yang hanya dua lembar saja itu, yang mengikat kebebasanku. Kertas hijau muda yang adalah kontrak kerjaku sebagai pembantu, babu di negara Cina yang kaya ini.

"Biar di rumah saja, biar aku rawat di rumah saja, jangan paksa bapak lagi, jangan suruh ke rumah sakit lagi. Ini bukan masalah uang ndhuk, tapi bapak enggak bisa kalau nginep di rumah sakit," kata kakakku.

Aku iri dengan kakakku yang bisa mendampingi bapakku di saat-saat dia sakit begini. Dulu aku yang selalu menjaga bapak ketika beliau sakit. Aku yang mengeroki punggungnya, yang memijitinya, yang membantunya makan ataupun membuang pispotnya, tapi kini...?? Anugrah seperti itu bukan lagi milikku. Aku iri dengan kakakku yang bisa mendengarkan suara batuk bapakku atau teriakan minta ember untuk tempat meludah ataupun pispot untuk berak, aku iri. Seharusnya aku berada di sana, di sisi bapakku.

Aku diliputi rasa takut, ketakutan yang belum pernah aku miliki sebelumnya, sungguh aku takut. Takut kalau bapak belum sadar bahwa aku mencintainya, takut kalau bapak belum tahu bahwa aku merindukannya dan takut teramat takut kalau bapak meninggalkanku tanpa aku bisa melihatnya.

Kawans, maaf kalau postinganku ini tak berkenan, sungguh aku merasa seandainya bapak tak sempat tahu cintaku padanya atau rinduku padanya setidaknya bukan kupendam saja di sudut kerongkonganku dan di sela isak tangisku. Setidaknya kukatakan juga padamu, pada diaryku sebagai bukti tertulis bahwa aku memikirkan kesehatannya siang dan malam.

Berbahagialah bagi kalian yang masih bisa menatap orang tua dan bersama beliau di saat-saat beliau membutuhkanmu, aku ini anak tak berguna, sungguh tak berguna.

0 comments :

Posting Komentar

Matur suwun wis gelem melu umuk...