Cinta Memanggilku Kembali

brosur lomba puisi berantai Dompet Dhuafa-Hong Kong
"Cinta Memanggilku Kembali"
Itu judul puisi yang kami (dari organisasi seni Sekar Bumi) ikutkan dalam "Lomba Puisi Berantai" yang diadakan oleh Dompet Dhuafa Hong Kong (DDHK) pada 11 November 2012 lalu di The Leader Dance, Sheung Wan.

Membuat puisi adalah hal tersulit yang bisa aku lakukan. Sehingga lahirnya puisi ini juga enggak jauh dari "maksa bin ngeden". Deny memberikan idenya kemudian aku dengan susah payah mencoba mencari kata-kata yang sekiranya bisa diakrobatkan untuk menjadi sebuah sesuatu yang yah..paling tidak mirip-mirip puisilah.

Puisi ini kemudian aku kumpulkan dua minggu sebelum dibacakan, untuk penilaian.

wajah-wajah galau
Minggu, 11 November 2012
Itu adalah hari tergokil yang kami lalui di sepanjang sejarah kebersamaan kami. Aku memakai kaos merah dengan jaket hitam dan celana korean style plus sendal jepit, Wanthy dengan jaket jeans, pashmina biru dan celana hitam plus highheelnya sedang Deny dengan kaos lengan panjang biru yang ditambah dengan kaos hitam plus celana semi baggy dan sepatu. Kami (aku dan Deny) tak ubahnya seperti badut di tengah seratus lima puluh wanita yang berpakaian serba wah lengkap dengan jilbab lebar yang gemerlap (itu fashion show atau lomba biasa ya?).

Malu? Bukan! Tapi kami merasa seperti bukan berada pada habitat kami. Kami yang terbiasa tertawa lebar, berteriak atau berjingkrak-jingkrak ini mendadak harus kalem untuk sekian jam. Dan itu amat sangat menyiksa sekali banget.

Jujur kalau tahu lomba ini akan diadakan di tempat tertutup, kami tidak akan mengikutinya. Kami pikir lomba membaca puisi ini akan dilakukan di Victoria Park yang tentunya bisa diakses oleh lebih banyak orang dan otomatis pula nama organisasi kami akan terdengar oleh lebih banyak orang pula. Ya, itulah sebenarnya tujuan kami. Namun apa lacur? Puisi sudah kadung dikirim, uang pendaftaran juga sudah terlanjur dibayarkan. Masak mau mengundurkan diri?

kurang lebih 150 peserta yang hadir
Panitia mengumumkan kepada kami untuk berkumpul jam 10 pagi untuk briefing. Dan jam 10 tet kami berada di tempat acara, namun acara molor hingga pukul 11. Ini siksa pertama.

Siksa selanjutnya, mata ini sedemikian berat karena malam harinya aku tidak tidur sama sekali. Wejangan demi wejangan yang disampaikan oleh kemenkominfo hingga BNP2TKI menjadi mengabur karena aku asyik mengumpulkan berliter-liter iler yang dleweran dengan tanpa kompromi. Bahkan suara-suara merdu milik Aldi Taher, Bana Nasyid dan Deni Aden yang tengah membawakan beberapa lagu menjadi penina bobok yang amat manjur. Motivator sekelas Jamil Azzaini juga gagal untuk membangunkanku dari tidur lelapku.

Setelah lunch break adalah siksa berikutnya. Lomba cerdas cermat yang diadakan pada waktu yang sama ternyata didahulukan. Pukul 3 sore baru lomba puisi berantai dilakukan, itu pun dengan berselang-seling dengan lomba nasyed.

Dan gonjang-ganjing pun dimulai saat pembawa acara menyampaikan syarat peserta lomba nasyed.

"Jadi nanti yang ikut lomba nasyed harus berpakaian yang syar'i dan harus wanita ya," kata Deni Alden yang didaulat sebagai MC.

Spontan aku lihat mendung di wajah Deny. Dengan penampilannya saat itu, dia pastilah merasa jauh dari kata "wanita".

"Dicancel waelah," katanya kemudian, tanpa memberikan alasan.

"Nanggung amat? Dari tadi pagi kek ngomongnya. sekarang udah jam 3 ngomongin cancelation. Huh!" gerutuku. "Lanjut! Walau bagaimanapun!" kataku menegaskan.

