Srinthil 1 : Babu Baru Bernama Srinthil

Srinthil 1: Babu Baru Bernama Srinthil

Siapa sih yang engggak kenal dengan Srinthil? Hayo...! Sapa coba? Waduuh... kok banyak yah. Ah itu mah wajar saja, karena Srinthil itu bukan seorang yang terkenal ataupun tercemar. Dia wanita biasa yang tinggal di rumah biasa. Cuma satu yang enggak biasa dari Srinthil yaitu, keinginannya yang luar biasa untuk menempatkan kepentingan pribadi di atas kepentingan golongan dan kepentingan bersama. Lho?

Oke-oke, jangan prutes dulu dunk ah. Srinthil tuh temenku yang ayu tur lugu, seneng ngguyu & jarang mecucu. Wis lah pokoke ayu tuenan!! Dia lahir dan dibesarkan di Malang kemringet (mang ada?) Itu loh soalnya kalo mo ke Malang ndadak usek-usekan di atas bis selama 3 jam, bayangin aja apa ga kemringet tuh?

Nah demi kepentingan pribadinya yaitu untuk memajukan harkat & martabat & juga harta keluarga, Srinthil yang senasib sepenanggungan denganku itu 3 bulan lalu pergi ke Hongkong. Sebelumnya dia mendekam dalam PJTKI selama 5 bulan. 


Nah, hari ini adalah hari pertamanya dapat libur. Dan hari ini adalah hari keberuntungannya karena bertemu sama aku. Pertemuan yang tidak disengaja. Pertemuan yang diprakarsai oleh sebuah botol. 

Ceritanya miggu itu aku libur sendiri, praktis enggak ada kegiatan di pagi harinya. Capek menyebabkan aku menetapkan bokongku pada salah satu bangku di pojok selatan lapangan Viktoria yang berdekatan dengan toilet umum, lalu aku bertemu dengannya.

Ceritanya begni...

Aku mengambil botol air dari tasku, berbekal air adalah kebiasanku. Tapi tiba-tiba saja pandanganku terhadap botol itu mengabur, eh bukan, menyuram, ah entahlah. Yang pastinya dikarenakan ada seseorang berdiri persis di belakangku. Yang berarti si seseorang itu menutup sebagian sinar karena matahari naik dari balik punggungku.

Dia melihatku dengan tatapan aneh, seperti antara takut dan pengin tahu. Rambutnya cepak, celana jeans nya agak kegedean, kaosnya berlogokan PT. ABCD, salah satu nama PJTKI terkenal di Pluit, Jakarta. Ciri-ciri seperti ini biasanya dimiliki oleh babu baru, artinya dia baru saja datang dari Indonesia.

"Mbak,” panggilnya mengambang. Sorot matanya tegak lurus menatap botol airku. Bibirnya masih menganga untuk seper-sekian detik.

“Ya,” jawabku singkat. Walau aku berpakaian tomboy tapi suaraku amatlah lembut. O pakaian tomboy? Inikah yang membuatnya takut terhadapku? Mungkin, mungkin…

“Ada apa mbak?” tanyaku karena dia tak hendak juga menggerakkan bibirnya untuk bicara setelah 2 menit berlalu.

Tangannya menunjuk kea rah botol airku dan matanya masih tetap sama, tegak lurus menatap botol itu. Hauskah dia? Segera saja aku ulurkan botol air itu.

“Haus?” tanyaku.

“Minum aja’” tambahku pula.

Tiba-tiba saja dia mundur selangkah sambil menggeleng-gelengkan kepala. Tatapan matanya beralih ke wajahku.

“Nggak kok mbak, bukannya haus, itu lho mbak, botol itu…”

Kali ini matanya beralih ke botolku lagi, jari tengahnya menunjuk-nunjuk, sedang tangan yang satunya lagi menggantung di samping badannya sambil memegang erat tas kresek plastik warna putih.

“Apaan seh? Ada apa dengan botol ini? Ini air matang lho,” kataku tidak mengerti.

“Itu punyaku, itu bukan air matang mbak,” jarinya masih menuding ke botolku. Dia menggigit bibir bawahnya seperti layaknya seseorang ketakutan terhadap sesuatu.

“Sayang.... aku tadi bawa botol sendiri, lha kok bisa kamu bilang kalo ini adalah botolmu? Nalar e ki piye?”

Aku dah mulai kesal tapi melihat wajah innocent dia, marahkupun tak jadi keluar. Membayangkan semasa aku masih baru di Hong Kong sini, tentunya masih selugu dan sepolos dia. Kesalku kutelan kembali bahkan kini rasa kasihan segera membanjiri. Perasaan seperti ini adalah wajar terjadi di antara para TKW, perasaan semacam saling mengerti dan memahami karena kami toh berada jauh dari famili jadi siapa lagi yang terdekat dengan kami selain sesama babu?

