Membi(n)asakan Berbahasa Indonesia

Akhir-akhir ini saya dibuat pusing oleh whatsapp yang dikirim oleh teman-teman saya kepada saya. Pasalnya, bahasa yang digunakan bukanlah bahasa yang saya mengerti. Bahasa Indonesia bukan, bahasa Inggris bukan, bahasa Kantonis juga bukan, apalagi bahasa Jawa.

Bahasa-bahasa tersebut "katanya" adalah bahasa gaul anak jaman sekarang. Dan ketika huruf "a" diganti dengan angka "4" dan huruf "g" diganti dengan angka "9" dan saya tidak memahaminya, maka saya divonis tidak gaul.

Saya harus mengakui keberhasilan mereka menaikkan adrenalin saya. Di saat saya membuka sebuah pesan pendek yang saya harapkan adalah sebuah pesan dengan bahasa yang jelas, singkat dan padat, yang saya temukan adalah bahasa yang susah untuk saya mengerti. Untuk mengerti dari maksud pesan pendek itu saya harus meluangkan sekian waktu untuk berpikir dan meraba-raba isi pesan pendek tersebut.

Payahnya, hal semacam ini tak hanya cukup di whatsapp saja namun juga sewaktu saya bertatapan muka dengan mereka. Kata "aku" atau "saya" sudah menjadi "gue" atau "gua" yang kemudian diiringi dengan logat kebetawi-betawian campur bahasa Inggris yang diaduk dengan bahasa Kantonis kemudian dibumbui dengan bahasa Ngapak. Komplit!

Di saat orang Hong Kong sungguh-sungguh belajar bahasa Indonesia, teman saya dihagemoni oleh bahasa asing. Tak hanya di Hong Kong, hal yang sama juga saya dapati di sinetron-sinetron bahkan pidato presiden dan berita-berita di stasiun televisi yang juga menggunakan bahasa campur aduk. Apakah bahasa-bahasa lain tersebut lebih mudah dipahami dan dikuasai benar daripada bahasa nasional kita?

Fenomena semacam ini menggambarkan melemahnya rasa bangga tehadap bahasa nasional kita. Padahal bahasa Indonesia diakui oleh sastrawa Internasional sebagai bahasa yang kompleks karena kejeniusan sastrawan-sastrawan Indonesia terdahulu yang lewat karyanya berhasil membuat bahasa indonesia seakan hidup.

Lalu apakah butir ketiga dari Sumpah Pemuda telah dilupakan begitu saja? Dan bulan Oktober yang ditetapkan sebagai bulan bahasa (belakangan juga sebagai bulan sastra) kemudian akan sirna pula?

Bulan bahasa sebenarnya bisa dijadikan momentum untuk meningkatkan kualitas berbahasa secara baik (dan kalau bisa benar juga). Tapi jangan pula hanya sekadar pada bulan tersebut saja. Karena berbahasa merupakan proses yang harus dibiasakan. Semakin terbiasa untuk berbahasa dengan baik, semakin menolong kita untuk terus meningkatkan kualitas berbahasa.

Hal membiasakan ini tak akan berjalan dengan baik tanpa ada dukungan dari berbagai pihak, khususnya  pemerintah. Kurangnya minat baca pada masyarakat merupakan salah satu pemicu berkurangnya minat berbahasa Indonesia dengan baik. Berkurangnya minat baca ini sering dikarenakan oleh situasi yang tidak mendukung, buku-buku bacaan yang langka.

Dalam hal ini pemerintah hendaknya berinisiatif untuk memperbanyak jumlah buku di setiap perpustakaan daerah yang ada. Memasok buku-buku sastra lama yang kaya dengan khasanah bahasa Indonesia di setiap perpustakaan, juga mendorong penelitian di bidang bahasa dan sastra Indonesia.

Pembenahan kurikulum dari tingkat SD hingga perguruan tinggi juga perlu ditingkatkan. Selain itu kualitas guru yang baik dapat mempengaruhi pula penyampaian bahasa Indonesia yang baik (dan benar).

Media massa, radio, televisi dan internet juga mempunyai peran hebat. Mutu bahasa pada media-media tersebut harus ditingkatkan karena media-media tersebut berperan penting dan efektif dalam penyebarluasan bahasa karena mereka setiap hari bersinggungan secara langsung dengan masyarakat. Umumnya apa yang ditayangkan atau ditampilkan oleh mereka itulah yang kemudian diserap oleh masyarakat. Jadi kalau mereka bisa memperbaiki mutu bahasa akan besar pula efeknya terhadap masyarakat kita.

Namun, segala usaha atau cara yang dapat dilakukan untuk menjaga kelangsungan bahasa Indonesia tersebut akhirnya kembali pada kesadaran diri sendiri untuk mencintai dan bangga dengan bahasa nasionalnya. Kalau semua sadar, semua mencintai dan bangga berbahasa Indonesia yang baik (dan benar) bukan tak mustahil kalau suatu hari nanti bahasa Indonesia bisa menjadi bahasa internasional.

Dan tulisan ini juga tak luput dari kesalahan berbahasa Indonesia yang baik dan benar.  Semoga ke depan saya, kita, bisa membiasakan diri berbahasa Indonesia yang baik dan benar, sebelum bahasa persatuan kita diklaim sebagai milik negara lain dan kita harus hijrah ke Australia untuk mempelajari bahasa sendiri.



oleh Sri Lestari
diikutkan dalam LOMBA BLOG DOMPET DHUAFA HONG KONG

foto diambil dari sini 

6 komentar :

  1. tulisan yang maksa bangetttttttttttttt....

    BalasHapus
  2. Bahasa Indonesia ojo dadi bahasa internasional nu... Ngko angel nek arep ngrasani lan misuhi bule. Dhe'e ngko ngerti.

    BalasHapus
  3. hehehe entah sampai kapan bahasa Indonesia yang baku dan benar itu dapat dipertahankan.
    tapi klo sama bahasa 4l4y itu saya juga emoh, gak suka karena gak paham hehehehe

    BalasHapus
  4. @milo, wkwkwk...iki mesthi tukang misuh...wkwk...
    misuhnya ganti pakai bahasa Ngapak ajalah..hehe...

    @nica, toss...!

    BalasHapus
  5. saya nggak seneng misuh kok mbak. palingan ya ngrasani :D

    BalasHapus

Matur suwun wis gelem melu umuk...