Deny termenung di pojok ruangan, diam memandang cermin besar di depannya yang memantulkan refleksi yang sama persis dengannya. Kemudian menarik nafas panjang, lalu duduk menekur.

Pemandangan seperti ini membuat kami antara geli dan kasihan juga.

"Lha aku leh... Gimana...? Katanya pakaiannya harus syar'i.." katanya mengambang. Matanya menatap secarik kertas bertuliskan puisi kemudian beralih ke kerumunan wanita-wanita calon penunggu surgawi, kemudian menarik nafas berat.

Jilbab menciptakan jarak di antara kami (antara yang berjilbab dan tidak berjilbab). Kalau saja bukan karena sebagaian pengurus DD-HK yang aku kenal, tentu tidak akan ada seorang pun yang mengindahkan kami.

Entahlah, kalau penutup kepala itu dijadikan semacam simbol kealiman yang memberikan jarak antara wanita satu dan satunya atau semacam bukti tingkat ketagwaan seseorang, maka aku lebih memilih untuk tidak mengenakannya. Kawan-kawankulah yang mengajari aku arti saling mengerti dan saling menghargai. Kawan-kawankulah yang mengajariku arti mencintai dan memberi. Kawan-kawankulah yang mengajariku arti ikhlas dan sabar. Dan kawan-kawanku itu dari berbagai latar belakang keluarga, pola pikir dan pandangan hidup. Pengertian dan komunikasiitu membuat persahabatan kami tak ubahnya persaudaraan karena perasaan senasip, sama-sama merantau, sama-sama buruh.

Kawan kami, Rini, yang menyusul kami setelah lunch break, memprovokasi aku dan Deny untuk memakai kerudung sekedar untuk menghormati penyelenggara acara.

Dan untung ada pashmina hitam yang selalu ada di tasku yang kemudian dikenakan pada Deny. Berulang kami ngakak karena Deny yang biasa tomboy ini harus kami paksa memakai kerudung. Dan entah karena kegugupan kami (aku dan Wanthy) atau karena pashmina tersebut tidak ada dalamannya, pashmina tersebut berulang kali melorot dan susah dibentuk. Untung pula ada kaca mata (tanpa kaca) yang bisa membantu untuk mengganjal pashmina agar tidak mlorot. Eh, setelah jadi, ternyata cantik juga tomboy satu ini, haha!

Sedang aku sendiri dipinjami taplak meja kotak-kotak oleh seorang kawan. Dan lagi-lagi untung berada di pihak kami, seombyok peniti (biasanya untuk perlengkapan tari) berada di tasku. Dan sim salabim!! Taraaaa...!! Jadilah aku (tengah) seorang Arab berhidung pesek.

cling! foto ngempet
beraksi
Pukul 3.55 sore kami dipanggil untuk maju membacakan puisi kami. Karena waktu yang mepet, jatah membaca puisi yang katanya 4 menit disunat menjadi 2 menit 37 detik.

"Cinta Memanggilku Kembali," kataku memulai puisi.

"Waaa...," koor dari peserta acara.

Pembacaan puisi kami begitu ramai dengan waaa...dan huuuu.... dan tepuk tangan di sana-sini. Namun baru separuh puisi kami bacakan, kami dikejutkan oleh suara-suara.

"Wis..wis...rampungg...rampuung...," kata panitia yang memotong.

Haaa..?? Masak baru setengah puisi kami bacakan, sudah di-cut? "Tar dulu ah.... Lanjut dikit ah...," kataku dalam hati. Aku teruskan dua tiga baris dengan suara ngambang, enggak niat dan enggak konsen.

Teriakan-teriakan itu semakin menjadi.

"Wis entek wektune a mbaaakkk...!" kata mereka, diiringi dengan tepuk tangan dan suit-suit.

Jiaah...baru kali ini seumur-umur hidupku membaca puisi cuma separuh saja.Tapi lega juga akhirnya beban itu terlepaskan.

Berhubung puisi itu nggak selesai kami bacakan, maka kubagi-bagikan copy dari puisi tersebut kepada peserta acara. Biar mereka yang melanjutkan membaca puisi itu, pikirku.