“Mbak, tenan kok tadi aku naruh botol air ndek sini trus tak tinggal ke WC. Lha pas aku mbalik ke sini lagi sampeyan udah duduk di sini. Menjejer dua buah botol,”

Aku? Menjejer botol?” tanyaku bingung.

“Lha ya itu botol yang ada di samping kiri mbak, yang satu lagi sekarang ada di tangan mbak. Dan yang ini mbak, yang ada di tangan embak ini, ini adalah botol airku. Soale ndek botole itu tak kasih tulisan namaku. Lha itu lho masih ndek situ tulisane,” katanya menjelaskan panjang lebar tentang status per-botolannya.

Beralih mataku mengamati botol yang sudah berada di tanganku sejak 15 menit yang lalu. Ku alihkan pula pandanganku di samping kiri mejaku. Dan benar saja sodara-sodara, ternyata sebuah botol berdiri tegak di sana. Bingung aku, mendadak garuk-garuk kepala dan rasa kisinan segera menggerayangi diriku. Waduh duh, kok bisa aku ngambil botol sing salah iki mau piye?

“Iya ya, emang ini ada tulisane Srinthil, namamu tho mbak?” tanyaku mengalihkan pembicaraan ben ra katon isinku.

“Iya,”

“Baru datang ya?” tanyaku pula.

“Iya,”

“Libur pertama kali?” tanyaku lagi.

“Iya,”

“Sendirian ya?”

“Iya,”

“Rum…

“Mbak anu maap, mbok saya minta balik botol saya, soale selak kebelet mau ke WC,” katanya.

“Lha tadi katanya udah ke WC?”

“Lha ya itu, karena tadi botolnya ga ada ya ga jadi ke WC. Ke WC khan butuh botol mbak!”

“Ha? Ke WC butuh botol? Lha emang mau buat apa? Kaek mau ngumpulin air kencing buat tes urine aja,” tanyaku bingung.

“Bukan tes mbak, tapi anu itu maksudnya butuh air yang dalam botol itu,”

Pusing banget aku ngomong sama orang yang selugu dia. Botol buat ke WC? Air di botol buat ke WC? Semakin aku mencoba menggatuk-gatukkan antara botol, air di botol dan WC semakin kepalaku pening. Benar-benar aku ga ngerti dengan jalan pikiran si babu baru yang bernama Srinthil ini.

Sembari mengulungkan botol itu aku berkata lagi, “Di WC khan ada keran tho mbak, kalo mau cuci tangan pakek keran khan bisa.”

“Lha nek cebok trus piye mbak?”

“Oalah…ya pakek tissue lo, ga punya ya? Ini lho mbak tak kasih tissue,” kataku. Tanganku menyerahkan botol air itu sekaligus juga tissue.

“Mbak aku ini ndak bisa cebok kalo ga pakek air, rasanya kok ada bau anyir gitu, njijiki,”

"Huwakakak...," spontan aku ngakak! Siapa seh yang ga bakalan ketawa dengerin jawaban dia yang amat polos itu?

“Oalah mbak mbak, wong udah di Hongkong khan beda ama di desa mbak,” jawabku di iringi tawa yang ga bisa di tahan lagi.

“Gak bisa mbak, ini sudah kebiasaan saya, buktinya saya sudah 5 bulan disini juga ga bisa pakek tissue kalo ke WC. Udah dulu ya mbak, kebelet neh,”

Dan berlarilah dia menuju WC umum terdekat.

Sekembalinya dari WC dia mendekatiku. Mungkin karena dia sendirian dan baru jadi butuh seseorang untuk diajak ngobrol. Saat itu aku juga sendiri, biasanya aku berkumpul dengan teman-temanku yang lain di sore hari. Dan keluguannya itulah yang menarik hatiku, kepolosannya, kesederhanaannya menjadikan aku bisa bicara banyak. Kujelaskan dia tentang banyak hal yang menyangkut tentang cara kerja maupun pergaulan di Hongkong. Hongkong yang bebas ini sayang sekali kalau mengkontaminasi jiwa bersihnya. Minggu ini aku merasa menjadi seseorang yang berguna sekali.

Demikian awal kisahnya hingga Srinthil kinipun sejajar dengan kawan-kawanku yang sudah kukenal bertahun-tahun lamanya.

2 komentar :

  1. He he..kisah yang sangat menarik, Mbak. Seneng membacanya..

    BalasHapus
  2. apane trinil ya, karakter'e gelung konde,sabuk wolo,ning kadang mlumpat pager.......

    BalasHapus

Matur suwun wis gelem melu umuk...