Menggugat Doktrin "TKW Itu Bodoh"

Ketika saya masih kecil ramai orang bertanya kepada saya tentang cita-cita saya. Mulai dari emak, bapak, tetangga samping rumah, guru TK hingga penjual jajan di sebelah sekolah saya, mereka selalu menanyakan tentang cita-cita saya. Saya menjawabnya dengan tegas, “Dokter!” Gelar itu terdengar keren sekaligus hebat di telinga saya.

Seiring bertambahnya umur dan rasa mengerti saya tentang keadaan keluarga, saya tak lagi berani mengungkapkan cita-cita saya tersebut. Cita-cita itu mengabur berbanding lurus dengan semakin tidak jelasnya perekonomian keluarga. Memperjuangkan diri untuk hidup kemudian menjadi sesuatu yang lebih penting daripada pendidikan apalagi gelar keren tersebut. Hingga sampailah perjuangan untuk hidup itu di negara ini, Hong Kong. Meski untuk itu saya harus rela untuk didoktrinasikan sebagai orang bodoh. Pandangan umum mengatakan bahwa, hanya orang-orang bodohlah yang rela menjadi TKW. Hal ini dikarenakan untuk menjadi TKW tidak diperlukan ijasah. Paperproof (ijasah) itulah yang mengkastakan manusia-manusia di bumi Indonesia sedemikian sarkastisnya.
Bagi saya pribadi, sekolah adalah proses pembelajaran. Ijazah bagi saya adalah bukti yang kita peroleh dari hasil proses pembelajaran itu. Sehingga menurut saya, tujuan akhir dari sekolah bukanlah ijazah tetapi apa yang kita peroleh dari proses sekolah/pembelajaran itu.

Hidup juga proses pembelajaran. Maka, meski jauh di tanah rantau saya tetap meneruskan proses belajar saya meski dengan segala keterbatasan yang saya miliki di samping pekerjaan saya sebagai pembantu rumah tangga.
Koran, majalah, perpustakaan, buku, internet, menjadi acuan saya untuk belajar. Semakin saya tahu justru semakin banyak yang saya tidak tahu. Perkembangan pengetahuan bukan hitungan hari lagi tetapi sudah bertolak ukur dengan hitungan detik. Dari detik ke detik berikutnya sudah dihasilkan berbagai kreasi baru atau penemuan-penemuan baru di berbagai bidang.

Di Hong Kong, beberapa tempat belajar-mengajar seperti tempat kursus ketrampilan, kursus computer, kejar paket A, B dan C hingga sekolah tinggi setara D1 dan D3 pun menjamur. Masing-masing tempat menjanjikan pemberdayaan TKW berbasis pendidikan. Visi dan misi mereka pun disuarakan layaknya kampanye pemilihan capres.
Investasi di bidang ilmu itu tidak ada ruginya, namun kadang temen-teman saya melupakan untuk survey lebih dulu sebelum berinvestasi. Beberapa tempat belajar-mengajar tersebut ada yang benar-benar bertujuan untuk mencerdaskan etnis minoritas (warga negara asing yang kurang mampu yang tinggal di Hong Kong seperti TKW, kuli bangunan, sopir, dll) namun ada pula yang hanya berniat mengeruk keuntungan dari etnis minoritas dengan cara menarik uang sekolah yang tinggi dan menipu dengan cara mengiming-imingi pendidikan yang (katanya) disamakan dengan pendidikan formal di Indonesia. Bahkan dengan tanpa kemaluan, ada pula yang mengatakan bahwa lulusan sekolah yang mereka adakan bisa langsung meneruskan kuliah di Indonesia, bah!

