What's Wrong With "Babu Ngeblog"??

Saya kerap sekali mendapat teguran secara langsung, melalui email,atau lewat chat tentang nama blog saya, - "BABU NGEBLOG"- yang beralamat di www.babungeblog dot blogspot dot com.

Teguran juga pertanyaan yang berintikan sama yaitu menyalahkan pemilihan kata saya untuk nama blog saya tersebut. Bagi mereka, sebutan atau kata "babu" dinilai sangat kasar/sarkastik bahkan ada juga yang mengatakan bahwa judul blog saya terkesan menyombongkan diri.

Benarkah? Demikiankah? Coba simak penjelasan saya berikut ini:

Bagi saya kata "babu" adalah kata yang lumrah, yaitu sebutan untuk sebuah profesi. Sekalipun babu dalam bahasa Indonesia dinilai sebagai kata-kata yang kasar toh tetap saja dalam hal arti tetep sama. TKW, pembantu, buruh, babu...sama saja khan? O iya, kalau pembantu presiden yang malu disebut sebagai babu presiden, mungkin sedikit bisa di maklumi (weks). Lagipun kata babu bisa menarik perhatian dengan segera sehingga dalam sekali gepuk oleh mbah Gugel (google), pasti deh larinya ke blogku. Jadi kalau kata "babu" itu sendiri bisa memberikan keuntungan plus-plus buatku kenapa tidak?


Bagiku semua profesi membutuhkan profesionalisme. Seperti guru harus bisa mengajar, dokter harus bisa menyuntik, presiden harus bisa memimpin. Sama, babu juga butuh profesionalisme itu, bahkan berbagai profesionalisme! Ia harus bisa membersihkan rumah, mengatur belanja, momong anak, momong jompo, memasak dan mengambil hati majikan. Bayangkan saja, saya baru diakui membersihkan rumah dengan bersih setelah kerja selama 2 tahun! Sebelum 2 tahun itu bos selalu mengeluh tentang kurang bersihnya rumah! Betapa untuk membersihkan rumah saja butuh profesionalisme!


Dari keuntungan menggabungkan dua kata nyentrik "babu" dan "ngeblog" aku bisa menunjukkan pada dunia maya bahwa aku bukan babu biasa. Orang selalu berfikir bahwa seorang babu itu seorang yang bodoh. Orang selalu berfikir bahwa intelektualitas seseorang itu itu dihitung dari banyaknya ijasah yang berhasil diraih. Lalu kalau aku yang bertitel babu dan tidak punya banyak ijasah ini berhasil melompat sedikit lebih tinggi, akankah mereka mempertanyakan ijasahku?

Di tahun 2006-2007 orang ramai ber-friendster, multiply dan blog. Itu seperti juga intelektualitas mereka terhadap dunia maya, teknologi komputerisasi. Sepertinya orang akan terlihat gagah dan pinter kalau sudah punya ketiganya (yang ketiganya juga aku miliki semenjak September 2007). 

Itu pulalah yang mmeotivasi atau menjadi tujuanku membuat blog ini. Ajang narsisku, tempatku menelurkan uneg-uneg yang ada dalam otakku (yang ingin kusimpan selamanya) dan juga merupakan salah satu caraku untuk menunjukkan pada dunia tentang keeksistensianku. Salahkah? Bukankah setiap orang mempunyai keinginan untuk diakui keberadaannya? Terlepas dari status sosial apa dibelakangnya, termasuk babu, misalnya.

Nah, yang menjadi masalah adalah banyaknya pemikiran untuk mengkastakan suatu profesi. Mengotak-kotakannya, melapis-lapiskannya, memberi batas atau sekat yang kentara atas semua jenis profesi, dan tentu saja profesi babu ini berada di tingkatan terbawah, sudra, hina (itupun kalau mereka mengakui babu sebagai profesi).

Seandainya saya berpapasan dengan seseorang dan memanggil saya dengan kata "Babu, apakabar?" atau "Babu, mau kemana?" maka hal itu tidak akan membuat saya down, sedikitpun tidak! Karena seperti yang saya katakan, kalau saya menilai babu sebagai sebuah profesi, profesi yang membutuhkan profesionalitas. Seperti halnya seorang guru yang disapa "Pak Guru, apakabar?" / "Pak Guru, mau kemana?" atau "Jendral apakabar?" / "Jendral, mau kemana?". Guru dan jendral juga merupakan profesi.

