Leslei Cheung |
Kendati berterimakasih adalah hal yang lumrah bagi warga Hong Kong, namun
berterimakasih terhadap seorang pembantu di jaman apel krowak (baca: apple) dan
burung berkicau aka twitter, mungkin masih dirasa sebagai hal yang kalau bukan tabu ya mungkin
enggak perlu-perlu amat.
Karena untuk berterimakasih terhadap seorang pembantu, seseorang itu harus
sadar benar akan keeksistensian dan kontribusi dari seorang pembantu di
dunianya. Sedang umumnya, apa yang telah dilakukan oleh pembantu terhadapnya
dan keluarganya selalu dinilai sebagai sebuah kewajaran mengingat mereka
(pembantu itu) digaji untuk itu. Orang-orang Hong Kong pada khususnya dan orang-orang di dunia pada umumnya
masih perlu belajar banyak dari Leisle. Namun sayangnya Leslie telah mangkat, sehingga kemungkinan berterimakasih terhadap pembantu akan menjadi hal yang langka yang hampir mendekati tidak ada.
Pada akhir 1970-an, Hong Kong mengalami pertumbuhan ekonomi dan transformasi dari manufaktur ke perekonomian jasa berbasis. Pemerintah kolonial ini menemukan dirinya menghadapi dua masalah serius, kekurangan tenaga kerja dan biaya tenaga kerja yang meningkat. Dalam upaya untuk mendapatkan tenaga kerja dengan upah rendah, pemerintah Hong Kong melonggarkan pembatasan pekerja migran. Pekerja migran asal Filipina kemudian masuk ke Hong Kong sebagai pembantu rumah.
Dalam dekade berikutnya, jumlah pembantu Filipina di Hong Kong terus meningkat. Banyak perempuan-perempuan muda yang mengikuti jejak teman-teman dan kerabat mereka yang lebih dahulu bermigrasi ke Hong Kong untuk bekerja. Selain karena kurangnya lowongan pekerjaan di negara asalnya, tentu saja juga karena tergiur gaji yang lebih tinggi.
Hong Kong kemudian membuka kesempatan kerja untuk negara lain seperti Indonesia, Thailand, Sri Lanka, Nepal, Pakistan dan India. Segera saja negara-negara tersebut tergabung dalam bisnis ekspor tenaga kerja. Saat ini, ada sekitar 140.000 pembantu rumah tangga asal Filipina, 142.000 asal Indonesia sedang dari negara-negara lain masih dalam jumlah yang relatif sedikit.
Pada akhir 1970-an, Hong Kong mengalami pertumbuhan ekonomi dan transformasi dari manufaktur ke perekonomian jasa berbasis. Pemerintah kolonial ini menemukan dirinya menghadapi dua masalah serius, kekurangan tenaga kerja dan biaya tenaga kerja yang meningkat. Dalam upaya untuk mendapatkan tenaga kerja dengan upah rendah, pemerintah Hong Kong melonggarkan pembatasan pekerja migran. Pekerja migran asal Filipina kemudian masuk ke Hong Kong sebagai pembantu rumah.
Dalam dekade berikutnya, jumlah pembantu Filipina di Hong Kong terus meningkat. Banyak perempuan-perempuan muda yang mengikuti jejak teman-teman dan kerabat mereka yang lebih dahulu bermigrasi ke Hong Kong untuk bekerja. Selain karena kurangnya lowongan pekerjaan di negara asalnya, tentu saja juga karena tergiur gaji yang lebih tinggi.
Hong Kong kemudian membuka kesempatan kerja untuk negara lain seperti Indonesia, Thailand, Sri Lanka, Nepal, Pakistan dan India. Segera saja negara-negara tersebut tergabung dalam bisnis ekspor tenaga kerja. Saat ini, ada sekitar 140.000 pembantu rumah tangga asal Filipina, 142.000 asal Indonesia sedang dari negara-negara lain masih dalam jumlah yang relatif sedikit.
petan |
Bercanda, "petan", main kartu, potong rambut, jualan hingga belajar menari atau mengaji dan membuat kerajinan tangan menjadi pemandangan yang lumrah, walau terkadang menjengkelkan juga karena mereka adalah penghasil sampah terbanyak sepanjang hari. Namun mau tak mau pemandangan seperti ini sudah menjadi hal yang biasa. Mau gimana lagi? Tak ada tempat khusus yang bisa menampung puluhan ribu pembantu dalam satu tempat.
mbak-mbak yang jualan di pinggir Victoria Park, Causeway Bay |
Jangan harap pula mereka akan mendapat ijin untuk menumpang duduk di tempat
umum seperti food court atau taman di bawah perumahan. Meski Hong Kong berhasil
dinobatkan menjadi negara yang bisa menghargai HAM di Asia, nyatanya
diskriminasi terhadap kaum minoritas seperti pekerja migran (utamanya pembantu rumah) kerap pula
dilakukan.