Embel-embel D1, D3 ataupun mahasiswa UT terdengar begitu merdu dan menjanjikan. Dan lagi-lagi kawan-kawan saya ini adalah obyek yang amat empuk, teramat sangat empuk. Keinginannya untuk mendapat pengakuan sebagai “bukan orang bodoh” menjadikannya klepek-klepek seketika begitu mendengar gelar-gelar tersebut dan tentu saja juga ijasah! Nah lho kalau sudah begini salah siapa? TKW yang bodoh atau orang-orang yang membudayakan diri mempunyai doktrin “TKW itu Bodoh”? Lalu bagaimana pula dengan negara yang tak becus memfasilitasi warga negaranya untuk mendapatkan pendidikan yang layak?

Pendidikan adalah kunci kemajuan peradaban suatu bangsa. Kegagalan pemerintah untuk memfasilitasi warga negaranya untuk mendapatkan pendidikan yang layak menuntut warga negaranya untuk berpikir kritis, tak terkecuali TKW.

Mungkin nanti, suatu saat nanti bakal bermunculan TKW-TKW yang telah mampu berpikir kritis dan realistis yang secara otodidak ataupun tanpa ijasah berhasil mencapai kemampuan setara dengan lulusan sarjana. Dan sewajarnyalah untuk mengakui kemampuan mereka sebagai suatu kemampuan yang substansial. Bukan malah mendoktrin dan mengunderestimate mereka. Bukankah banyak pula lulusan sarjana karbitan bergelar S1 atau S2 yang hanya membeli paperproof/ijasah saja?

Ijasah bukanlah sebuah komoditas/bukti intelektualitas seseorang kalau itu tanpa dibarengi dengan kualitas.

27 komentar :

  1. Wingi wis mbaca nang kompasiana, Mak :)

    Template keren, putih. Anaz juga kemarin ngutak-atik, tapi males mindah2in lagi yo wis tak belekne meneh nang ijo royo2

    BalasHapus
  2. aku mulai kenal dengan para pekerja migrant saat kebetulan ikut bapak tugas.
    mereka keren2 looh mba..
    yaa tentu saja mereka kerja dg orang eropa di mana punya standar perjanjian kerja yg jelas.

    n mereka gak bodoh kuk, karena pandai juga memutar uang hasil kerjanya buat bikin usaha di kampung.
    Malah saat ketemu lagi di Jakarta saya kagum looh malah jadi pengusaha.

    BalasHapus
  3. walah, tak waca setengah aku kagum karo awakmu, lha sing setengah kok uring-uringan ki nyapo..
    .
    meski aku gak pernah ambil sertifikat bin ijazah-ku dari kursus-kursus dan kuliah-kuliah(?), tapi menurutku berijazah iku ndak buruk kok. Ijazah itu kan memang sebagai tanda bukti saja, seperti katamu.Yng barangkali tanda bukti itu akan berguna dikemudian hari. Misalnya, syarat administrasi bin birokrasi melamar pekerjaan atau PNS :mrgreen: Misalnya aku punya ijazah SMA, tapi nyatanya sekarang aku hampir semua ilmunya aku telah lupa
    .
    dan meski (lagi) aku mengklaim kalau pendidikan di sini (red:untuk TKW Hong Kong) masih ala kadarnya, mereka tetap akan mempelajari sesuatu, sing jaremu proses iku lho. Yaitu proses itu sendiri, mereka akan tetap mengenal nilai-nilai baru *walah bahasaku* :mrgreen:
    .
    The conclusion is, even education for migrant workers (minority) is not (yet) perfect, need to be criticized and actually censurable, especially for DD nan kuwi. But, in whatever form, i think, the formal education must be there.
    .
    aku arep bali Indo, awakmu pengen menehi aku opo?
    .
    walah ning kene kok ndak isi gawe strike, bloquote yo ra iso tho..?

    BalasHapus
  4. paperproof = ijasah....

    nek ijapsah njuk apa istilahe mbokk....????

    BalasHapus
  5. lebih pas rasanya pakai "sitigma" untuk apa yang beberapa kali kausebut sbagai "doktrin" dengan berbagai varian/jadian-nya di artikel ini

    BalasHapus
  6. saya kok bermimpi: suatu saat mbak rie-rie pegang palu DPR dan mengatakan: "Dengan ini, sidang dinyatakan dibuka".

    amin

    BalasHapus
  7. tulisane sampean enak terus ya...