Saya bangga karena tidak membiarkan diri saya menjadi peminta-minta di bawah ketiak emak bapak atau orang lain, saya bangga tidak menjadi pegawai yang di gaji buta hanya karena berstatus pekerja dinas. Saya bangga karena saya mampu mempertahankan hidup saya, keluarga saya dengan hasil keringat sendiri. Dan untuk itu saya berterimakasih kepada profesi saya yaitu babu. Dan kalau saya mewujudkan kebanggaan terhadap diri saya dan rasa terima kasih terhadap profesi saya dalam wadah blog ini apakah ini merupakan bukti dari kesombongan saya?

Saya seorang babu yang penuh dengan rasa ingin tahu, karena rasa keingintahuan itulah modal saya untuk berkembang, berpikiran dan berwawasan sedikit lebih maju dari sekedar kain lap dan gagang sapu. Dan apakah salah kalau saya menuangkannya dalam bentuk tulisan, blog? 


Memangnya hanya orang-orang pinter, juragan, dan artis saja yang boleh ngeblog? Memangnya hanya artikel pendidikan dan kesehatan saja yang boleh diposting? Memangnya wadul, umuk, rasan-rasan seorang babu nggak layak ditulis?

So, what's wrong with BABU NGEBLOG? Mengapa mempermasalahkannya?

9 komentar :

  1. nggak ada yang salah dengan judulmu. arswendo atmowiloto bahkan 'mengijinkan' seorang blogger (baca=sastrawan) menciptakan kosakata baru asalkan klik dengan alur cerita dan tidak mengganggu pembaca dalam memaknai isi cerita.

    sedangkan kata 'babu' adalah sebuah kata yang umum dan bukan kosakata baru, dan itu (meski terkesan sarkas) menjadikan pengukuhan -eksistensi- jatidiri pengelola juga judul dari blog ini.

    trims atas kolom komennya... jangan lupa mampir ya.........

    BalasHapus
  2. Saya bangga karena tidak membiarkan diri saya menjadi peminta-minta dibawah ketiak emak bapak atau orang lain , saya bangga tidak menjadi pegawai yang di gaji buta hanya karena berstatus pekerja dinas. Saya bangga karena saya mampu mempertahankan hidup saya, keluarga saya dengan hasil keringat sendiri. Dan untuk itu saya berterimakasih kepada profesi saya yaitu babu. Dan kalau saya mewujudkan kebanggaan terhadap diri saya dan rasa terima kasih terhadap profesi saya dalam wadah blog ini apakah ini merupakan bukti dari kesombongan saya??

    "Pada kalimat ini...saya jadi ter-enyuh jeung...Knp? karena kita senasib sepenanggungan...

    "Apapun makanannya minumnya teh botol sosro..eh..apapun sebutannya..mau babu..mau Tkw DKK, Sing penting kerjo halal...

    BalasHapus
  3. Ajarin dong bikin tampilan seperti anda. coba lihat blog gua

    BalasHapus
  4. Babu memang berkonotasi negatif. Begitu menyebut kata babu, asumsi kita pasti orang suruhan, yang bebas disuruh2 oleh majikannya. Tapi, apa bedanya dengan pegawai? pekerjaan itu juga membuat kita bisa disuruh2 oleh atasan, kan?. Dan atasan pasti tunduk pada konsumen. So, jadi apa bedanya dengan babu?. Cuma tempat kerja aja kok yang beda.

    Jadi, kenapa harus dipikirin?....

    BalasHapus
  5. hehehehe...

    gwe jg seneng dipanggil Buruh,, meskipun gwe kerja di gedung bertingkat 36....

    Toh jg UU pemerintah tidak membeda2kan Buruh/Pekerja/Karyawan/Pegawai..

    heheheh

    BalasHapus
  6. Hehehehe..ngguyu sik ya mbak.

    Salut utk mbak Rie..Rie...babu itu kan cm profesi..di mata Tuhan smua sama.
    Smua orang berhak utk berkembang dimanapun, apapun...

    Thanks atas crita2nya. Sangat inspiring.

    Salam
    Marput

    BalasHapus

Matur suwun wis gelem melu umuk...