Minggu, 18 November 2007
“Mbak bawa pisau ga mbak?” teriak Srinthil dalam sms nya.
“Ga,” jawabku pendek.
“Mbak bawa gunting ga mbak?” tanyanyanya lagi masih dalam format sms.
“Ga,” jawabku lagi.
“Mbak bawa silet ga mbak?”
“Ga,”
“Mbak ada tali ga mbak?’ tulisnya dalam sms untuk yang ke empat kali.
Deegg...
Ada apa dengan dia, pikirku dalam hati. Apakah karena broken heart sama si wedus Arip mampu membuatnya nekat begini, tanyaku pada diri sendiri. Untuk apa pisau itu, untuk apa gunting itu, untuk apa silet itu,, dan untuk apa pula tali itu, demikian pertanyaan beruntun yang kemudian hadir menggelisahkanku.
Segera jimat ampuhku kukeluarkan, kutekan nomer yang sudah kuhapal di kepalaku. Ah paling pulsa Srinthil habis dan ga bisa nerima telpon, prakiraku. Dan benar saja karena sesaat kemudian kudengar suara merdu dari operator yang kalau ga salah seperti ini: “The number you are calling is currently unavailable, please call again later, tuuuttt.”
Halah bosen!
Yah, hanya satu jalan untuk mencari tau semua itu yaitu sms(sms di Hongkong gratis untuk sesame jaringan).
“Sri, ngopo to kamu ni? Mau buat apa to smua tu?” tulisku dalam sms.
Semenit, dua menit, lima menit, delapan menit, sepuluh menit, lima belas menit….
Ga ada jawaban, kemana neh anak??
Dipojok lapangan Victoria, terlihat Srinthil dengan uborampe-nya. Pisau di ketiak kanan, gunting di tangan kiri. Sedang tas punggungnya nampak penuh oleh sesuatu yang… aku tak tau apa isinya. Di pojokan Victoria Park itu sepi, cuma penjaga lapangan yang kadang lalu lalang naik sepeda berpatroli. Wah gawat, pikirku. Rupanya si Srinthil dah nekat. Sepintas terlihat dia menarik sesuatu panjang keluar dari tasnya, ya tak salah lagi, itu adalah seutas tali.
Degg..degg..!! jantungku berdebar semakin kencang.
Srinthil mengamati tali itu, tapi rupanya dia mengurungkan niatnya, matanya beralih ke sebilah pisau tajam bergagang kayu. Di genggamnya pisau itu dengan tangan kanannya dan di elusnya mata pisau dengan jari telunjuk kirinya. Nyess….
Kulihat Srinthil mengaduh, jarinya berlumuran darah. Oalah Gusti paringana kesadaran kepada Srinthil, doaku.
Gunting!! Waduh!!
Tapi guntingpun diletakkan kembali.
Oh iya masih ada silet.
Degg…degg..degg…!! semakin cepatnya jantungku berdebar. Tanganku dingin mengepal, keringatpun bercucuran dari setiap pori-poriku.
Tittttttttttt tiiitttttt………..!!” bunyi klakson dibelakangku seketika menyadarkan aku dari pikiran sing mengembara ora karuan parak e. He he…
Rupanya aku ngalamun membayangkan yang enggak-enggak yang terjadi pada Srinthil.
“Lei cisin a! Siong sei a lei!(kamu gila ya! Mau mati ya!),” teriak sikei(sopir) truk itu sambil nunjuk-nunjuk kearahku dengan telunjuknya sing ireng tunteng itu.
“Muisi a suk-suk(maaf pak),” jawabku sambil pringisan plus kisinan.
Belum lagi gremengan dari orang-orang sekelilingku.
Halah ben ne, po’o. Cuek saja aku lalui mereka.
HP ku bergetar, suara “uyon-uyon caping gunung” segera terdengar yang adalah nada dering favoritku.
“Hallo,” jawabku tanpa melihat nomer siapa sing nelpon aku.
“Ri, rene o po’o, wis di tunggu sama temen-temen se-geng kita neh,” teriak Chamid.
“ Ning endi? Dimana? Lha tadi kamu tuh tak sms tak telpon ko ra ana ki gek ndelik ning endi to?” tanyaku ga kalah kencengnya suaranya.
Suara hangar binger gini kalau ga ngomong kenceng ga bakalan bisa denger lho. Tau ggak daerah Causewaybay itu selalu ramai dengan anak-anak BMI(Buruh Migran Indonesia/ TKW) yang lagi libur.
“ Ndek pojokan Victoria Park sing dekete kantin depannya WC umum itu loh!” kata Chamid yang dilanjutkan dengan pendeskripsian tempat sing malah bikin aku bingung.
“Halah ndek tempat sing biasane kita kumpul-kumpul itu loh, Ri!” teriak Suzy memangkas omongan Chamid.
“Iyo, iyo, aku tak kesana sekarang, lha Srinthil endi?”
“Halah pook e rene sik, buruaaaaaaaaann,” kata geng ku kompak.
Tutt…HP mati.