Dan sesaat setelah matahari terbenam, penguasa sehari Central dan Causeway Bay
ini harus kembali kepada penguasanya, yaitu majikannya. Dan enam hari ke depan
mereka akan dihadapkan pada rutinitas yang sama lagi, dari minggu ke minggu,
dari bulan ke bulan, dari tahun ke tahun dan dari kontrak ke kontrak
berikutnya.
Jauh di Indonesia sana, perempuan dengan pekerjaan yang sama hanya digaji sekitar Rp. 400.000 hingga Rp. 600.000 perbulan. Sedang di Hong Kong mereka bisa menghasilkan sepuluh kali lipat dari itu. HK$ 3.920 atau sekitar Rp. 4.704.000 dengan kurs Rp. 1.200 per 1 dolar Hong Kong. Tapi konsekuensinya mereka harus berpisah dengan keluarga, tinggal dengan orang asing, bekerja 16 jam perhari, menanggung rindu dan kesepian dan tak jarang banyak pula yang harus rela menelan siksa batin dan jasmani. Kadang ketakutan diputus hubungan kerja secara sepihak mengakibatkan mereka bersikap "nrima" dan tutup mulut saat mereka dipaksa bekerja tak sesuai dengan apa yang tertera dalam kontrak kerjanya atau dibayar di bawah gaji standar atau dipaksa tidur di toilet.
Apa yang tampak luar, yang terlihat dari pembantu rumah ini mungkin tidak mencerminkan perlakuan atau derita apa yang telah ditanggungnya selama bekerja di negara lain, sehingga kadang menjadikan orang salah menilai. Menganggap semua pekerja migran ini sejahtera dan banyak dolar tanpa mau berpikir tentang apa yang telah dilalui oleh mereka. Ya, terkadang pula banyak pembantu rumah ini yang dengan sengaja menutupi derita yang dipikulnya. Untuk menyenangkan atau menyamankan dirinyakah? Mungkin saja.
HK$ 3.920 sebenarnya bukan angka yang tinggi bagi warga Hong Kong. Mereka bisa menghasilkan sepuluh kali lipat gaji yang diberikan kepada pembantunya plus bebas beban pekerjaan rumah dan tetek bengeknya dengan anak maupun orang tuanya yang manula.
Meski jumlah tersebut mendekati jumlah tuntutan (HK$ 4.000) yang kerap dilakukan oleh organisasi-organisasi yang vokal menyuarakan hak pekerja migran, namun semakin hari semakin tinggi pula permintaan majikan untuk menutup kenaikan gaji terhadap pembantu rumahnya. Sebelumnya gaji pembantu rumah di Hong Kong sebesar HK$3.740, pada 20 September lalu baru dinaikkan sebesar HK$ 180 atau 4,7%. Pemerintah Hong Kong sendiri seperti sengaja mempermainkan hati para pekerja migran sektor nonformalnya dalam hal pemutusan UU kenaikan gaji, seperti pula terpaksa memutuskan itu karena desakan dari berbagai organisasi non pemerintah dan khususnya di bawah perhatian khusus dari ILO terkait telah ditandatanganinya ILO convension 1997 (perlindungan terhadap pembantu rumah) oleh pemerintah Hong Kong baru-baru ini.
Di lain pihak, dengan kemampuannya menggaji orang untuk mengurus anak, rumah, dan orang tuanya, seorang majikan seperti menciptakan sebuah kasta baru dan menempatkan dirinya bak raja-ratu yang setiap titahnya adalah perintah yang wajib dilaksanakan dalam hitungan detik. Tak jarang untuk hal-hal sesimpel seperti mengambil air minum saja tak mampu. Dan memilih untuk berteriak kepada pembantunya, meneriakkan perintah. Lebih dari itu, para majikan kecil, anak-anak mereka tak jarang pula menjadi manja. Mengikuti jejak orang tuanya, tak sanggup untuk sekedar menali sepatu atau gosok gigi saja.
Dan............terimakasih sudah membaca postingan ini :)
bersambung...
Jauh di Indonesia sana, perempuan dengan pekerjaan yang sama hanya digaji sekitar Rp. 400.000 hingga Rp. 600.000 perbulan. Sedang di Hong Kong mereka bisa menghasilkan sepuluh kali lipat dari itu. HK$ 3.920 atau sekitar Rp. 4.704.000 dengan kurs Rp. 1.200 per 1 dolar Hong Kong. Tapi konsekuensinya mereka harus berpisah dengan keluarga, tinggal dengan orang asing, bekerja 16 jam perhari, menanggung rindu dan kesepian dan tak jarang banyak pula yang harus rela menelan siksa batin dan jasmani. Kadang ketakutan diputus hubungan kerja secara sepihak mengakibatkan mereka bersikap "nrima" dan tutup mulut saat mereka dipaksa bekerja tak sesuai dengan apa yang tertera dalam kontrak kerjanya atau dibayar di bawah gaji standar atau dipaksa tidur di toilet.
