Nekawe Sampai Tua? Oh Tidaaakk..!!

Tulisan ini aku endapkan di draft sejak 20 Februari lalu. Aku buat sesaat setelah aku bercakap-cakap dengan seorang domestic worker asal Filipina. Maaf, bila percakapannya menggunakan bahasa Inggris, karena memang demikianlah percakapan kami waktu itu, sedang aku kesusahan mencari padanan kalimat dalam bahasa Indonesia.

Angin berhembus semakin kencang, membuat dingin ini semakin dingin. Aku bergidik lalu bersin atas perubahan suhu yang mendadak itu.

Di musim dingin ini hari-hari semakin aneh saja. Kadang hangat seperti musim panas, kadang dingin. Di satu hari saja mungkin saja terjadi tujuh kali perubahan suhu. Ini mungkin karena adanya sesuatu yang dinamakan global warming, atau entahlah apa namanya. Dan aku tak siap atas perubahan suhu itu, mungkin juga tak akan pernah siap.

Aku lebih suka matahari daripada dingin yang lembab. Matahari membuatku bersemangat tapi kalau dingin selalu membuatku sakit. Mataku merah dan berair, hidungku semakin mblesek pesek saja terlalu sering kukucek-kucek akibat ingus yang never ending keluar. Hingga pipiku pun berubah warna, warna yang paling aku benci, pink!

Ini sangat kontras bila dibandingkan dengan seorang wanita yang berada di dekatku. Dia mencintai musim dingin seolah-olah dia adalah pemiliknya. Dia hanya memakai T-shirt dan vest sedang aku memakai tiga lapis baju plus jaket wool. Wolaaa..!!

"It's not that cold today, you know. It's only 13," katanya membuka percakapan kami.

"I know, but it does me bad enough," jawabku.

"You should be stronger than me," katanya lagi.

“True," jawabku dalam hati. Aku hanya bisa menyajikan senyum getir menyayangkan betapa rentannya aku terhadap sakit di musim dingin ini, alergi hawa dingin yang aku alami hampir selalu membuatku susah bernafas saat tidur.

Aku merasa bahwa -bukan kalimat tanya- yang baru saja dilontarkannya itu tak membutuhkan jawaban ataupun sanggahan. Aku lebih menyibukkan diri menggosok-gosokkan telapak tanganku agar aku bisa menciptakan hangat.

Mataku menatap pada -jalan yang tidak pernah sepi- yang dijejali dengan kendaraan. Aku juga tak bisa melihat Benson Wine Cellar, tempat pembelian minuman beralkohol sekaligus tempat pembelian kartu telepon langgananku. 


Sepertinya aku harus bertahan dalam dingin itu sepuluh atau mungkin dua puluh menit lebih lama dari biasanya karena kemacetan itu. Bis sekolah yang kami tunggu tentunya tidak akan bisa datang tepat pada waktunya karena macet.

"Look at me! I am 52 and I can stand this weather. Darling, you are only little bit more than half of my age, you should be stronger," dia melanjutkan bicara. Nada sombong kudengar di sana.

Aku jengah, aku sudah seringkali mendengarkannya mengucapkan kalimat sombong itu. Kendati apa yang diucapkannya itu benar namun aku rasa dia tidak mempunyai hak untuk menghakimiku untuk -tidak memiliki hak untuk merasa dingin- di musim dingin. Umur itu hanya angka yang dijejer, tapi kedinginan itu bisa saja dirasakan tiap orang.

"I hate January, I hate winter," kataku.

"Guess you don't hate the red pocket, do you? Haha..," katanya diiringi tawa.

“I hate you when you laugh at me like that,” jawabku dalam hati.

"I prefer to have ordinary warmer month. These cold months make me sick. And I still have to work like a horse or a cow,” jawabku. “Even the money from the red pocket cannot cover my pains," tambahku.

"I know, you Indonesian love sun so much,” katanya membenarkan kata-kataku.

"Nah lo, lha itu kamu tahu khan?" kataku dalam hati.

“So how much you've got?" tanyanya dengan penuh selidik.

"What? Red pocket? The lay see?" aku balik bertanya.

"Yes," jawabnya dengan tatapan dan muka serius.

“Less than five hundred," jawabku.

"That's a lot, darling! Me only have 120. My sir and mum only gave me 40 each. Then mamah-yayah gave me 20 each. That's all. I guess you are right, we work like a horse and get scolded every day and in the end of story they only gave us small amount for a reward.”

“We are so lucky right?” kataku. Kemudian kami tertawa bersama atas satu alasan yang sama, mengkasihani nasip kami.

"Every month, I have only little money left, just little bit," katanya sambil menunjukkan enam jarinya.

"Enam ratus dolar saja?" tanyaku masgul.

Dia menganggukkan kepala, membenarkan pertanyaan yang adalah pernyataan baginya.

Wanita paruh baya ini kemudian meletakkan tangannya di pundakku. Kedua belah tangannya terasa berat karena tubuhnya agak dimiringkan, sepersekian dari berat badannya dititipkannya padaku. Matanya menatapku seperti tatapan seorang emak kepada anaknya, bersedia memberikan wejangan.

"You are young, you have to save more money for your future," petuahnya dengan bahasa Inggris berbau logat Filipina.