Iyalah anak-anak gengku tuh kalo nyuruh pake maksa gitu, mesti deh. Uiyah belum ngenalin geng-ku. Eh asline bukan geng ding, tapi cuma sekelompok babu-babu ndableg sing suka ngumpul-ngumpul buat curhat, sharing atau sekedar ngrasani bendarane/bos e. He he… Ceritane geng itu sepakat kita beri nama “BE SMART GROUP”. Keren khan, pasti dunk, sapa dulu ketuanya.
He he… Maksute tuh kita neh karena dah lama mbabu di HOngkong(kecuali Srinthil) jadi smart khan. Rata-rata dari kita dah mbabu di Hongkong ini sejak jamanne Pak Harto masih lungguh damper mahesa kencono sampai sekarang jamane Raden Bagus SBY yang mumet mikir negoro(halah mosok mumet tenan to Pak?).
Ada 8 anggota kelompoknya antara lain:
1. Suzy, nama asli Susmiyatun. Nah bagi wong Hongkong lidahnya khan susah banget kalo mo panggil Sus-mi-ya-tun gitu khan, jadi dengan terpaksa Susmiyatun ini harus rela diganti nama tanpa bancakan jenang abang putih seperti yang biasane dilakukan oleh mboknya di desanya sana. Suzy ini berperawakan langsing tinggi, berkulit putih dan berjerawat banyak. Uiyah dia tuh paling getol kalo ngomongin tentang bisnis MLM nya. Itu loh Multi Level Marketing, belakangan ini marak berkembang diantara para babu-babu Hongkong.
2. Hindun Triyana, cewek yang mendedikasikan dirinya sebagai babu sejak lulus SD ini memang luaaaarr biasa. Termasuk tubuhnya yang gemuk ora nguwati, mangane akeh plus seneng ngutang.Tapi Hindun tipe temen yang setia loh.
3. Ellya Novikawati, si manis yang berpantat gede ini suka banget ngurus rambute sing memang bagus seh. Tapi opo ra kebangeten jajal, mosok tiap minggu rambute ki di krembat lah, di pijet kepala lah, di diminyak i lah, Halah
4. Chamid, si alim satu ini senengane anut grubyuk,maksudnya dia paling suka nimbrung-nimbrung ma geng kita. Manut banget orangnya tuh. Hobby dia kalo pas libur adalah nyabutin bulu keteknya si Hindun. Hebaaatt.
5. Miyanti Restiana, cah ini kemayu banget(padahal ga ayu loh). Paling suka pake rok mini plus sandal japit, saat ini lagi ikut kursus kecantikan.
6. Anez, gadis jangkung berambut kayak indomi. Dan kegemarannya adalah makan Indomi.
7. Srinthil, anggota termuda dan terbaru. Yang selalu penuh dengan masalah dan kadang bikin geng kita mumet ndase. Anak satu ini polos banget dan jujur.
8. Dan tentunya adalah aku sendiri, Ri. Nama lengkapku Sri Bethari. Merupakan pioneer dari geng ini. Yang di percaya untuk menjadi ketua(karena memang yang tertua,he he..).
“Lhaaa lakon ne teko ki,” sambut Hindun yang di barengi gelak cekikikan dari kawan se-gengku.
“Sapa sing beli panganan segini banyaknya? Si Srinthil mana?” tanyaku sebelum meletakkan pantatku.
“Duduk dululah, ntar lagi Srinthil juga datang. Dia lagi mengemban misi,” jawab Suzy sambil ngutek-utek kalkulator.
“Kalkulatormu kuwi lho, di simpen sik po’o, sebel aku nyawangkene,”
“Iyo, simpeno sik,” timpal Chamid menyetujui saranku untuk Suzy.
“Lah ngopo to? Khan acarane durung dimulai,” kata Suzy membela diri.
Matanya masih lengket pada digit-digit kalkulator yang di pegangnya. Kalau sudah seperti itu biasanya Suzy sudah konsentrasi banget. Padahal loh jumlah uang yang di itung juga segitu-gitu aja.
“Ngeyel men to Suz, mbok disimpen, lha wong sing duwe acara dah nyuruh gitu,” kali ini Hindun pun ikut-ikutan nimbrung.
“Aku ki lagi serius diajeng, ntar kalo ketlingsut duwitku trus piye?” sungut Suzy.
“Ssstt… Uwis lah, ra sah padu. Kae lho Srinthil wis datang,” berita Miya yang dibarengi dengan wajah-wajah antusias dari semua anggota geng.
Seperti yang aku bayangkan tadi, wajah Srinthil tampak pucat, air matanya masih nampak dleweran di kedua belah pipinya. Keringatnya nampak mengembun dari setiap pori-pori kulitnya. Kedua tangannya memegang sebuah box dengan amat sangat hati-hati sekali banget.
Dan ketika dia menemukan wajahku, wajahnya pun berlipat-lipat pucatnya, ketakutan juga terlihat disana. We lha dalah ngopo maneh iki, pikirku.
