"Mentang-mentang sebutannya pahlawan devisa, terus kamu berharap dihargai sama negara?" ~ Mayang-Minggu Pagi di Victoria Park
Ketika aku pergi sebagai babu berkualitas ekspor untuk pertama kalinya, aku tidak tahu kalau kemudian aku bakal disebut sebagai pahlawan devisa. Devinisi pahlawan devisa sendiri masih mengambang, antara mengerti dan tidak memahami seutuhnya. Dan siapakah yang berhasil mengerti dan memahaminya arti kata "pahlawan devisa' yang sebenar-benarnya?
Ya, mungkin banyak yang mampu kalau hanya sekedar menuliskannya dalam selembar kertas atau mengunggahnya dalam postingan blog. Atau mungkin pula dalam onani politik yang dibumbui dengan ucapan menjanjikan dan rayuan gombal mukiya. Maaf, mungkin aku terlalu hiperbola dalam menguraikan keprihatinan saya terhadap diri pribadi yang setengah matang memahami bangsa sendiri.
Tahun lalu tepatnya pada acara Indonesian Movie Week yang diadakan di UE Cinema Causeway Bay, Hong Kong, film Minggu Pagi di Victoria Park (MPdVP) yang disutradarai oleh Lola Amaria tersebut menjadi perbincangan seminggu di Hong Kong. Sedangkan oleh TKW Hong Kong sendiri perbincangan itu tak cukup seminggu. Kesan yang diperoleh dari film itu terlalu dalam bagi kami.
Hingga saat KJRI-Hong Kong menyewa Sunbeam Theater untuk memutar film MPdVP pada Minggu (24 Juli 2012), film itu pun masih menjadi perbincangan hangat di kalangan Buruh Migran Indonesia. Namun uniknya, film yang diputar secara gratis untuk undangan perwakilan organisasi dan instansi BMI yang ada di Hong Kong ini sepi penonton.
Undangan itu sendiri datang padaku pukul 4 sore padahal film diputar pada pukul 2 siang (yang menyebar undangan kelupaan). Kecewa? Tidak sama sekali! Toh film tersebut sudah pernah aku lihat di Youtube secara gratis pula. Bahkan seandainya tiket tersebut datang awal-awal hari sekalipun, aku juga tak berniat untuk melihatnya. Sungguh!
Kawan-kawan dari organisasi lain juga menyerukan hal yang sama. Malam hari itu ketika kami saling bertukar pendapat tentang perkembangan situasi dan isu TKW Hong Kong yang terbaru, masing-masing kami memegang tiket yang sudah kadaluwarsa itu. Seperti disetujui, tiket tersebut kemudian menjadi serpihan-serpihan kecil untuk kemudian masuk ke tong sampah.
Entah apa yang akan dirasakan oleh Lola Amaria ketika membaca atau melihat kejadian itu. Mungkinkah dia akan marah atau tersinggung, sakit hati, merasa tidak dihargai atau bahkan direndahkan atau biasa-biasa saja? Entahlah.
Tapi tahukah dia tentang perasaan kami sewaktu melihat film itu? Atau pernahkah dia mencoba berfikir tentang perasaan kami? Entahlah pula.
Jujur, film itu luar biasa. Sinematographynya, musiknya, settingnya, alurnya, flashback ceritanya, perfect. Tapi ceritanya yang membuat kami sakit hati.
Pun banyak kejanggalan di film ini yang membuat kami bertanya, sekiranya sejauh mana observasi yang dilakukan Lola sebelum pembuatan film ini? Costum yang salah, bahasa yang salah dan banyak lagi.
Seperti contoh: mengambil anak dari PJTKI juga seenak itukah? Hanya diseret keluar oleh bapaknya, sudah selesaikah? Kenyataannya untuk mengambil anak dari PJTKI, orang tua harus mengeluarkan sejumlah uang tebusan, belum lagi algojo PJTKI yang garang.