Dan karena tujuan awal kami cuma pengin naruh nama organisasi di acara aja, sekedar partisipasi saja, maka kami memutuskan untuk pergi dari tempat acara sesaat setelah selesai membacakan puisi. Dan kalau ingin tertawa bareng melihat dan mendengarkan cara kami baca puisi, berikut adalah videonya:



Sesampai di markas (tempat kumpul organisasi kami), kami disambut oleh gelak tawa di setiap cerita yang kami sampaikan. Dan tak dinyana dan tak disangka sebuah sms sampai di nomer HPku, kemudian sms lagi, lagi, lagi dan lagi dan masih banyak lagi dan lagi. Sms tersebut seperti beradu cepat, susul-menyusul hingga luber di whatsapp dan FB. Ucapannya sama. Kesemuanya adalah ucapan selamat atas menangnya kami dalam lomba cipta dan baca puisi berantai. Juara 1! Wolaa...!! Gak nyangka!

Yang kami lakukan selanjutnya? Ketawa ngakak berjamaah! Hingga saat inipun aku, kami, masih ngakak bila mengenang peristiwa itu. (Maafkan atas ketidakberhasilanku menyampaikan letak lucu yang aku maksudkan.) Berikut adalah puisi kami:

beraksi
Cinta Memanggilku Kembali
Karya: Sekar Bumi

Ketika angin meniupkan kehangatan bertanah  air
Kau tak pernah tahu lukaku
Mataku menatap nanar
Menancap jalan hidup yang terjal
Berbalut lara
Berbalut rindu yang terganjal
Ganjil karena bilangan cinta mewurungkan kemerdekaan

Ketika angin meniupkan kehangatan bertanah air
Kau tak pernah tahu lukaku
Sarafku telah dipengapkan oleh derasnya keringat
Membasahi tubuh yang terikat

Ketika angin meniupkan kehangatan bertanah air
Kau tak pernah tahu lukaku
Cinta menyiratkan yang tak tersurat
Menyeretku dalam kerat pedih tanpa titik

Bahwa ibu yang tak ber-ASI, rela lari menjadi TKI
Bahwa manusia tanpa lisensi, harus terpinggirkan menjadi kuli
Bahwa berderetderet miskin, berbanding lurus dengan BMW dan Ferrari

Dan aku adalah satu dari 140 ribu

Mencangkul di ladang tetangga
Mengais dolar dan dinar
Mengumpulkan peluh dan air mata
Demi membungkam perut untuk tidak lapar
Demi buku-buku pelajaran dan susu yang tak terbeli
Demi atap rumah yang bocor
Dimakan janji tuan

Memang hari ini
Segala sesuatu tak pada tempatnya
Aku di lembah
Sedang cinta ribuan bukit jauhnya

Namun angin terus meniupkan kehangatan bertanah air
Dan kau tahu
Setelah cobaan melepasku
Aku pasti kembali
Untuk menuai padi dan jagung di negeri sendiri

Sedang maksud dari puisi yang mengambil tema cinta dan kemerdekaan tersebut adalah kegelisahan dari seorang TKW saat dia harus menanggung beban sendiri bekerja di negeri orang. Dia merasakan siksa batin karena merasa tidak mempunyai kemerdekaan untuk bersanding denagan keluarganya dan untuk bekerja di negerinya sendiri karena bodoh dan tak mempunyai lisensi/ijasah. Dia juga merasa tidak merdeka  karena diatur oleh kontrak kerjanya (sebagai TKW) dan keinginan untuk memenuhi kebutuhan keluarganya. Namun dia yakin bahwa dia akan bisa berkumpul dengan keluarga yang dicintainya setelah merdeka/sukses mengumpulkan modal.
Piala dan hadiah kami ambil hari ini, 18 Nov 2012.

9 komentar :

  1. Congratulation....moga terus maju dalam penulisan mbak Rie...

    BalasHapus
  2. yaampun puisinya nyentuh banget mbak, sebagai manusia yang masih berada di Indo saya ngerasa sangat bersalah mbak :(
    ijin download videonya mbak

    BalasHapus
  3. Mantaaapp...minta izin copy paste puisinya mbak...

    BalasHapus
  4. @havez, aamiin...makasih...
    @rico, ah masa? terimakasih...dan silakan..
    @bias, makasih, silakan...

    BalasHapus
  5. jilbab itu semestinya gak membuat jurang antara kita mbak Rie.. krn ia semata adalah perwujudan hubungan kita dgn sang pencipta, dan ttg alim atau tidak itu bukan hak kita utk menilai. hehhe

    jempol wat Sekar Bumi.. terus semangat menulis puisinya yaa.

    BalasHapus
  6. wuuiihh puisine kereenn....selamat yaa mbk

    BalasHapus

Matur suwun wis gelem melu umuk...