Kami segeng terhipnotis dengan kedatangannya, tak ada yang bersuara.
“Mbak Ri njaluk sepurane,” katanya sambil ndeprok sujut di depanku.
“Lah ngopo to Sri,” tanyaku ga ngerti.
“Sepurane sing akeh mbak, uwa uwa…
“Lha iki piye to Sri kok penyek kabeh ngene?” teriak Suzy.
“Iyo sepurane, uwa..uwa…
“Kowe ki lho Sri, mung diwenehi tanggung jawab koyo ngono wae ra iso,” gremeng Anez.
“Lha aku tadi dah minta tolong sama kalian tapi ga ada yang bisa Bantu, aku khan dah nanya kalo aku butuh pisau, gunting, silet, tali, tapi ga ada satupun yang bisa ngasih ke aku. Lha trus gek piye?” bela Srinthil masih dibarengi dengan tangis sesenggukan.
“Yo sing penting kamu masih seger kuwarasan to Sri, wis ra sah di gagas wedus gibas Arip ki,” kataku kalem nyoba nenangin si Srinthil.
Tapi, tiba-tiba saja Srinthil beranjak, kepalanya tegak, wajahnya marah, tatapannya dingin. Aku mendadak saja ngeri melihat pemandangan Srinthil yang ada di hadapanku. Tidak ada tanda-tanda persahabatan di setiap desah nafasnya, dunia be smart group aku rasakan akan pecah bila-bila masa.
“Ora!! Gak bakalan mikir wedus gibas siji kuwi,” teriaknya dengan tangan mengepal seperti kue onde-onde. Jari-jarinya kelihatan putih menahan amarah, otot-otot tangannya menegang dan bunyi gemelutuk giginya segera terdengar sebagai pertanda kalau emosinya sedang meluap-luap. Waduh gawat iki!
“Lha ngopo maneh awakmu nangis ki? Nek ora mergo Arip? Yo maap kalau aku mengingatkanmu ama wedus satu itu, maap Sri,”
“oei oei…, iki ki bukan masalah Arip atau wedus, tapi liat loh kue tart kok penyek kabeh ki gek trus piye?” gerutu Ellya.
“Iyo, gek jatuh dimana kamu tadi Sri,” tanya Chamid.
“Aku tadi naik MTR(kereta bawah tanah), tapi usek-usekan banyak orang gitu, trus rotine ya penyek trus pisau ne jatuh ra karuan panggone trus nyari tali buat ngiket ga ada trus aku liat ada anak yang bawa tali raffia katane mau ada lomba makan krupuk gitu. Pikirku aku mau minta dikit buat naleni kardus roti sing peyok kabeh tapi ga ada gunting atau silet buat motong raffia itu. Jadi kue tart tak bekem, tak pegang erat-erat aja trus….
“Oalah Sri….,” sahut kami bertujuh serentak. Wajah-wajah geli campur cekikikan segera hadir. Ini anak emang sejuta perkara.
“Sepurane yo mbak, rencana mau buat surprise buat mbak Rie jadi gagal gara-gara aku neh,” kata Srinthil dengan penuh penyesalan.
“Gak popo, aku tadi emang udah kamu kasih surprise duluan kok. Aku sempet bingung tadi waktu kamu nanya tentang pisau, gunting, tali, silet. Tak kirain kamu mo nekat bunuh diri gara-gara…”
“Cuih,…bedes elek ngono mo dibelain sampe bunuh diri? Enggak lah" tampik Srinthil.
“Yo uwis nek ngono. Nek ngono ki kue tart e buat kamu aja, jawabku lega sambil ndulit kue tart dan ku oleskan di bibirnya sing ngewes wae iku.
“Iyo Sri, kue tart e kanggo awakmu wae,” Chamid menimpali.
Dan serentak kami bertujuh saling berebut ndulit kue tart dan ngusep-usep wajah e Srinthil. Kue sing seharusnya enak dimakan itu enak juga dipandang diwajah Srinthil. He he he…
Ah apalah arti makan kue dibandingkan dengan kegembiraan yang kini hadir lagi di wajah sahabatku tercinta Srinthil ini?
“Uwis ah,” kata Srinthil sambil berlari menuju WC yang ada di pojokan utara Victoria Park itu.
“Mbak Riiiii………
“Mbak Ri met Ultah yaaaaaa…!! I love you!” teriaknya sesampai depan WC diiringi dengan jingkrak-jingkrak bungah.
“I love you to!” jawabku di iringi tawa.
Ya ya…. Met ultah Ri, bisikku pada diri sendiri.
wehehehehehe...haru campur seneng+deg2an
BalasHapushehehehe..kesenangan seorang teman lebih berarti disaat dia sedang sedih..
semoga kita semua diberi kebahagiaan yang berlipat dari sebelumnya...
amiieenn..
Imajinasine kok ngeri men...
BalasHapusya Allah...
BalasHapusq ketawa2 campur blawur tiap postingannya mbak rie, ada tangis, tawa, haru, sungkan, saluuuuttt...!! hehe :D