"Sure thing," jawabku," antara setengah paham dan setengah tidak mengerti ke mana pembicaraan kami ini berasal dan hendak bermuara.

Lyn, namanya. Wanita yang berasal dari Mindoro Island, Filipina, ini terlihat lelah dengan beban kerja dan beban hidupnya. Teman yang aku kenal saat sama-sama menunggu bus sekolah yang mengantar dan menjemput pulang momongan kami ini sedikit demi sedikit mencairkan kebekuan sikapnya setelah hampir setahun kami berinteraksi.

"Ini tahun ke dua puluh tujuh," katanya sambil menghela nafas kemudian menghembuskannya perlahan-lahan.

"Dan aku tidak tahu lagi berapa lama aku akan tinggal di sini."

"Tak mempunyai rencana? Maaf, mungkin waktunya bagimu untuk pensiun, tinggal di rumah, merawat rumah sambil melihat cucu-cucumu tumbuh?" kataku dengan tanda tanya mengikutinya.

"Hong Kong is so beautiful. It is almost perfect," katanya.

"Yes but it is not our destiny, neither our destination," kataku.

"I know. Aku tahu itu. I wish I were you, as free as you. You seems so lightly carry this whole world. Never see you sad or complaining of anything. Everything is in order in your life, right?"

Aku tak menjawabnya, hanya tersenyum.

"I send my two children to college. They are now work already. They also got married and each one has two children of their own," katanya bercerita.

"Then, you should be free," kataku.

"I still have to support them. Their salary is not enough to cover their everyday need," kanyanya.

"Until when? Seriously, you are not getting any younger. If you change your employer, it will be hard to get a new one because of your age. Then, if you are suddenly stop working, you are killing your whole family because you cannot support them anymore, right?" tanyaku.

"That's true. But in other hand, I feel happy to support them," katanya. "You know, it's like, it's my duty, my responsibility," jawabnya.

"You have ruined your children," jawabku. Kamu membuat mereka tergantung padamu, membuat mereka tidak bisa mandiri," kataku.

"May be you should gradually decrease amount of the money that you send to your children. Then you should save some money for your own saving," kataku lagi.

"What should I say to them?" tanyanya.

"Tell them that you want to retire. Katakan kalau kamu ingin pensiun kerja trus pulang, jadi kamu butuh uang untuk mempersiapkan itu," jawabku.

Dia terdiam.

Bis sekolah akhirnya datang dan obrolan kami terpenggal begitu saja. Kami kemudian beredar kembali ke rumah bos masing-masing setelah membantu momongan kami naik bis sekolah. Wanita ini sepertti kebanyakan wanita-wanita lain para pekerja domestik, bahwa tugas menghidupi keluarga menjadi tanggung jawab mereka. Payahnya ini menjadikan keluarga di rumah bergantung kepada para TKW. Haruskah nekawe sampai tua demi keluarga?

Obrolan itu menjadikan tambahan wawasan bagiku dan aku juga bersiap, berplanning untuk masa depanku nanti, tak ingin aku nekawe sampai tua!

8 komentar :

  1. Mbak Rie, I love it, really, I do. It helps me understand the complication of IDWs' lives (and Filipinos' too).

    Keep posting, mbak!

    BalasHapus
  2. Kenyataan seperti ini bukan hanya milik Migran di Hong Kong, tapi juga migran di negara lain. bahkan juga migran di negara sendiri. Sebagian mereka bukan hanya menanggung anak dan cucu, bahkan orangtua mereka, atau kerabat lainnya.
    benarkah didikan berupa "tanggung-jawab terhadap keluarga" ini membuat keluarga tidak bisa mandiri?
    atau memang mereka lebih suka "menanggungkan beban/bea hidup" kepada orang di sekitarnya?
    aku dewe ra ngerti iku. Rie...

    BalasHapus
  3. Serius itu? Anak-anaknya udah kerja dan nikah masih dibantu juga? 52 itu kan umur di mana orang tua biasanya malah dapat 'setoran' dari anaknya...

    BalasHapus
  4. @bu Tiwik, matursuwun, terimakasih.
    @dalijo, seperti ATM bernyawa...
    @mbak Milati Indah, emang begitu, hal demikian itu/cerita yang seperti ini umum di Hong Kong. Banyak ibu-ibu yang berusia di atas 50 masih bekerja sebagai TKW/pembantu.

    BalasHapus
  5. wooo semprul
    aku gak dong tau..?
    coba dingapaken bahasane...

    verifikasi katane dibuang tho...

    BalasHapus
  6. wow..cerita bagus..
    tapi miris juga ya..

    salam kenal..ijin follow blognya.. :)

    BalasHapus
  7. @rawins, njelehi...kene kursus karo aku dhisik..wkwkk...
    maklum artis kang, dadi akeh spammers..wkwkwk...

    @elock, hallo jg, salam kembali, terimakasih dah mampir.

    BalasHapus
  8. mampir ya.. nice blog. untuk tulisan ini komen dikit ah.. Nekawe bisa dilakukan sepanjang masa kok.. Kalau sekarang di Hongkong.. Besok-besok sesuai dengan kalimat terakhirmu bisa juga NeKaWe (NEkad KArya deWE)alias wirausaha di daerah asal.. Semangat..

    BalasHapus

Matur suwun wis gelem melu umuk...