Apa yang tampak luar, yang terlihat dari pembantu rumah ini mungkin tidak mencerminkan perlakuan atau derita apa yang telah ditanggungnya selama bekerja di negara lain, sehingga kadang menjadikan orang salah menilai. Menganggap semua pekerja migran ini sejahtera dan banyak dolar tanpa mau berpikir tentang apa yang telah dilalui oleh mereka. Ya, terkadang pula banyak pembantu rumah ini yang dengan sengaja menutupi derita yang dipikulnya. Untuk menyenangkan atau menyamankan dirinyakah? Mungkin saja.
HK$ 3.920 sebenarnya bukan angka yang tinggi bagi warga Hong Kong. Mereka bisa menghasilkan sepuluh kali lipat gaji yang diberikan kepada pembantunya plus bebas beban pekerjaan rumah dan tetek bengeknya dengan anak maupun orang tuanya yang manula.
Meski jumlah tersebut mendekati jumlah tuntutan (HK$ 4.000) yang kerap dilakukan oleh organisasi-organisasi yang vokal menyuarakan hak pekerja migran, namun semakin hari semakin tinggi pula permintaan majikan untuk menutup kenaikan gaji terhadap pembantu rumahnya. Sebelumnya gaji pembantu rumah di Hong Kong sebesar HK$3.740, pada 20 September lalu baru dinaikkan sebesar HK$ 180 atau 4,7%. Pemerintah Hong Kong sendiri seperti sengaja mempermainkan hati para pekerja migran sektor nonformalnya dalam hal pemutusan UU kenaikan gaji, seperti pula terpaksa memutuskan itu karena desakan dari berbagai organisasi non pemerintah dan khususnya di bawah perhatian khusus dari ILO terkait telah ditandatanganinya ILO convension 1997 (perlindungan terhadap pembantu rumah) oleh pemerintah Hong Kong baru-baru ini.
Di lain pihak, dengan kemampuannya menggaji orang untuk mengurus anak, rumah, dan orang tuanya, seorang majikan seperti menciptakan sebuah kasta baru dan menempatkan dirinya bak raja-ratu yang setiap titahnya adalah perintah yang wajib dilaksanakan dalam hitungan detik. Tak jarang untuk hal-hal sesimpel seperti mengambil air minum saja tak mampu. Dan memilih untuk berteriak kepada pembantunya, meneriakkan perintah. Lebih dari itu, para majikan kecil, anak-anak mereka tak jarang pula menjadi manja. Mengikuti jejak orang tuanya, tak sanggup untuk sekedar menali sepatu atau gosok gigi saja.
Dan............terimakasih sudah membaca postingan ini :)
bersambung...
Di lain pihak, dengan kemampuannya menggaji orang untuk mengurus anak, rumah, dan orang tuanya, seorang majikan seperti menciptakan sebuah kasta baru dan menempatkan dirinya bak raja-ratu yang setiap titahnya adalah perintah yang wajib dilaksanakan dalam hitungan detik. << kadang ada emang bendara yang kayak gitu. dengan alasan udah dibayar, pembantu bisa disuruh seenaknya dengan beban kerja yang nggak manusiawi. salut sama yang sabar ngadepin majikan kaya gitu.
BalasHapusdi tunggu sambungannya..heeeee..heeeeeeeee..
BalasHapusPetan itu ngambili uban bukan sih mbak? Hihihi...
BalasHapusdi negeri orang sudah menderita, giliran pulang, masih juga sering dipungli aparat ...
BalasHapusSalam
Kalau diperhatikan, Hongkong makin mengalami perkembangan yang sangat pesat nih...
BalasHapus@milo, ya begitulah kebanyakan, terimakasih atas salutnya.. :(
BalasHapus@rima, dibaca kagak nih ya...
@una main tebak-tebakan, bukaannnn...petan itu mah ngambil upillll...wkwk..
@mr wong, (xixixii...kok kayak nama bosku ajah), lhah Indonesia gitu lohhh...
@halaman putih, perkembangan yg gimana yg dimaksud?
ketawa pas baca "apel krowak". :D
BalasHapuskerja di manapun pati akan selalu ada suka dukanya Mba. kita nikmati saja. :)
ketok pidio kandangmu aku malah dadi menthelengi kui
BalasHapussuer ga jadi baca terpesona suaramu yang serak-serak luwe...
hhaha
Tabah dan tegar..wahai para pahlawan devisa&keluarga...segal pengorbananmu..tidak akan sia2.
BalasHapus