2 tahun pertama itu adalah kerja keras yang indah bagiku. Indah karena kemudian aku bisa mendapat simpati dan kepercayaan dari bos. Sempat dua kali mendapat peringatan dari bos dan hampir dipulangkan, namun entah dengan pertimbangan apabosku kemudian mempertahankanku.
Ramai temanku menyarankan agar aku berganti majikan saja dari pada menambah kontrak pada majikan yang sama. Oleh temanku pekerjaanku dianggap terlalu memakan hati.
Aku hanya tersenyum, aku pikir kalau bosku yang meminta padaku untuk menambah kontrak berarti dia memang benar-benar membutuhkanku. Lepas dari segala peraturan yang di berikan kepadaku mereka adalah tipe majikan yang perhatian sekali terhadap kesehatan dan makanku, apalagi yang di cari oleh seorang pembantu?
Ada 2 kamera yang dipasang di rumah yang mengikuti setiap gerak-gerikku dalam bekerja. Mereka (bosku) memantauku dimanapun mereka berada, di kantor, di restoran saat makan siang mereka, di bar saat mereka bertemu dengan kawan-kawan mereka ataupun di saat mereka sedang mengadakan vacation. Kamera rumah selalu terhubung dengan komputer dan HP mereka. Semula aku merasa risih, merasa kalau mereka selalu menaruh rasa curiga kepadaku, sempat juga merasa tertekan selama bulan-bulan pertama namun kemudian ku biarkan saja hingga aku kini terbiasa.
Walau kerjaku dipantau oleh kamera, beliau (bosku) pun mengharuskanku untuk menuliskan setiap kegiatanku di hari itu secara mendetil. Mulai dari saat aku bangun pagi pukul berapa, ke toilet dari jam berapa samapai jam berapa, membuat susu hingga memberikan susu kepada si kecil Katelyn berapa lama dan berapa banyak, mengepel lantai dari jam berapa sampai jam berapa dan sebagainya hingga saat malam jam kerjaku, semua kegiatan di tulis tanpa terkecuali. Sering aku mengelus dada tentang ini, betapa susahnya untuk mendapatkan simpati ataupun kepercayaan dari mereka.
Pun liburku ditentukan oleh jam bukan hari. Selama sebulan aku hanya berhak libur selama 16 jam yang di bagi 3 kali, yaitu satu kali 8 jam di hari sabtu dan 2 kali 4 jam di hari minggu. Aneh bukan? Seharusnya aku berhak libur satu kali dalam satu minggu dan setiap satu libur adalah fullday, 24 jam. Dan yang lebih aneh adalah peniadaan libur kalau aku berbuat suatu kesalahan sebagai hukumanku.
Ada kalanya aku iri melihat teman-temanku yang lain, mereka mempunyai kebebasan untuk berinteraksi dengan yang lain, sedangkan aku tidak. Larangan untuk berbicara dengan orang lain juga larangan untuk menggunakan HP di rumah selalu ditekantegaskan oleh kedua bosku. Di samping itu beliau juga mengharuskanku menyerahkan daftar teman-temanku beserta alamatnya, juga melaporkan kemana pergiku selama aku libur. Menelponku setiap dua jam sekali dan menanyakan keberadaanku di waktu liburku.
Sampai kinipun aku tak mengerti alasan mereka. Dan seperti inem-inem yang lain, kuterima saja semua peraturan yang menjerat hak dan kebebasanku itu dengan keikhlasan yang kupaksakan.
Dan hari itu, aku ingat persis 3 bulan sebelum kontrakku habis mereka memintaku untuk bekerja dengan mereka lagi. Aku diam. Seminggu kemudian baru kuberikan jawaban.
"Saya bersedia bekerja lagi di sini dengan syarat. Yaitu mendapatkan libur sesuai hak saya," kataku saat itu.
Keberatan di mata mereka jelas sekali terlihat. Berat melepasku untuk libur satu kali dalam seminggu.
"I would rather pay you than allow you to have a holiday, it's just too much for us," kata bosku.
"It's just as much for me," jawabku.
"I can't do anything with that tight holiday schedule from you. Saya selalu cemas pulang terlambat daripada menikmati libur saya," protesku.
"OK, bagaimana kalau kamu ambil 2 kali libur dalam sebulan trus kami bayar kamu sebagai ganti kalau kamu enggak libur," kata Mr. Wong.
"OK, but I want it full day. On Sundays" jawabku.
"Agree," kata Mrs. Wong.
Hari itu aku merasa seperti seorang pahlawan penegak kebenaran. Kebenaranku sendiri.
0 comments :
Posting Komentar
Matur suwun wis gelem melu umuk...