Tuhan ingin aku mati cantik

"Tuhaaaaaaaann....!! Aku ingin mati cantiiik..!! Kenapa harus ada borok di payudaraku?"
Rasa ngilu dan nyeri yang luar biasa aku rasakan di payudara kananku. Juga rasa gatal yang menghantuiku sejak sebulan terakhir ini menjadikanku semakin tak berdaya. Menggaruknya saja rasanya tak cukup. Kulit yang mengkerut dan bersisik serupa kulit jeruk itu mengelupas dan merah. Kadang juga cairan busuk keluar dari kepundan buah dadaku, kadang kuning, kadang hijau warnanya. Sakit di satu tempat yang merembet ke daerah lainnya, menjadikan punggung sebelah kananku terasa nyeri, pegal dan berat sedang tanganku hanya menggantung di sisi kanan tubuhku, hampir mati fungsi.

Aku lelah. Masih banyak yang belum aku lakukan dalam hidup ini. Emakku yang menua, adik-adikku yang masih balita, sedang aku adalah yang pertama yang mempunyai tanggung jawab atas semua itu.

"Tuhan, kenapa aku harus mengidap borok yang menjijikkan ini? Apa salahku? Pada diriku, pada orang-orang disekelilingku, padaMu?"

"Karena Aku ingin kau mati cantik," bisik Tuhan, yang datangnya selalu tanpa kuketahui dan pergi seketika setelah itu.

"Tapi aku takkan mati cantik," jawabku. Tak berhasil aku mencegahnya berlalu. Dan bukankah Dia seperti itu? Selalu sukses untuk mengaduk-aduk hatiku. Mencampurkannya dengan bahan-bahan yang lain seperti rindu padaNya dan kangen bisikanNya, lagi?

Kembali aku menelusuri tubuhku bagian manakah yang bisa di bilang cantik? Rambutku yang mulai rontok atau kulitku yang semakin layu? Dan pandanganku berhenti pada seonggok daging yang benar-benar tumbuh di dadaku, menekannya sebentar dan merasakan lagi nyeri yang teramat sangat. Sakit ini menjalar kehatiku, meletup-letup dan sampai nanah keluar dari dua ketuban, hatiku dan payudaraku.

"Aku ingin kau mati cantik," bisiknya lagi. Kali ini bisikannya menggema, berulang-ulang, berkali-kali.

"Tuhaaaaaaaaan, aku tidak akan mati cantikkk...!!" teriakku, mencoba menghilangkan gema yang berhasil masuk ke telinga dan hatiku. Menorehkan perasaan lain yang indahnya seperti berada di pinggir jurang terjal. Yang nun di bawah sana batu-batunya meringis menunggu kejatuhanku.

Aku mencoba menyadarkan diriku. Agar tak larut dalam keinginan semu itu, keinginan untuk mendengarkan bisikanNya lagi karena mengusirkannya dari hatikupun aku tak mampu.

Ya, bukankah Tuhan itu hanya air yang mengalir, tapi tak hendak bermuara dihatiku. Tuhan itu hanya angin yang berhembus yang lewatnya hanya untuk membuat bulu kudukku meremang dan rokku tersingkap. Tuhan itu hanya malam yang dingin, yang karenaNya aku menggigil duka. Dan bukankah dia yang tidak mengijinkanku untuk mati cantik, dengan menempelkan kanker ganas ditubuhku yang selayaknya indah, cantik...

"Aku ingin kau mati cantik," kataNya lagi. Dekat, dekaat sekali. Aku rasakan nafasnya menyentuh ujung hidungku. Menggagalkan pemikiranku tentangNya sedetik yang lalu.

"Aku tak akan mati cantiik!" teriakku. Ah, sudah tak sekeras tadi rupanya.

"Aku ingin kau mati cantik," kataNya lagi, lebih dekat daripada dekaat sekali. BibirNya menyentuh daun telingaku. Kata-kataNya bergerak-gerak merangsang dan menggelitikku.

"Aku tak akan mati cantik,"
Bukan teriakan lagi, tapi sebuah kalimat yang datar saja. Tanpa intonasi di dalamnya, tanpa titik, tanda perintah ataupun tanda tanya yang mengakhirinya. Adalah keraguan yang menuju ke simpati atas kesungguhan kata-kataNya.

"Aku ingin kau mati cantik,"

Dan Dia telah masuk kedalamku. Kepalanya adalah kepalaku, tanganNya adalah tanganku, kakiNya adalah kakiku. Sudah matikah aku? Sudah mati cantikkah aku sesuai dengan keinginannya? keinginanku?

"Tuhan, aku ingin mati cantik?"


2 komentar :

  1. Untuk seorang temanku yang menjalani kanker payudara stadium akhir. Bagaimanapun kamu cantik, tabahlah. Kami mencintaimu...

    BalasHapus
  2. ikut prihatin untuk sahabat yang sedang kena musibah, saya percaya dia cantik (tapi belum mati kan?)

    BalasHapus

Matur suwun wis gelem melu umuk...