Terdengar teriakan mengaduh kesakitan, juga tangis bocah kehilangan emaknya. Suhu udara terasa belipat dua sampai tiga kali atau lebih. Peluh tak terkira lagi jatuhnya, sekujur ubuh tentulah basah keringat. Belum lagi tenggorokan yang kering kerontang sedang ludahpun tak ada untuk di telan, perut juga mengaduh protes minta di isi, sedangkan barang gratis yang di tunggu-tunggu tak juga muncul karena belum waktunya.
Dari belakang dorongan dan desakan semakin kuatnya, sedang di barisan terdepan terhadang pagar ataupun tembok. Mentok, mereka tak bisa bergerak maju lagi, jatuh dan akhirnya terinjak-injak. Oksigen yang biasanya tersedia lebih dari cukup untuk dihirup secara normal hari itu rasanya teramat kurang. Dada-dada miskin itu tak mampu lagi mengirup udara secara wajar. Sekarat, kepala-kepala pening dan napas satu dua segera susul menyusul ada. Hari itu kiamatkah?
Prihatin, demikian yang ada di hati ini. Masih terbayang tragedi zakat di pasuruan, 21 satu nyawa wanita melayang demi RP.20.000,- Kemudian Idhul Adha kali ini, hal yang sama sudah barang tentu terjadi.
Memang tak sampai ditemukan mayat pada waktu pembagian daging korban ini, hanya mayat sapi atau kerbau atau kambing yang ada, tetapi kericuhan saat pembagian daging kurban adalah fenomena yang memprihatinkan. Sedemikian miskinkah Indonesia sehingga demi 20 ribu atau seiris daging saja orang-orang tua rela berdesak-desakan mengorbankan diri dan anaknya?
Tapi, eitz!! Tunggu dulu!! Gambaran di atas itu adalah tentang muslim miskin di Indonesia. Yang kesulitan menanak nasi di setiap harinya, yang jarang menjumpai daging di meja makannya. Yang menjadi buruh atau pesuruh juga termasuk babu di dalamnya(lhah, cuma masakke bendarane thok iki).
200 ribu lebih muslim lainnya kaya!! Mereka tidak perlu lagi berdesak-desakan berebut zakat. Mereka tak perlu menunggu Idhul Adha untuk bisa makan daging. Mereka mempunyai puluhan hingga (mungkin) ratusan juta rupiah untuk di habiskan. Mungkin itulah yang berhasil menutup fakta bahwa masih banyak kere di Indonesia, hingga dengan lantangnya sang Presiden di depan rapat paripurna mengumumkan bahwa angka kemiskinan telah menurun. Bah!!
200 ribu lebih muslim kaya tersebut menunaikan ibadah haji, sebuah ibadah yang merupakan kewajiban bagi yang mampu. Bahkan tak jarang ada yang melakukannya berkali-kali. Sebagian pulang sebagai sebenar-benarnya haji sebagian lagi pulang sebagai pengerutu dan pengumpat.
Ternyata keahlian untuk menggerutu atau mengumpat tidak hanya di miliki oleh muslim miskin saja ya? Bahkan muslim kaya juga mempunyai kemampuan seperti itu. Mungkin bedanya kalau yang menggerutu muslim kaya itu akan terdengar wajar dan terkesan intelek sedangkan bagi muslim miskin gerutuan atau umpatannya ndeso dan tidak intelek.
Coba bedakan gerutuan muslim miskin dan muslim kaya berikut:
Muslim kaya dengan menunjukkan kwitansi dan tag yang dimilikinya: "Saya itu sudah bayar 70 juta lebih lho, masak makan saja cuma pakai makanan kalengan, mana AC ga nyala, air ga nyala, tempat istirahatnya jauh lagi. ONH plus itu kayak gini?"
Muslim miskin dengan nafas ngos-ngosan, keringatan: "Cuk! Matamu ga ngingeti ta? Ngarep iki pager, arep maju ngendi maneh cuk?!"
Nah! Jelas sekali khan bedanya. Gerutuan ataupun umpatan dari muslim kaya didasari data dan bukti akurat sehingga terlihat intelek, sedangkan gerutuan muslim miskin dengan menggunakan kosakata jin setan gentayangan, ndeso banget,ga intelek. Lhah!?? Sing di buat intelek juga tidak ada, karena tidak ada fasilitas untuk melek ilmu pengetahuan yang segratis zakat atau daging korban kok!
andai aku seperti mereka, aku paati juga akan disana...., mengalami nasib yang sama. alhamdulillah, diriku bukan!
BalasHapusAlhamdulillah.
BalasHapusbukankah sudah ada wacana mengharamkan naik haji?*
BalasHapus*syarat dan ketentuan berlaku
>> Nirmana, alhamdulillah mas...
BalasHapus>> Omtri...ya ya ya...
>>Slamet Widodo, lagi membaca...suwun
Sip....suatu pelajaran sangat berharga tentang sifat dan watak orang muslim
BalasHapusthanks ya
Memang tak sampai ditemukan mayat pada waktu pembagian daging korban ini, hanya mayat sapi atau kerbau atau kambing yang ada, tetapi kericuhan saat pembagian daging kurban adalah fenomena yang memprihatinkan. Sedemikian miskinkah Indonesia sehingga demi 20 ribu atau seiris daging saja orang-orang tua rela berdesak-desakan mengorbankan diri dan anaknya?
BalasHapus========================
sebenarnya tragedi itu adalah kesalahan pemberi zakat, apabila dia ikhlas memberikan zakat lebih baik mengatur waktu tertentu agar tidak berebut atau membagikan door to door dari rumah ke rumah, toh di desaku juga gitu, jadi uang dikumpulkan benda hara desa kemudian dibagi dari rumah ke rumah...gak pernah ada korban, dan pemberi zakatpun aktif dari zaman punya toko kecil sampai se sukses sekarang....
btw, Andai muslim kaya sadar akan saudara2 kita...tapi yah...kaya dan miskin adalah ujian, untuk membangun kualitas diri dari diri kita masing2....
Assalamu'alaikum, salam kenal....Subhanallah, tulisan yang selain memberikan pencerahan ide baru juga sangat inspiratif kawan, nice blog, keep on blogging!!! :-) artikel-artikel untuk menjadi muslim kaya juga bisa aku temukan di sini : http://muslim-kaya.blogspot.com/
BalasHapus