Terlebih dengan menambahkannya peran Gandi, sosok pegawai KJRI yang membantu para TKW. Mungkin ini adalah cara paling aman untuk memuluskan film ini di hadapan konjen, haha! belum ada dalam sejarahnya pegawai KJRI yang peduli kedapa TKW hingga sedetil itu.
Memang sebuah film tidak bisa mengupas semua hal. Hal per-TKW-an Hong Kong sungguh kompleks karena menyangkut dan menyinggung banyak pihak. Mungkin itu pula yang mendasari pemikiran sang sutradara. Tapi logika dalam cerita itu ada khan? Lalu bagaimana dengan seorang pembantu yang baru 3 bulan bekerja bisa menerima tamu di rumah majikannya yang cerewet? Bisa minta ijin keluar malam-malam?
Sisi negatif dari TKW Hong Kong, terlilit hutang, tentang lesbian, tentang freesex memang ada. Aku juga tidak bermaksud menutup-nutupi atau apa. Tapi dengan jumlah 152.000 TKW Hong Kong yang ada di Indonesia, berapa persen sih yang melakukan tindakan menyimpang itu? Lalu adilkah bila menggeneralisasikan semuanya?
Memang dunia pertelevisian & perfilman Indonesia telah penuh dengan segala tanyangan yang kurang mutu seperti sinetron-sinetron serial di TV Indonesia dan film yang berhantu-hantuan atau girl band dan boyband yang cuma modal tampang doang. Dan akankah menambah kekurangmutuan tersebut dengan menjejali masyarakat dengan sebuah tayangan film berkelas Internasional yang tidak bisa memberikan dampak positif kepada pemirsanya?
Di ujung telponnya simbok menangisiku karena takut aku tergelincir dalam pergaulan yang tidak benar dan itu belum pernah menjadi kekhawatirannya terhadapku sebelumnya. Simbok percaya sepenuhnya bahwa aku baik-baik saja. Namun tidak demikian setelah beliau melihat film ini. Dan gremengan tetangga kiri-kanan yang mengkait-kaitkan aku yang TKW Hong Kong dengan film tersebut dan itu membuat pikiran simbok dan ketakutan simbok. Lalu apa salahku?
(tulisan ini mengendap di draft sejak 13 Juli 2012)
dari awal jg gak sreg, biasanya orang indo hanya mau untung dg menjual kata "TKW" biar ada nilai jual nya, padahal pesan yg disampaikan kadang Ge-je alias gak jelas...
BalasHapusSampai sekarang, aku malah belum lihat filmnya Rie, malas. Dari pada lebih sakit hati. Sudah kecewa aku dengan kalimatnya "jika nggak dekil, nggak kayak TKW dunk"
BalasHapusSalah satu temanku menonton film ini di Europa dan bertanya "Mengapa hingga saat ini pemerintah Indonesia selalu menunjukkan hal hal negative terhadap domestik workernya di negara lain
BalasHapuslalu saya harus jawab apa?
makanya ojo di pendam di draf hahahahaa
sabar biar makin subur
Rie-Rie, saya harap kamu memposting juga di Kompasiana agar lebih banyak lagi yang tahu dengan keadaan yang merugikan kalian ini, dan mengangkat kasus ini ke kalangan yang lebih luas...
BalasHapusAda beberapa pihak yang mengambil keuntungan dari kalimat TKW dan pahlawan devisa
BalasHapusaku belum pernah liat pilemnya, tapi pernah dengar ttg pilem ini ... :D
BalasHapusAku tadi dah baca postmu, tapi gak bisa komen kalo di hape. Kotaknya gak muncul gitu T.T
BalasHapusAku dah nonton filmnya tapi karena nggak tau realita perTKWan, baru tau pas baca tulisan mbak Rie :D
berarti filmnya stereotyping banget yah...
BalasHapusrisetnya ke kantor KJRI doang kali yah, mbak :)
ikut gabung,,
BalasHapusShe should talk, and learn from you before making the movie...
BalasHapusKamu jujur mbak dan apa adanya, aku sukaaaaaaaaa