    BalasHapus
  8. kelihatannya nulisnya sambil marah marah ya mbak xxixii salam kenal yo..

    BalasHapus
  9. Mbak, saya jadi mikir, kayanya Mbak yang lebih pantas duduk di gedung DPR dibanding mereka2 yang ga ngerti apa2 dan tampaknya pun tidak tertarik untuk memahami apa2 yang mereka ga ngerti itu.

    BalasHapus
  10. artikel yg menarik sobat.salam kenal n followback ok!

    BalasHapus
  11. Tulisannya penuh idealisme. Wawasan saya jadi terbuka bahwa banyak orang cerdas di negeri ini, yang karena tak punya kesempatan, akhirnya harus berada pada kondisi yang 'tidak ideal'.

    Terus belajar, terus berjuang, terus menulis!

    Salam kenal,
    Abu Furqan

    BalasHapus
  12. wah..inspiratif banget..lam kenal ya..kalau ada waktu kunjungi blog ane
    http://edyirawannasution.blogspot.com

    BalasHapus
  13. Lama gak nyambangi blogmu, lha kok berubah. Cuma isine masih tetep, sebagian pake ngamuk-ngamuk. Gak pa-pa ding, yang cuma jadi wakil kita di DPR saja boleh mecicil kok, mosok kita yang jadi juragan gak boleh.

    BalasHapus
  14. untuk semua...makasih atas komennya...
    setiap orang mempunyai pemikiran yang berbeda juga cara penulisan yang menjadi ciri khasnya.

    Satire ataupun sarkastis adalah ciri saya dan pilihan saya. Karena saya bisa dengan mudah tanpa tedeng aling-aling menggambarkan gugatan atau uneg-uneg dalam pikiran saya....

    BalasHapus
  15. Makasih ya mbak tulisane......minta ijin untuk Share ya ning FB aku....matur nuwun..

    BalasHapus
  16. Setuju....mbak Rie Rie..Tidak semua TKW itu bodoh ....dan tidak semua kita yg bukan TKW itu lebih pinter...

    BalasHapus
  17. kereeeeeennn...
    aku rela jadi srintil kedua yang selalu memujimu tiada habis Mbak Rie... >,<

    BalasHapus
  18. bagusss banget kreativitasnya..... siapa bilang TKW Goblog ?? lek goblog yo gak iso kerjo d luar negeri heheheheheheh

    BalasHapus
  19. orang yang pinter adalah orang yang sanggup menggoblogkan dirinya sendiri .....salut buat mbak..

    BalasHapus
  20. Saya bekerja tdk dengan ijasah, jasahku tdk pernah terpakai hanya jd lembaran yg tdk berguna...
    tetap semangat dan yakin dng semua kemampuan yg kita miliki...salam.

    BalasHapus
  21. Salut ,salam untuk kamu ..dari saya yg juga tidak pernah tau itu yg namanya ijazah..tapi alhamdulillah saya bisa bekerja dan mandiri diluar negara tanpa yg namanya ijazah...good luck

    BalasHapus
  22. semangat mbak, tetap tawakal dan berserah yg Maha Kuasa. Tidak ada pekerjaan halal yg tidak mulia dimataNya, slm kenal :)

    BalasHapus
  23. Ikutan baca .... bagus sekali sharing nya kalo "ijazah bukan segala nya "

    BalasHapus
  24. aku sebenernya ditengah perjalanan menuju S1 seni rupa,nilai saya diatas rata-rata tapi saya ngerasa apa yang saya keluarkan untuk biaya kuliah dengan apa yang saya dapat nantinya tidak sebanding...saya malah ingin keluar dari kuliah yang berurusan dengan tetek bengek keruwetan ini dengan jadi tkw kayak mbak...tapi kalo bapak tahu saya punya niat gini,,...pasti saya dilarang keras..

    BalasHapus

Matur suwun wis gelem melu umuk...